Selasa, 14 Februari 2017

pendidikan nilai

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia setelah berada dan hidup di dunia ini. Pertumbuhan dan perkembangan seseorang mengiringi pendidikan pada dirinya mulai dari bayi sampai ia mati, mulai dari ia tahu sesuatu sampai ia pikun. Pendidikan mempunyai proses  pada  diri manusia sesuai pula dengan fitrah yang ada padanya masing-masing. Terkadang pendidikan itu ada yang berkembang dengan cepat da nada pula yang lambat bahkan ada tidak berkembang sama sekali.
Pendidikan pada dasarnya akan menumbuhkan nilai pada diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai seseorang akan tampak ketika  berbuat disaat ia sadar dan berada pada tempat manusia beraktifitas. Nilai bisa direalisasikan apabila ada kehidupan ditempat itu, disaat itulah baru terlihat pengaruh dari pendidikan. Pendidikan bisa mengarahkan nilai yang ada pada diri seseorang, ketika nilai seseorang baik maka dengan pendidikan itu bisa  meningkatkan ataupun tetap memelihara nilai-nilai itu sendiri. Bagi nilai seseorang itu dikategorikan buruk maka dengan pendidikan bisa nilai itu menjadi baik.
Nilai erat kaitannya dengan masyarakat. Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Masyarakat itu sendiri merupakan nilai yang tidak terhingga bagi orang yang memilikinya. Dapat dikatakan Sistem nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup dan biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, yang dijabarkan dalam bentuk kongkrit berupa aturan, norma, atau hubungan yang mengatur prilaku tiap anggota dalam masyarakat.
Oleh karena itu,  Nilai sering muncul ketika berada ditengah masyarakat, dalam masyarakat itu pula nilai baru bisa diadopsi oleh orang lain. Makanya nilai dalam satu masyarakat dengan masyarakat lainnya terkadang tidak akan sama bahkan bertolak belakang, walaupun masyarakat itu bertetangga. Apalagi latar belakang pendidikan yang berbeda begitu juga cara pikirnya. Nilai bisa diberikan melalui pendidikan diberbagai tempat seperti keluarga, sekolah dan masyarakat.
Cara pikir masyarakat itu masih mempunyai tingkatan, ada yang sifatnya kritis, ada juga masyarakat bisa menerima nilai apabila ia merasakan itu baik terhadap dirinya. Makanya tidak tertutup kemungkinan dalam satu masyarakat mengatakan nilai yang biasa dilakukannya baik ketika di lakukan dimasyarakat lain ternyata buruk. Contohnya: satu masyarakat nilai yang tertanam pada masyarakatnya ketika berada dilinkungannya keluar rumah kaum wanita memakai tutup kepala dan pakai sarung, ternyata masyarakat disebelahnya ketika keluar rumah biasa saja tidak menutup kepala bahkan pakai pakaian diatas lutut. Nilai seperti inilah yang di luruskan oleh pendidikan dan bisa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan adanya perbedaan masyarakat begitu juga nilai yang akan digiring oleh pendidikan, maka penulis ingin mengembangkan dan ingin tau lebih luas tentang Pendidikan Nilai dan Masyarakat.
B.     Rumusan Maslah
1.      Apa pengertian pendidikan?
2.      Apa pengertian Nilai?
3.      Apa pengertian Pendidikan Nilai?
4.      Apa itu Masyarakat?
5.      Bagaimana kaitan pendidikan nilai dengan masyarakat?
C.    Tujuan Maslah
1.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan
2.      Untuk mengetahui pengertian nilai
3.      Untuk mengetahui pengertian pendidikan nilai
4.      Untuk mengetahui pengertian masyarakat
5.      Untuk mengetahui kaitan pendidikan dengan nilai dengan masyarakat




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pendidikan
Pendidikan mempunyai beberapa pengertian sesuai dengan sudut pandang seseorang, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab I pasal I dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menwujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Disisi lain, Ki Hadjar Dewantara mendefenisikan pendidikan sebagaimana yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Ukhbiyati adalah sebagai tuntutan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[2] Selain pendapat diatas, Ali Syariati mendefenisikan masyarakat sebagai kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing membentu agar bergerak ke arah tujuan  yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek semua perkembangan kepribadian, baik jasmani dan ruhani, secara formal, informal dan non formal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kehidupan dan nilai yang tinggi (baik nilai Insaniah aupun ilahiyah). Dalam hal ini, pendidikan berarti menumbuhkan kepribadian serta menanamkan rasa tanggung jawab sehingga pendidikan terhadap diri manusia adalah laksana makanan yang berfungsi member kekuatan, dan perbuatan untuk mempersiapkan generasi yang menjalankan kehidupan guna memenuhi tujuan secara efektif dan efisien.
