BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan manusia setelah berada dan hidup di dunia ini.
Pertumbuhan dan perkembangan seseorang mengiringi pendidikan pada dirinya mulai
dari bayi sampai ia mati, mulai dari ia tahu sesuatu sampai ia pikun.
Pendidikan mempunyai proses pada diri manusia sesuai pula dengan fitrah yang
ada padanya masing-masing. Terkadang pendidikan itu ada yang berkembang dengan
cepat da nada pula yang lambat bahkan ada tidak berkembang sama sekali.
Pendidikan
pada dasarnya akan menumbuhkan nilai pada diri seseorang dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai seseorang akan tampak ketika
berbuat disaat ia sadar dan berada pada tempat manusia beraktifitas.
Nilai bisa direalisasikan apabila ada kehidupan ditempat itu, disaat itulah
baru terlihat pengaruh dari pendidikan. Pendidikan bisa mengarahkan nilai yang
ada pada diri seseorang, ketika nilai seseorang baik maka dengan pendidikan itu
bisa meningkatkan ataupun tetap
memelihara nilai-nilai itu sendiri. Bagi nilai seseorang itu dikategorikan
buruk maka dengan pendidikan bisa nilai itu menjadi baik.
Nilai erat kaitannya dengan masyarakat. Setiap masyarakat memiliki
nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Masyarakat itu sendiri merupakan nilai
yang tidak terhingga bagi orang yang memilikinya. Dapat dikatakan Sistem nilai
budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup
dan biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, yang
dijabarkan dalam bentuk kongkrit berupa aturan, norma, atau hubungan yang
mengatur prilaku tiap anggota dalam masyarakat.
Oleh
karena itu, Nilai sering muncul ketika
berada ditengah masyarakat, dalam masyarakat itu pula nilai baru bisa diadopsi
oleh orang lain. Makanya nilai dalam satu masyarakat dengan masyarakat lainnya
terkadang tidak akan sama bahkan bertolak belakang, walaupun masyarakat itu
bertetangga. Apalagi latar belakang pendidikan yang berbeda begitu juga cara
pikirnya. Nilai bisa diberikan melalui pendidikan diberbagai tempat seperti
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Cara
pikir masyarakat itu masih mempunyai tingkatan, ada yang sifatnya kritis, ada
juga masyarakat bisa menerima nilai apabila ia merasakan itu baik terhadap
dirinya. Makanya tidak tertutup kemungkinan dalam satu masyarakat mengatakan
nilai yang biasa dilakukannya baik ketika di lakukan dimasyarakat lain ternyata
buruk. Contohnya: satu masyarakat nilai yang tertanam pada masyarakatnya ketika
berada dilinkungannya keluar rumah kaum wanita memakai tutup kepala dan pakai
sarung, ternyata masyarakat disebelahnya ketika keluar rumah biasa saja tidak
menutup kepala bahkan pakai pakaian diatas lutut. Nilai seperti inilah yang di
luruskan oleh pendidikan dan bisa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan masyarakat begitu juga nilai yang akan digiring oleh
pendidikan, maka penulis ingin mengembangkan dan ingin tau lebih luas tentang
Pendidikan Nilai dan Masyarakat.
B. Rumusan Maslah
1. Apa
pengertian pendidikan?
2. Apa
pengertian Nilai?
3. Apa
pengertian Pendidikan Nilai?
4. Apa
itu Masyarakat?
5. Bagaimana
kaitan pendidikan nilai dengan masyarakat?
C. Tujuan Maslah
1. Untuk
mengetahui pengertian pendidikan
2. Untuk
mengetahui pengertian nilai
3. Untuk
mengetahui pengertian pendidikan nilai
4. Untuk
mengetahui pengertian masyarakat
5. Untuk
mengetahui kaitan pendidikan dengan nilai dengan masyarakat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan mempunyai beberapa
pengertian sesuai dengan sudut pandang seseorang, sebagaimana yang terdapat
dalam Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional Bab I pasal I dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk menwujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.[1]
Disisi lain, Ki Hadjar Dewantara
mendefenisikan pendidikan sebagaimana yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur
Ukhbiyati adalah sebagai tuntutan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak
agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[2]
Selain pendapat diatas, Ali Syariati mendefenisikan masyarakat sebagai kumpulan
orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing
membentu agar bergerak ke arah tujuan
yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang
dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek semua
perkembangan kepribadian, baik jasmani dan ruhani, secara formal, informal dan
non formal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kehidupan dan nilai yang
tinggi (baik nilai Insaniah aupun ilahiyah). Dalam hal ini,
pendidikan berarti menumbuhkan kepribadian serta menanamkan rasa tanggung jawab
sehingga pendidikan terhadap diri manusia adalah laksana makanan yang berfungsi
member kekuatan, dan perbuatan untuk mempersiapkan generasi yang menjalankan
kehidupan guna memenuhi tujuan secara efektif dan efisien.
B.
Pengertian Nilai
Betapa luasnya implikasi konsep
nilai ketika dihubungkan dengan konsep lainnya, ataupun dikaitkan dengan sebuah
statement. Konsep nilai ketika dihubungkan dengan logika menjadi
benar-salah, ketika dihubungkan dengan estetika menjadi indah-jelek dan ketika
dihubungkan dengan etika menjadi baik-buruk. Akan tetapi yang pasti bahwa nilai
itu menyatakan sebuah kualitas. Bahkan dikatakan bahwa nilai adalah kualitas
empiris yang tidak bisa didefinisikan. Hanya saja, sebagaimana dikatakan Lois
Katsoff, kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefenisikan tidak berarti nilai
tidak bisa dipahami.[4]
Dari penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa nilai itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:
1.
Nilai
yang berkenaan dengan kebenaran atau yang terkait dengan nilai benar-salah yang
dibahas oleh logika.
2.
Nilai
yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan nilai baik-buruk yang
dibahas oleh moral.
3.
Nilai
yang berkenaan dengan keindahan atau yang terkait dengan nilai indah-jelek yang
dibahas oleh estetika.
Muhmidayeli mendefenisikan
nilai adalah gambaran tentang sesuatu yang indah menarik yang mempesona,
menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan merupakan sesuatu yang
menjadikan seseorang atau sekelompok orang memilikinya. Nilai dapat juga
diartikan dalam makna benar-salah, baik-buruk, manfaat atau berguna, indah dan
jelek.[5]
Nilai secara
umum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Hamka dengan standard atau ukuran
(norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu.[6]
Defenisi lain,
Kuppermen mendefenisikan nilai dalam Perspektif sosiologis sebagai patokan
normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara
cara-cara tindakan alternatif.[7]
Dalam
perspektif filosofis dapat dipahami pejelasan dari Prof. Amril Mansur. MA,
sebagai guru besar di UIN Suska Riau, mendefenisikan nilai adalah sesuatu yang
diharapkan, dinginkan dan memiliki harga bagi kehidupan, membawa pada pemahaman
akan kualitas dari sesuatu apakah itu perbuatan atau perilaku, sikap atau
benda-benda yang dinilai. Oleh karena itu kajian dalam filsafat moral arahnya
tidak sebatas mengevaluasi keputusan-keputusan moral, bagaimana orang
benar-benar perilaku nilai, media sebagai alat guna terwujudnya perilaku yang
memiliki nilai dan tujuan-tujuan hidup yang bermuatan nilai tetapi juga mampu melakukan
evaluasi terhadap itu semua.[8]
Douglas Graham,
melihat ada empat faktor yang merupakan kepatuhan seseorang terhadap nilai
tertentu yaitu:[9]
1.
Normativist. Biasanya
kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu; a) Kepatuhan pada nilai atau norma itu
sendiri, b) Kepatuhan pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri, dan c) Kepatuhan
pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu sendiri.