B.       Pengertian Nilai
Betapa luasnya implikasi konsep nilai ketika dihubungkan dengan konsep lainnya, ataupun dikaitkan dengan sebuah statement. Konsep nilai ketika dihubungkan dengan logika menjadi benar-salah, ketika dihubungkan dengan estetika menjadi indah-jelek dan ketika dihubungkan dengan etika menjadi baik-buruk. Akan tetapi yang pasti bahwa nilai itu menyatakan sebuah kualitas. Bahkan dikatakan bahwa nilai adalah kualitas empiris yang tidak bisa didefinisikan. Hanya saja, sebagaimana dikatakan Lois Katsoff, kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefenisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami.[4]
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:
1.             Nilai yang berkenaan dengan kebenaran atau yang terkait dengan nilai benar-salah yang dibahas oleh logika.
2.             Nilai yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan nilai baik-buruk yang dibahas oleh moral.
3.             Nilai yang berkenaan dengan keindahan atau yang terkait dengan nilai indah-jelek yang dibahas oleh estetika.
Muhmidayeli mendefenisikan nilai adalah gambaran tentang sesuatu yang indah menarik yang mempesona, menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang memilikinya. Nilai dapat juga diartikan dalam makna benar-salah, baik-buruk, manfaat atau berguna, indah dan jelek.[5]
Nilai secara umum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Hamka dengan standard atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu.[6]
Defenisi lain, Kuppermen mendefenisikan nilai dalam Perspektif sosiologis sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.[7]
Dalam perspektif filosofis dapat dipahami pejelasan dari Prof. Amril Mansur. MA, sebagai guru besar di UIN Suska Riau, mendefenisikan nilai adalah sesuatu yang diharapkan, dinginkan dan memiliki harga bagi kehidupan, membawa pada pemahaman akan kualitas dari sesuatu apakah itu perbuatan atau perilaku, sikap atau benda-benda yang dinilai. Oleh karena itu kajian dalam filsafat moral arahnya tidak sebatas mengevaluasi keputusan-keputusan moral, bagaimana orang benar-benar perilaku nilai, media sebagai alat guna terwujudnya perilaku yang memiliki nilai dan tujuan-tujuan hidup yang bermuatan nilai tetapi juga mampu melakukan evaluasi terhadap itu semua.[8]
Douglas Graham, melihat ada empat faktor yang merupakan kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yaitu:[9]
1.             Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu; a) Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri, b) Kepatuhan pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri, dan c) Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu sendiri.
2.             Integralist. Yaitu kapatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3.             Fenomenalist. Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa basi.
4.             Hedonist. Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist. Sebab kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa mempedulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Dalam hal ini, ada beberapa cara memperoleh nilai yang akan dipaparkan oleh penulis sebagai berikut:
1.             Pencarian kebenaran dan keutamaan melalui filsafat,yakni melalui cara berpikir kontemplatif (paradigm logis-abstrak). Melalui filsafat seseorang bisa menemukan makna dari sesuatu yang abstrak atau makna yang ada “dibelakang” objek yang konkret. Filsafat mengoptimalkan fungsi nalar untuk menemukan makna yang tidak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan. Makna itu dapat menjadi rujukan (nilai) seseorang jika benar-benar diyakininya atau dirumuskan ke dalam klausal-klausal normatif.
2.             Nilai diperoleh melalui paradigma berpikir logis-empiris. Paradigma ini merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang selalu memerlukan bukti-bukti yang nyata dalam menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu. Nilai yang diperoleh melalui jalan ini banyak mengungkapkan kebenaran teoretik karena ditempuh melalui cara berpikir ilmiah. Nilai-nilai keutamaan ini banyak kita temukan dalam cabang disiplin ilmu agama, ilmu social, dan humaniora.[10]
3.              Nilai diperoleh melalui hati dan fungsi rasa, cara ini tidak lagi menyertakan pertimbangan logis (filsafat) atau logis –empiris (ilmu pengetahuan). Karena nilai atau pengetahuan dengan cara ini masuk melalui “pintu” intuisidan bersarang dalam keyakinan hati. Nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal ghaib yang tidak dapat terjangkau melalui cara berpikir kontemplatif (filsafat) dan cara berpikir ilmiah dapat diketahui melalui ketajaman mata hati. Model perolehan nilai ini dilakukan dengan cara pengembangan bathin pada wilayah supra-logis. Sifat pengetahuan nilai pada wilayah ini tidak memenuhi kecukupan pengetahuan (sufficient-rationalis) untuk dipahami secara filosofis maupun ilmiah. Keberadaannya hanya dapat diterima oleh rasa. Pengakuan kebenaran hanya bisa diberikan oleh orang yang pernah mengalami fenomena keagamaan serupa.[11]
C.      Pendidikan Nilai
Pada sub bab diatas sudah dijelaskan defenisi nilai, yaitu suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris dan mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukam atau kriteria seseorang tentang baik-tidak baik dan sebagainya.
Pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Mardiatmaja mengemukakan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Dengan demikian pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan.[12]
Konsep utama pendidikan nilai adalah bagaimana orang dapat hidup dengan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dengan pengakuan yang sadar baik secara kognitif, emosional dan perilaku.
Pendidikan nilai merupakan usaha khusus, tetapi juga tetapi juga dapat disebut sebagai dimensi dalam keseluruhan usaha pendidikan. Pendidikan semacam ini semakin penting karena kesadaran nilai oleh masyarakat semakin tinggi. Ada tiga hal yang menjadi sasaran pendidikan nilai, yaitu:
1.             Membantu peserta didik untuk menyadari makna nilai dalam hidup manusia.
2.             Membantu pendalaman dan pengembangan pemahaman serta pengalaman nilai.
3.             Membantu peserta didik untuk mengambil sikap terhdap aneka nilai dalam perjumpaan dengan sesame, agar dapat mengarahkan hidupnya bersama orang lain secara bertanggung jawab .
Uraian diatas memberikan pemahaman bahwa pentingnya pendidikan nilai, jika dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari (dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun). Nilai tidaklah datang secara otomatis kepada diri manusia, akan tetapi nilai itu dapat diraih melalui dengan pendidikan. Begitu juga, jika dikaitkan dengan pendidikan karakter haruslah dilakukan melalaui pendidikan nilai atau kebajikan yang menjadi dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Tegasnya, Pendidikan nilai ini merupakan proses yang diberikan kepada peserta didik yang materinya tentang nilai, aturan-aturan yabg disepakati dalam masyarakat tertentu sebagai sesuatu nilai. Selanjutnya, setelah memiliki ilmu yang matang tentang nilai dan siap mengembangkannya dibawah prinsip-prinsip nilai atau aturan tersebut dalam kehidupan mereka.
D.      Pengertian Masyarakat
Banyak para ahli telah memberikan pengertian tentang masyarakat Salah satunya pendapat Ramayulis dan Syamsul Nizar, mengungkapkan Secara sederhana, masyarakat didefinisikan sebagai kumpulan individu atau kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Didalamnya termasuk segala jalinan hubungan yang timbal balik yang berangkat atas kepentingan bersama adat kebiasaan, pola-pola. Teknik-teknik, system hidup, undang-undang, instuisi dan segala segi fenomena yang dirangkum oleh masyarakat.[13]
Ali syariati mendefenisikan masyarakat yang di kutip oleh Al Rasyidin sebagai kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.[14]
Berdasarkan defenisi ini, maka ada empat unsur dasar dalam terma masyarakat, yaitu:
1.             Berhimpunnya sejumlah individu.
2.             Semua individu tersebut sepakat adanya tujuan yang sama.
3.             Setiap individu dalam kumpulan tersebut saling membantu dalam pencapaian tujuan yang sama.
4.             Adanya kepemimpinan yang sama, yang disepakati secara bersama.
Znaniecki menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah geografis tertentu selama periode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiologi suatu masyarakat dibentuk hanya dalam kesejajaran kedudukan yang diterapkan dalam suatu organisasi.[15]
Pendapat tersebut di atas tampak bahwa memunculkan unsur baru dalam pengertian masyarakat yaitu suatu kelompok yang telah bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan geografis tertentu dan kelompok itu merupakan suatu sistem biofisik. Oleh karena itu masyarakat bukanlah kelompok yang berkumpul secara mekanis akan tetapi berkumpul secara sistemik. Manusia yang satu dengan yang lain saling memberi, manusia dengan lingkungannya selain menerima dan saling memberi.
Dilihat dari sisi materi atau pengetahuannya masyarakat dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
1.             Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang kehidupannya masih diikat oleh adat istiadat nenek luhurnya atau adat istiadat yang lama. Oleh karena itu masyarakat tradisional tidak mendapatkan perubahan yang mendasar dari perubahan-perubahan yang ada dalam masa sekarang ini, walau memang tidak menutup kemungkinan masyarakat tradisional sekarang sudah mengetahui tentang teknologi yang canggih namun mereka hidup masih menggunakan dasar adat istiadat leluhur mereka. Dan yang lebih menonjol dari masyarakat tradisional yaitu mereka hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak dipedalaman yang jauh dari keramaian. Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang bisa kita juluki dengan nama masyarakat “paguyuban”. Masyarakat tradisional sangat erat atau rukun dalam proses berkomunikasi dalam lingkunganya, interaksi diantara mereka itu sangat erat sekali. Adapun ciri-ciri kehidupan masyarakat tradisional adalah sebagai berikut:
a.              Memiliki jiwa tolong menolong. Sistem tolong menolong dalam masyarakat tradisional atau pedesaan identik dengan sukarela.