2.
Integralist.
Yaitu kapatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3.
Fenomenalist.
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa basi.
4.
Hedonist. Yaitu
kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi
dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan
yang bersifat normativist. Sebab kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan
yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa mempedulikan apakah perilaku itu
menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Dalam
hal ini, ada beberapa cara memperoleh nilai yang akan dipaparkan oleh penulis sebagai
berikut:
1.
Pencarian
kebenaran dan keutamaan melalui filsafat,yakni melalui cara berpikir
kontemplatif (paradigm logis-abstrak). Melalui filsafat seseorang bisa
menemukan makna dari sesuatu yang abstrak atau makna yang ada “dibelakang”
objek yang konkret. Filsafat mengoptimalkan fungsi nalar untuk menemukan makna
yang tidak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan. Makna itu dapat menjadi rujukan
(nilai) seseorang jika benar-benar diyakininya atau dirumuskan ke dalam
klausal-klausal normatif.
2.
Nilai diperoleh
melalui paradigma berpikir logis-empiris. Paradigma ini merupakan paradigma
ilmu pengetahuan yang selalu memerlukan bukti-bukti yang nyata dalam menguji
kebenaran dan keutamaan sesuatu. Nilai yang diperoleh melalui jalan ini banyak
mengungkapkan kebenaran teoretik karena ditempuh melalui cara berpikir ilmiah.
Nilai-nilai keutamaan ini banyak kita temukan dalam cabang disiplin ilmu agama,
ilmu social, dan humaniora.[10]
3.
Nilai diperoleh melalui hati dan fungsi rasa,
cara ini tidak lagi menyertakan pertimbangan logis (filsafat) atau logis
–empiris (ilmu pengetahuan). Karena nilai atau pengetahuan dengan cara ini
masuk melalui “pintu” intuisidan bersarang dalam keyakinan hati. Nilai-nilai
yang berkaitan dengan hal-hal ghaib yang tidak dapat terjangkau melalui cara
berpikir kontemplatif (filsafat) dan cara berpikir ilmiah dapat diketahui
melalui ketajaman mata hati. Model perolehan nilai ini dilakukan dengan cara
pengembangan bathin pada wilayah supra-logis. Sifat pengetahuan nilai pada
wilayah ini tidak memenuhi kecukupan pengetahuan (sufficient-rationalis) untuk
dipahami secara filosofis maupun ilmiah. Keberadaannya hanya dapat diterima
oleh rasa. Pengakuan kebenaran hanya bisa diberikan oleh orang yang pernah
mengalami fenomena keagamaan serupa.[11]
C.
Pendidikan
Nilai
Pada
sub bab diatas sudah dijelaskan defenisi nilai, yaitu suatu konsep yang berada
dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang
empiris dan mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu
nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukam atau kriteria
seseorang tentang baik-tidak baik dan sebagainya.
Pendidikan
nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang.
Mardiatmaja mengemukakan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta
didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara
integral dalam keseluruhan hidupnya. Dengan demikian pendidikan nilai tidak
hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran,
tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan.[12]
Konsep
utama pendidikan nilai adalah bagaimana orang dapat hidup dengan nilai-nilai
kebaikan dan kebajikan dengan pengakuan yang sadar baik secara kognitif,
emosional dan perilaku.
Pendidikan
nilai merupakan usaha khusus, tetapi juga tetapi juga dapat disebut sebagai
dimensi dalam keseluruhan usaha pendidikan. Pendidikan semacam ini semakin
penting karena kesadaran nilai oleh masyarakat semakin tinggi. Ada tiga hal
yang menjadi sasaran pendidikan nilai, yaitu:
1.
Membantu peserta
didik untuk menyadari makna nilai dalam hidup manusia.
2.
Membantu
pendalaman dan pengembangan pemahaman serta pengalaman nilai.
3.