b.             Suka gotong royong
c.              Berjiwa gotong royong
d.             Musyawarah dan Berjiwa Musyawarah.[16]
Selain ciri-ciri  diatas, secara garis besar pada umumnya ciri-ciri masyarakat tradisional antara lain :
a.              Jumlah anggotanya relatif kecil sehingga hubungan antar warga masyarakat cukup kuat
b.             Masyarakat homogen dilihat dari keturunan, tradisi dan mungkin mata pencahariannya
c.              memiliki orde (aturan) yang mengikat anggota masyarakatnya (dipatuhi)
d.             Bersikap tertutup dan cenderung curika pada unsur budaya asing
e.              Kehidupan sosial cenderung statis (lambat untuk maju)
f.              Mobilitas sosialnya relatif rendah karena mereka sudah puas pada sesuatu yang telah dimilikinya.
g.             Hubungan emosional dengan alam tempat asal usul (kelahirannya) sangat kuat, dan alam dipandang sebagai sesuatu yang dahsyat dan tak terelakan sehingga manusia harus tunduk kepadanya.
h.             Sikap religius sangat kuat yaitu kepatuhan terhadap sesuatu yang menjadi kepercayaan (agama) sangat kuat.[17]
2.             Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan munculnya perubahan dalam masyarakat Masyarakat modern dalam lingkungan kebudayan ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi untuk menghadapi keadaan sekitarnya.[18]
Dalam masyarakat modern segala sesuatu diusahakan atau dikerjakan dengan sungguh-sungguh serta rasional sehingga menyebabkan selalu timbul pertanyaan dalam masyarakat apakah kegunaan sesuatu bagi usaha menguasai lingkungan sekitarnya. Akibat dari kehidupan tersebut, maka akan timbul sikap dalam masyarakat modern, diantaranya :
1.             Terlalu percaya dengan peralatan dan teknik yang berjalan secara mekanis sebagai satu hasil pemikiran manusia (Ilmu pengetahuan). Dalam hal ini masyarakat tergolong dalam paham positivism.
2.             Berbuat dan bertindak sesuai dengan rencana yang terperinci sehingga tidak jarang manusia dikendalikan oleh rencana yang disusunnya.
3.             Timbul rasa kehilangan orientasi dan jati diri yang dapat melemahkan kehidupan bathin dan keagamaan.
Tanpa disadari masyarakat modern semakin tergantung pada alat dan teknologi yang diciptakan untuk menguasai dunia sekitarnya. Tidak jarang mereka kehilangan identitas karena sudah dikuasai oleh mekanisme yang mereka ciptakan sehingga mereka hidup tanpa jiwa dan tanpa kekuasaan. Dalam masyarakat modern (komplek – penduduk rapat) kompleksitas dan kerapatan penduduk yang tinggi membuat mereka kurang sensitif terhadap emosional mereka  apalagi masalah keagamaan mereka. Mereka cenderung ragu-ragu dalam memilih kepercayaan.[19]
Yang paling fundamental dalam masyarakat modern adalah kepercayaan akan kemajuan ilmu pengetahuan. Bagi mereka, masa depan bersifat terbuka. Mereka percaya bahwa kondisi kemanusiaan, fisik, spiritual dapat diperbaiki dengan penggunaan sain dan teknologi. Beberapa akibat dari kehidupan masyarakat modern adalah mereka terasing secara kehidupan sosial yang disebabkan oleh pertumbuhan urbanisme yang mendorong mobilitas dan melemahkan ikatan-ikatan kekeluargaan.[20]
E.       Hubungan Pendidikan Nilai dengan Masyarakat
Pada sub judul diatas sudah dijelaskan pengertian pendidikan nilai dan masyarakat, jika dipamahami bahwa hubungan pendidikan nilai dan masyarakat sangatlah penting dan tidak bisa dipisahkan, seperti ruh dan jasad. Karena pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang dan sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Dalam kebudayaan masyarakat sederhana agen pendidikan yang formal termasuk di dalamnya keluarga dan kerabat. Sedangkan sekolah muncul relatif terlambat dalam lingkungan masyarakat tradisional. Adapun beberapa kondisi menurut Imran Manan yang mendorong timbulnya lembaga pendidikan (sekolah) dalam masyarakat tradisional adalah :[21]
1.             Perkembangan agama dan kebutuhan untuk mendidik para calon ulama, pendeta, dll.
2.             Pertumbuhan dari dalam (lingkungan masyarakat itu sendiri) atau pengaruh dari luar.
3.             Pembagian kerja dalam masyarakat yang menuntut keterampilan dan dan teknik khusus.
4.             Konflik dalam masyarakat yang mengancam nilai-nilai tradisional dan akhirnya menuntut pendidikan untuk menguatkan penerimaan nilai-nilai warisan budaya.