Membantu peserta
didik untuk mengambil sikap terhdap aneka nilai dalam perjumpaan dengan sesame,
agar dapat mengarahkan hidupnya bersama orang lain secara bertanggung jawab .
Uraian diatas memberikan pemahaman
bahwa pentingnya pendidikan nilai, jika dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari
(dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun). Nilai tidaklah datang secara
otomatis kepada diri manusia, akan tetapi nilai itu dapat diraih melalui dengan
pendidikan. Begitu juga, jika dikaitkan dengan pendidikan karakter haruslah
dilakukan melalaui pendidikan nilai atau kebajikan yang menjadi dasar karakter
bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah
nilai. Tegasnya, Pendidikan nilai ini merupakan proses yang diberikan kepada
peserta didik yang materinya tentang nilai, aturan-aturan yabg disepakati dalam
masyarakat tertentu sebagai sesuatu nilai. Selanjutnya, setelah memiliki ilmu yang
matang tentang nilai dan siap mengembangkannya dibawah prinsip-prinsip nilai
atau aturan tersebut dalam kehidupan mereka.
D.
Pengertian
Masyarakat
Banyak para
ahli telah memberikan pengertian tentang masyarakat
Salah satunya pendapat Ramayulis dan Syamsul Nizar, mengungkapkan Secara
sederhana, masyarakat didefinisikan sebagai kumpulan individu atau kelompok
yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Didalamnya termasuk
segala jalinan hubungan yang timbal balik yang berangkat atas kepentingan bersama
adat kebiasaan, pola-pola. Teknik-teknik, system hidup, undang-undang, instuisi
dan segala segi fenomena yang dirangkum oleh masyarakat.[13]
Ali
syariati mendefenisikan masyarakat yang di kutip oleh Al Rasyidin sebagai
kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan
masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar
kepemimpinan yang sama.[14]
Berdasarkan
defenisi ini, maka ada empat unsur dasar dalam terma masyarakat, yaitu:
1.
Berhimpunnya
sejumlah individu.
2.
Semua individu
tersebut sepakat adanya tujuan yang sama.
3.
Setiap individu
dalam kumpulan tersebut saling membantu dalam pencapaian tujuan yang sama.
4.
Adanya
kepemimpinan yang sama, yang disepakati secara bersama.
Znaniecki
menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit biofisik
para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah geografis tertentu
selama periode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiologi suatu
masyarakat dibentuk hanya dalam kesejajaran kedudukan yang diterapkan dalam
suatu organisasi.[15]
Pendapat tersebut di atas tampak bahwa
memunculkan unsur baru dalam pengertian masyarakat yaitu suatu kelompok yang
telah bertempat tinggal pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan geografis
tertentu dan kelompok itu merupakan suatu sistem biofisik. Oleh karena itu
masyarakat bukanlah kelompok yang berkumpul secara mekanis akan tetapi
berkumpul secara sistemik. Manusia yang satu dengan yang lain saling memberi,
manusia dengan lingkungannya selain menerima dan saling memberi.
Dilihat
dari sisi materi atau pengetahuannya masyarakat dapat dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu:
1.
Masyarakat Tradisional
Masyarakat
tradisional yaitu masyarakat yang kehidupannya masih diikat oleh adat istiadat
nenek luhurnya atau adat istiadat yang lama. Oleh karena itu masyarakat
tradisional tidak mendapatkan perubahan yang mendasar dari perubahan-perubahan
yang ada dalam masa sekarang ini, walau memang tidak menutup kemungkinan
masyarakat tradisional sekarang sudah mengetahui tentang teknologi yang canggih
namun mereka hidup masih menggunakan dasar adat istiadat leluhur mereka. Dan
yang lebih menonjol dari masyarakat tradisional yaitu mereka hidup di daerah
pedesaan yang secara geografis terletak dipedalaman yang jauh dari keramaian.
Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang bisa kita juluki dengan nama
masyarakat “paguyuban”. Masyarakat tradisional sangat erat atau rukun dalam
proses berkomunikasi dalam lingkunganya, interaksi diantara mereka itu sangat
erat sekali. Adapun ciri-ciri kehidupan masyarakat tradisional adalah sebagai
berikut:
a.
Memiliki jiwa tolong menolong. Sistem
tolong menolong dalam masyarakat tradisional atau pedesaan identik dengan
sukarela.
b.
Suka gotong royong
c.
Berjiwa gotong royong
Selain
ciri-ciri diatas, secara garis besar
pada umumnya ciri-ciri masyarakat tradisional antara lain :
a.
Jumlah anggotanya relatif kecil sehingga hubungan antar warga
masyarakat cukup kuat
b.
Masyarakat homogen dilihat dari keturunan, tradisi dan mungkin
mata pencahariannya
c.
memiliki orde (aturan) yang mengikat anggota masyarakatnya
(dipatuhi)
d.
Bersikap tertutup dan cenderung curika pada unsur budaya asing
e.
Kehidupan sosial cenderung statis (lambat untuk maju)
f.
Mobilitas sosialnya relatif rendah karena mereka sudah puas pada
sesuatu yang telah dimilikinya.
g.
Hubungan emosional dengan alam tempat asal usul (kelahirannya)
sangat kuat, dan alam dipandang sebagai sesuatu yang dahsyat dan tak terelakan
sehingga manusia harus tunduk kepadanya.
h.
Sikap religius sangat kuat yaitu kepatuhan terhadap sesuatu yang
menjadi kepercayaan (agama) sangat kuat.[17]
2.
Masyarakat
Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat
yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke
kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di
daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua
masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak
memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah mengakibatkan munculnya perubahan dalam masyarakat Masyarakat
modern dalam lingkungan kebudayan ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu
dan teknologi untuk menghadapi keadaan sekitarnya.[18]
Dalam masyarakat modern segala
sesuatu diusahakan atau dikerjakan dengan sungguh-sungguh serta rasional
sehingga menyebabkan selalu timbul pertanyaan dalam masyarakat apakah kegunaan
sesuatu bagi usaha menguasai lingkungan sekitarnya. Akibat dari kehidupan
tersebut, maka akan timbul sikap dalam masyarakat modern, diantaranya :
1.
Terlalu percaya dengan peralatan dan teknik yang berjalan secara
mekanis sebagai satu hasil pemikiran manusia (Ilmu pengetahuan). Dalam hal ini
masyarakat tergolong dalam paham positivism.
2.
Berbuat dan bertindak sesuai dengan rencana yang terperinci
sehingga tidak jarang manusia dikendalikan oleh rencana yang disusunnya.
3.
Timbul rasa kehilangan orientasi dan jati diri yang dapat
melemahkan kehidupan bathin dan keagamaan.
Tanpa
disadari masyarakat modern semakin tergantung pada alat dan teknologi yang
diciptakan untuk menguasai dunia sekitarnya. Tidak jarang mereka kehilangan
identitas karena sudah dikuasai oleh mekanisme yang mereka ciptakan sehingga
mereka hidup tanpa jiwa dan tanpa kekuasaan. Dalam masyarakat modern (komplek –
penduduk rapat) kompleksitas dan kerapatan penduduk yang tinggi membuat mereka
kurang sensitif terhadap emosional mereka apalagi masalah keagamaan
mereka. Mereka cenderung ragu-ragu dalam memilih kepercayaan.[19]
Yang
paling fundamental dalam masyarakat modern adalah kepercayaan akan kemajuan
ilmu pengetahuan. Bagi mereka, masa depan bersifat terbuka. Mereka percaya
bahwa kondisi kemanusiaan, fisik, spiritual dapat diperbaiki dengan penggunaan
sain dan teknologi. Beberapa akibat dari kehidupan masyarakat modern adalah
mereka terasing secara kehidupan sosial yang disebabkan oleh pertumbuhan
urbanisme yang mendorong mobilitas dan melemahkan ikatan-ikatan kekeluargaan.[20]
E.