Anak-anak dalam masyarakat modern terhadap pendidikan mempunyai sebab-sebab berlawanan, ketidak mampuannya menghubungkan informasi yang diperolehnya disekolah dengan apa  yang mesti dia ketahui supaya bekerja produktif dan menikmatinya dalam kehidupannya. Sementara anak-anak masyarakat sederhana selalu dalam hubungan yang intim dengan visi orang dewasa terhadap keterampilan yang sedang dipelajarinya,sebaliknya anak-anak masyarakat modern pada umumnya terpisah  secara fisik dan psikologi dari pekerjaan-pekerjaan yang akan menggunakan pengetahuanya.
Adapun perbandingan Pendidikan Masyarakat Modern dan tradisional sebagaimana berikut:
1.             Dalam masyarakat sederhana guru-guru mempraktekkan apa yang mereka ajarkan sedangkan dalam masyarakat modern guru-guru tidak bisa sekalian menjadi eksekutif karena tidak mempunyai lagi yang di ajarkan.
2.             Guru-guru dalam msayarakat sederhana sangat terikat pada murid-murudnya ,anggota kerabatnya dan juga pada apa yang diajarkannya sedangkan pada masyarakat modern  tidak terlibat secara langsung dengan sukses atau gagal muridnya, kurang merasakan insentif hidup atau mati untuk mengajar secara efektif.
3.             Dalam masyarakat Sederhana mengajarkan dan belajar menjadi lebih mudah sebab objek pengajaran selalu dapat diperoleh sedangkan masyarakat modern pada umumnya sulit didapatkan.
4.             Masyarakat modern mengajarkan anak-anak mereka lebih banyak pengetahuan daripada masyarakat sederhana, masyarakat modern lebih banyak metode mengajar dan menggunakan waktu lebih banyak dalam pengajaran formal.[22]
Pola antar hubungan individu dalam masyrakat pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang diakui bersama dan diabadikan dalam norma dan aturan yang pada umumnya tidak diverbalkan. Dengan demikian, masing-masing individu diharuskan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral sehingga tercipta suatu hubungan social yang relatif stabil. Hubungan social yang relative stabil tersebut dilakukan dengan cara individu menginternalisasikan nilai-nilai yang membentuk keteraturan tersebut sehingga tidak terjadi konflik social. Individu-individu muda, dalam hal ini anak dalam proses inntegrasinya dengan masyarakat akan lambat laun mempelajari dan mengenali pola-pola hubungan yang ada tersebut untuk mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat merupakan wadah dimana individu mengalami proses pembelajaran secara langsung. Dalam hal ini juga pendidikan nilai untuk anak tidak cukup dilembaga formal (sekolah) akan tetapi pendidikan dalam mayarakat bisa menentukan pendidikan nilai anak.[23]
Dari pemahaman diatas dapat disimpulkan ada tiga point jika dikaitkan hubungan pendidikan nilai dengan masyarakat sebagai berikut:
1.             Penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang
Dapat dipahami bahwa seorang pendidik haruslah menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik  terutama dari lembaga pendidikan formal. Karena dewasa ini, pendidikan seluruhnya sudah diamanahkan kepada lembaga pendidikan dan tidak ikut berperan pada pendidikan keluarga.
2.             Sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai.
Fungsi dari penanaman nilai-nilai kepada peserta didik adalah agar peserta didik bisa memecahkan masalah yang dihadapinya dan persolan-persoalan yang terjadi dilingkungannya.
3.             Menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya
Dapat dipahami, setelah pendidik menanamkan nilai-niliai moral kepada peserta didik di sekolah maka tujuannya adalah untuk masyarakat. Karena manusia tidak bisa terlepas dari masyarakat. Intinya dari hasil nilai-nilai yang ia capai di sekolah haruslh bisa memainkan perannya di masyrakat.[24]

Secara singkat pendidikan merupakan produk dari masyarakat, karena apabila kita sadari arti pendidikan sebagai proses transmisi nilai, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda maka seluruh upaya tersebut sudah dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita dengan orang lain baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan sebagainya. Wajar pula apabila segala sesuatu yang kita ketahui adalah hasil hubungan timbal balik yang ternyata sudah sedemikian rupa dibentuk oleh masyarakat kita.
Bagi masyarakat sendiri, hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata perilaku lainnya yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap anggota. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode zaman kepada generasi muda melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi.[25]
Sebagai wadah perubahan dan kebaikan yang bermuatan pengembangan tentunya pendidikan persekolahan dapat dikatakan sebagai sarana rekayasa individual dan sosial, pengembangan kemanusiaan kearah pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih baik yang menjadi lambang bagi entitasnya. Oleh karena itu, maka penyesuaian misi sekolah dengan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat yang terlibat di dalam aktivitasnya merupakan suatu kemestian.