Hubungan
Pendidikan Nilai dengan Masyarakat
Pada
sub judul diatas sudah dijelaskan pengertian pendidikan nilai dan masyarakat,
jika dipamahami bahwa hubungan pendidikan nilai dan masyarakat sangatlah
penting dan tidak bisa dipisahkan, seperti ruh dan jasad. Karena pendidikan
nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang dan
sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai
serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Dalam kebudayaan masyarakat
sederhana agen pendidikan yang formal termasuk di dalamnya keluarga dan
kerabat. Sedangkan sekolah muncul relatif terlambat dalam lingkungan masyarakat
tradisional. Adapun beberapa kondisi menurut Imran Manan yang mendorong timbulnya
lembaga pendidikan (sekolah) dalam masyarakat tradisional adalah :[21]
1.
Perkembangan agama dan kebutuhan untuk mendidik para calon ulama,
pendeta, dll.
2.
Pertumbuhan dari dalam (lingkungan masyarakat itu sendiri) atau
pengaruh dari luar.
3.
Pembagian kerja dalam masyarakat yang menuntut keterampilan dan dan
teknik khusus.
4.
Konflik dalam masyarakat yang mengancam nilai-nilai tradisional dan
akhirnya menuntut pendidikan untuk menguatkan penerimaan nilai-nilai warisan
budaya.
Anak-anak
dalam masyarakat modern terhadap pendidikan mempunyai sebab-sebab berlawanan,
ketidak mampuannya menghubungkan informasi yang diperolehnya disekolah dengan
apa yang mesti dia ketahui supaya bekerja produktif dan menikmatinya
dalam kehidupannya. Sementara anak-anak masyarakat sederhana selalu dalam
hubungan yang intim dengan visi orang dewasa terhadap keterampilan yang sedang
dipelajarinya,sebaliknya anak-anak masyarakat modern pada umumnya
terpisah secara fisik dan psikologi dari pekerjaan-pekerjaan yang akan
menggunakan pengetahuanya.
Adapun
perbandingan Pendidikan Masyarakat Modern dan tradisional sebagaimana berikut:
1.
Dalam masyarakat sederhana guru-guru mempraktekkan apa yang mereka
ajarkan sedangkan dalam masyarakat modern guru-guru tidak bisa sekalian menjadi
eksekutif karena tidak mempunyai lagi yang di ajarkan.
2.
Guru-guru dalam msayarakat sederhana sangat terikat pada
murid-murudnya ,anggota kerabatnya dan juga pada apa yang diajarkannya
sedangkan pada masyarakat modern tidak terlibat secara langsung dengan
sukses atau gagal muridnya, kurang merasakan insentif hidup atau mati untuk
mengajar secara efektif.
3.
Dalam masyarakat Sederhana mengajarkan dan belajar menjadi lebih
mudah sebab objek pengajaran selalu dapat diperoleh sedangkan masyarakat modern
pada umumnya sulit didapatkan.
4.
Masyarakat modern mengajarkan anak-anak mereka lebih banyak
pengetahuan daripada masyarakat sederhana, masyarakat modern lebih banyak
metode mengajar dan menggunakan waktu lebih banyak dalam pengajaran formal.[22]
Pola
antar hubungan individu dalam masyrakat pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang
diakui bersama dan diabadikan dalam norma dan aturan yang pada umumnya tidak
diverbalkan. Dengan demikian, masing-masing individu diharuskan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai moral sehingga tercipta suatu hubungan social
yang relatif stabil. Hubungan social yang relative stabil tersebut dilakukan
dengan cara individu menginternalisasikan nilai-nilai yang membentuk
keteraturan tersebut sehingga tidak terjadi konflik social. Individu-individu
muda, dalam hal ini anak dalam proses inntegrasinya dengan masyarakat akan
lambat laun mempelajari dan mengenali pola-pola hubungan yang ada tersebut
untuk mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks
ini, masyarakat merupakan wadah dimana individu mengalami proses pembelajaran
secara langsung. Dalam hal ini juga pendidikan nilai untuk anak tidak cukup
dilembaga formal (sekolah) akan tetapi pendidikan dalam mayarakat bisa
menentukan pendidikan nilai anak.[23]
Dari
pemahaman diatas dapat disimpulkan ada tiga point jika dikaitkan hubungan
pendidikan nilai dengan masyarakat sebagai berikut:
1.