Dikatakan sebagai agen rekayasa dan perubahan sosial masyarakat, karena disekolah terjadi suatu proses yang mana seseorang menginternalisasikan norma dan nilai yang memiliki korelasi dengan kehidupan masa depan. Proses internalisasi ini berlanjut dalam nilai dan perilaku, baik ditengah-tengah keluarga maupun dalam pergaulan.
Kesadaran akan eksistensi pendidikan seperti inilah, maka para pakar pendidikan selalu mengadakan pembaharuan-pembaharuan di bidang  pendidikan agar segala aktikvitas yang dilakukan didalamnya benar-benar menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.[26]
Dari penjelasan diatas dapat dipahami dan diperkuat bahwa dewasa ini, dalam masyarakat yang cepat berubah, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang dianggapnya baik. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tidak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat. Oleh sebab itu, perlunya penanaman nilai-nilai akhlak etis atau moral kepada generasi muda agar terwujudnya masyarakat baldatun toyyibun robbun ghafur.
Dalam perspektif Islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhmidayeli dalam bukunya, bahwa hubungan pendidikan nilai dengan masyarakat, haruslah anak didik mampu mewujudkan dalam dirinya nilai-nilai islam, yakni bermoral etis atau berakhlak serta mengapresiasikan dalam kehidupannya dan memberikan solusi yang cerdas terhadap problematika dirinya dan masyarakatnya.[27]
Dalam hal ini, betapa pentingnya dua aspek esensial pendidikan (keterkaitan pendidikan dengan moral etis dan keterkaitan pendidikan dengan transformasi masyarakat) perlu dikembangkan. Karena dengan pengembangan dua aspek ini, pendidikan nantinya tidak lagi hanya melahirkan dan cakap memanfaatkannya, namun sangat lemah baik dalam berprilaku moral etis maupun mengapresiasi tatanan kehidupan social masyarakat yang timpang yang hanya melahirkan ketidakadilan social didalam kehidupan masyarakat.
Ketersentuhan pendidikan dengan pentarnsformasian masyarakat selain seperti diatas yang diuraikan diatas, juga dapat membawa anak didik pada kesadaran akan pentingnya kehidupan yang lebih baik secara bersama-sama dalam masyarakat. Artinya anak didik dapat dibawa pada pemahaman akan nilai-nilai kehidupan kemanusiaan yang universal disamping kesediaan saling menghargai dalam menghargai. Hal ini dikarenakan dalam upaya pentransformasian masyarakat yang berkeadilan tentulah didasari pada nilai-nilai kebajikan universal, bebas dominasi dan bebas penindasan.
Pendidikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang didasari atas pertimbangan-pertimbangan objektivitas dan agama tentunya menjadi ukuran yang paling fundamental sekaligus menjadi prinsip dalam penataan kehidupan social masyarakat.[28] Hal ini fiman Allah Swt yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  

Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[29]

Penjelasan ayat di atas dapat dipahami bahwa pesan moral keadilan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Secara historis jika dilacak jejak Rasullullah Saw, bahwa beliau adalah sebagai pemimpin Religio-political community dalam masyarakat yang pluralistik. Nabi Saw mampu membangun kebersamaan antara berbagai suku dan agama serta berbagai kepentingan dalam suatu kepentingan yang lebih besar, melampaui kepentingan suku dan agama dari setiap kelompok yang hidup didalam masyarakat itu.[30]
Singkatnya, penulis memahami dari penjelasan yang diungkapkan oleh Muhmidayeli, bahwa aspek ini sangat perlu ditekankan dalam masyarakat agar terwujudnya kepribadian moral etis atau akhlak etis  yang terpuji dan terbangunnya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan dan terlepas dari penzaliman dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
D.      Pendidikan Nilai dan Tangggung jawab Masyarakat
Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Namun, pendidikan di sekolah sering kurang relevan dengan kehidupan masyarakat. Kurikulum kebanyakan berpusat pada mata pelajaran yang tersusu secara logis sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Apa yang dipelajari tampaknya hanya perlu untuk kepentingan sekolah untuk ujian dan bukan membantu anak agar hidup lebih efektif dalam masyarakat.[31]
Manusia sebagai makhluk sosial hidup dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan berkembang kearah kemajuan. Perkembangan tersebut menyebabkan masyarakat menjadi semakin kompleks, yang berakibat semakin besarnya tututan untuk hidup layak secara manusia.[32]
Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam tersenggelaranya proses pendidikan nilai. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung tumbuhkembannya nilai individu masyarakat.[33]
Oleh karena itu, orang tua di lingkungan keluarga dan pemuka-pemuka besar yang ada di masyarakat, dituntut bertanggung jawab terhadap anggota masyarakatnya. Untuk keperluan itu, manusia saling membantu dalam mewujudkan hakikat sosialitasnya. Manusia bahu-membahu dalam berbuat kebaikan dan amal shaleh, termasuk membimbing anak menjadi orang dewasa. Upaya tolong-menolong itu dilakukan, antara lain dengan mendirikan lembaga pendidikan non formal, seperti langgar, surau dan mesjid dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan kehidupan manusia sebagai hamba Allah. Oleh karena itu, masyarakat bertanggung jawab mendukung dan membantu kelancaran seluruh aktivitas pendidikan agar terwujudnya manusia yang memiliki nilai-nilai moral yang berlaku dimasyarakat setempat.
Setiap masyarakat memiliki tanggung jawab edukatif untuk meningkatkan, mengajar, mendidik, melatih, mengarahkan dan membimbing sesamanya. Secara umum, tugas-tugas edukatif yang harus dilaksanakan masyarakat itu antara lain:[34]
1.             Mengarahkan diri dan semua anggota masyarakat untuk beribadah kebada Allah.
2.             Saling tolong-menolong
3.             Masyarakat harus mendidik sesamanya agar selalu memiliki nilai-nilai agamis.
E.       Sistem Nilai dan Masyarakat
Tiap masyarakat memiliki sistem nilainya sendiri yang coraknya berbeda dengan masyarakat lain. Dalam sistem nilai senantiasa terjalin nilai-nilai kebudayaan nasional dengan nilai-nilai yang unik. Dalam nilai-nilai itu terdapat jenjang prioritasm, ada nilai yang dianggap lebih tinggi dari pada yang lain yang dapat berbeda menurut pendirian individual.
Dalam masyarakat kota yang mempunyai universitas dan penduduk yang intelektual sikap orang lebih liberal, lebih terbuka bagi modernitas dan pendirian atau bentuk kelakuan yang baru, yang lain dari pada yang lain, baik tentang buah pikiran, moral, maupun tentang pakaian, pergaual dan lain sebagainya.[35]
Sebailkya dalam masyarakat pedesaan yang mempunyai tradisi yang kuat dan sangat taat pada agama, sikap dan prilaku orang lebih homogen. Penyimpangan dari yang tidak lazim segera akan mendapat kecaman dan kelakuan setiap orang diawasi dan diatur oleh orang sekitarnya.[36]
Dalam kedua masyarakat itu anak-anak didik menurut cara yang berbeda-beda dan berkembang menjadi pribadi yang berbeda-beda pula, walaupun kedua masyarakat itu berbeda-beda, namun ada pula persamaannnya yakni mereka semua sama sebagai anggota suatu bangsa yang mempunyai kebudayaan nasionalyang sama, orang indonesia dimananapun ia berada mempunyai filsafat, bahasa, sejarah, dan kebudayaan yang sama, walaupun setiap daerah mempuyai ciri-ciri yang khas.
Tiap guru harus mengenal lingkungan sosial tempat ia berada agar ia dapat memenuhi latar belakang cultural anak dan jangan mengucapkan atau berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma yang dibuat oleh masyarakat .
Dalam suatu masyarakat mungkin pula terdapat pebedaan pendirian tentang nilai mana yang dominan. Golongan pengusaha mungkin lebih liberal progresif, golongan adat lebih mengutamakan tradisi dan cenderung menentang perubahan atau setidak-tidaknya hati-hati atau curiga terhadap perubahan. Juga golongan agama akan cenderung bersikap konservatif. Dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan umum, termasuk pendidikan, akan terdapat kesulitan untuk mempertemukan perbedaan norma-norma itu. [37]










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.         Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek semua perkembangan kepribadian, baik jasmani dan ruhani, secara formal, informal dan non formal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kehidupan dan nilai yang tinggi (baik nilai Insaniah aupun ilahiyah).
2.         Pengertian Nilai
Nilai adalah gambaran tentang sesuatu yang indah menarik yang mempesona, menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang memilikinya.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:
a.              Nilai yang berkenaan dengan kebenaran atau yang terkait dengan nilai benar-salah yang dibahas oleh logika.
b.             Nilai yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan nilai baik-buruk yang dibahas oleh moral.
c.              Nilai yang berkenaan dengan keindahan atau yang terkait dengan nilai indah-jelek yang dibahas oleh estetika.
3.         Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang dan sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Konsep utama pendidikan nilai adalah bagaimana orang dapat hidup dengan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dengan pengakuan yang sadar baik secara kognitif, emosional dan perilaku.

4.         Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan individu atau kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Didalamnya termasuk segala jalinan hubungan yang timbal balik yang berangkat atas kepentingan bersama adat kebiasaan, pola-pola. Teknik-teknik, system hidup, undang-undang, instuisi dan segala segi fenomena yang dirangkum oleh masyarakat.