Penanaman dan
pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang
Dapat dipahami bahwa
seorang pendidik haruslah menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik terutama dari lembaga pendidikan formal.
Karena dewasa ini, pendidikan seluruhnya sudah diamanahkan kepada lembaga
pendidikan dan tidak ikut berperan pada pendidikan keluarga.
2.
Sebagai bantuan
terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai.
Fungsi dari penanaman
nilai-nilai kepada peserta didik adalah agar peserta didik bisa memecahkan
masalah yang dihadapinya dan persolan-persoalan yang terjadi dilingkungannya.
3.
Menempatkannya
secara integral dalam keseluruhan hidupnya
Dapat dipahami, setelah
pendidik menanamkan nilai-niliai moral kepada peserta didik di sekolah maka
tujuannya adalah untuk masyarakat. Karena manusia tidak bisa terlepas dari
masyarakat. Intinya dari hasil nilai-nilai yang ia capai di sekolah haruslh
bisa memainkan perannya di masyrakat.[24]
Secara
singkat pendidikan merupakan produk dari masyarakat, karena apabila kita sadari
arti pendidikan sebagai proses transmisi nilai, pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda
maka seluruh upaya tersebut sudah dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan
masyarakat. Hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan
kita dengan orang lain baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan
sebagainya. Wajar pula apabila segala sesuatu yang kita ketahui adalah hasil
hubungan timbal balik yang ternyata sudah sedemikian rupa dibentuk oleh
masyarakat kita.
Bagi
masyarakat sendiri, hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan
proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya,
maka kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan,
keterampilan dan bentuk tata perilaku lainnya yang diharapkan akan dimiliki
oleh setiap anggota. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan
proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode zaman kepada
generasi muda melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan
sebagai proses sosialisasi.[25]
Sebagai
wadah perubahan dan kebaikan yang bermuatan pengembangan tentunya pendidikan
persekolahan dapat dikatakan sebagai sarana rekayasa individual dan sosial,
pengembangan kemanusiaan kearah pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih
baik yang menjadi lambang bagi entitasnya. Oleh karena itu, maka penyesuaian
misi sekolah dengan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
masyarakat yang terlibat di dalam aktivitasnya merupakan suatu kemestian.
Dikatakan
sebagai agen rekayasa dan perubahan sosial masyarakat, karena disekolah terjadi
suatu proses yang mana seseorang menginternalisasikan norma dan nilai yang
memiliki korelasi dengan kehidupan masa depan. Proses internalisasi ini
berlanjut dalam nilai dan perilaku, baik ditengah-tengah keluarga maupun dalam
pergaulan.
Kesadaran
akan eksistensi pendidikan seperti inilah, maka para pakar pendidikan selalu
mengadakan pembaharuan-pembaharuan di bidang
pendidikan agar segala aktikvitas yang dilakukan didalamnya benar-benar
menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.[26]
Dari
penjelasan diatas dapat dipahami dan diperkuat bahwa dewasa ini, dalam
masyarakat yang cepat berubah, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal yang
sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global dewasa ini, anak akan
dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang dianggapnya baik. Pertukaran
dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi
secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat
bukan tidak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang
belum tentu cocok dengan budaya masyarakat. Oleh sebab itu, perlunya penanaman
nilai-nilai akhlak etis atau moral kepada generasi muda agar terwujudnya
masyarakat baldatun toyyibun robbun ghafur.
Dalam
perspektif Islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhmidayeli dalam bukunya,
bahwa hubungan pendidikan nilai dengan masyarakat, haruslah anak didik mampu mewujudkan
dalam dirinya nilai-nilai islam, yakni bermoral etis atau berakhlak serta
mengapresiasikan dalam kehidupannya dan memberikan solusi yang cerdas terhadap
problematika dirinya dan masyarakatnya.[27]
Dalam
hal ini, betapa pentingnya dua aspek esensial pendidikan (keterkaitan
pendidikan dengan moral etis dan keterkaitan pendidikan dengan transformasi
masyarakat) perlu dikembangkan. Karena dengan pengembangan dua aspek ini,
pendidikan nantinya tidak lagi hanya melahirkan dan cakap memanfaatkannya,
namun sangat lemah baik dalam berprilaku moral etis maupun mengapresiasi tatanan
kehidupan social masyarakat yang timpang yang hanya melahirkan ketidakadilan
social didalam kehidupan masyarakat.
Ketersentuhan
pendidikan dengan pentarnsformasian masyarakat selain seperti diatas yang
diuraikan diatas, juga dapat membawa anak didik pada kesadaran akan pentingnya
kehidupan yang lebih baik secara bersama-sama dalam masyarakat. Artinya anak
didik dapat dibawa pada pemahaman akan nilai-nilai kehidupan kemanusiaan yang
universal disamping kesediaan saling menghargai dalam menghargai. Hal ini
dikarenakan dalam upaya pentransformasian masyarakat yang berkeadilan tentulah
didasari pada nilai-nilai kebajikan universal, bebas dominasi dan bebas
penindasan.
Pendidikan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang didasari atas pertimbangan-pertimbangan
objektivitas dan agama tentunya menjadi ukuran yang paling fundamental
sekaligus menjadi prinsip dalam penataan kehidupan social masyarakat.[28] Hal
ini fiman Allah Swt yang berbunyi:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.[29]
Penjelasan ayat di atas dapat
dipahami bahwa pesan moral keadilan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Secara historis jika dilacak jejak Rasullullah Saw, bahwa beliau adalah sebagai
pemimpin Religio-political community dalam masyarakat yang pluralistik. Nabi
Saw mampu membangun kebersamaan antara berbagai suku dan agama serta berbagai
kepentingan dalam suatu kepentingan yang lebih besar, melampaui kepentingan
suku dan agama dari setiap kelompok yang hidup didalam masyarakat itu.[30]
Singkatnya, penulis memahami dari
penjelasan yang diungkapkan oleh Muhmidayeli, bahwa aspek ini sangat perlu
ditekankan dalam masyarakat agar terwujudnya kepribadian moral etis atau akhlak
etis yang terpuji dan terbangunnya suatu
tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan dan terlepas dari
penzaliman dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
D.
Pendidikan Nilai dan Tangggung jawab
Masyarakat
Pada dasarnya setiap sekolah mendidik anak agar menjadi anggota
masyarakat yang berguna. Namun, pendidikan di sekolah sering kurang relevan
dengan kehidupan masyarakat. Kurikulum kebanyakan berpusat pada mata pelajaran
yang tersusu secara logis sistematis yang tidak nyata hubungannya dengan
kehidupan sehari-hari. Apa yang dipelajari tampaknya hanya perlu untuk
kepentingan sekolah untuk ujian dan bukan membantu anak agar hidup lebih
efektif dalam masyarakat.[31]
Manusia
sebagai makhluk sosial hidup dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan
berkembang kearah kemajuan. Perkembangan tersebut menyebabkan masyarakat
menjadi semakin kompleks, yang berakibat semakin besarnya tututan untuk hidup
layak secara manusia.[32]
Masyarakat
sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam
tersenggelaranya proses pendidikan nilai. Setiap individu sebagai anggota dari
masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang
nyaman dan mendukung tumbuhkembannya nilai individu masyarakat.[33