Berdasarkan defenisi ini, maka ada empat unsur dasar dalam terma masyarakat, yaitu:
a.              Berhimpunnya sejumlah individu.
b.             Semua individu tersebut sepakat adanya tujuan yang sama.
c.              Setiap individu dalam kumpulan tersebut saling membantu dalam pencapaian tujuan yang sama.
d.             Adanya kepemimpinan yang sama, yang disepakati secara bersama.
Dilihat dari sisi materi atau pengetahuannya masyarakat dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: masyarakat tradosional dan masyarakat modern.
5.         Hubungan Pendidikan Nilai dengan Masyarakat
Hubungan pendidikan nilai dengan masyarakat, haruslah anak didik mampu mewujudkan dalam dirinya nilai-nilai islam, yakni bermoral etis atau berakhlak serta mengapresiasikan dalam kehidupannya dan memberikan solusi yang cerdas terhadap problematika dirinya dan masyarakatnya.
Dalam hal ini, betapa pentingnya dua aspek esensial pendidikan (keterkaitan pendidikan dengan moral etis dan keterkaitan pendidikan dengan transformasi masyarakat) perlu dikembangkan. Karena dengan pengembangan dua aspek ini, pendidikan nantinya tidak lagi hanya melahirkan dan cakap memanfaatkannya, namun sangat lemah baik dalam berprilaku moral etis maupun mengapresiasi tatanan kehidupan social masyarakat yang timpang yang hanya melahirkan ketidakadilan social didalam kehidupan masyarakat.
Ketersentuhan pendidikan dengan pentarnsformasian masyarakat selain seperti diatas yang diuraikan diatas, juga dapat membawa anak didik pada kesadaran akan pentingnya kehidupan yang lebih baik secara bersama-sama dalam masyarakat. Artinya anak didik dapat dibawa pada pemahaman akan nilai-nilai kehidupan kemanusiaan yang universal disamping kesediaan saling menghargai dalam menghargai. Hal ini dikarenakan dalam upaya pentransformasian masyarakat yang berkeadilan tentulah didasari pada nilai-nilai kebajikan universal, bebas dominasi dan bebas penindasan.
B.       Saran Penulis
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini dapat menggambarkan tentang sekilas Pendidikan Nilai dan Masyrakat . Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam isi makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan masukan, kritikan, saran atau yang lainnya untuk menyempurnakan isi makalah ini.






[1] Abdul Latif , Pendidikan Nilai Kemasyarakatan ( Bandung : Refika Aditama 2009), hal. 7
[2] Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter ( Yogyakarta :Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 27
[3] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami; Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi ( Medan : Cita Pustaka Media, 2012), hal. 32
[4] Abdul Latif, Op.Cit., hal. 69
[5] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan ( Bandung : Refika Aditama, 2013), hal. 101
[6] Abd. Haris, Etika Hamka (Yogyakarta : LKiS, 2012), hal. 30
[7] Ibid.,
[8] Amril Mansur, Pendidikan Nilai ; Telaah Epistimologi, dan Metodologis Pembelajaran Akhlak di Sekolah (laporan Hasil Penelitian), hal. 15
[9] Tatang S, Ilmu Pendidikan ( Bandung : Pustaka Setia, 2012), hal. 275
[10] Abdul Latif, Op.Cit., hal. 73
[11] Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 81-83
[12] Amril, Op.Cit., hal. 
[13] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hal. 65
[14] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami ; Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Praktik Pendidikan ( Medan : Cita Pustaka Media Printis, 2012), hal. 32
[15] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi & Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 11
[16] Imran Manan, Anthropologi Pendidikan; Suatu pengantar (Jakarta: Departemen P & K, PP-LPTK, 1989), hal. 27
[18] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1982), hal. 63
[19] Imran Manan, Op.Cit, hal. 53
[20] Norman Long, Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Jakarta: Pt Bumi Aksara, 1992), hal. 25
[21] Imran Manan, Op.Cit, hal. 57
[22] Ibid., hal. 59
[23] Abdul Latif, Op.Cit., hal. 33
[24] Zubedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial ( Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hal. 24
[25] Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2012), hal. 141-142
[26] Amril M, Etika dan Pendidikan ( Pekanbaru : LSFK2P, 2005), hal. viii-ix
[27] Muhmidayeli, Op.Cit., hal. vi
[28] Ibi., hal. xii
[29] Q.S. Al-Maidah : 8
[30] Muhmidayeli, Op.Cit., hal. xiv
[31] Lihat penjelasan Amril Mansur, Etika dan Pendidikan, Op.Cit., hal. viii-ix
[32] Tatang S, Op.Cit., hal. 92
[33] Syamsul Kurniawan, Op.Cit., hal. 197
[34] Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 38
[35] Zubedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial ( Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hal. 25
[36] Ibid., hal. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar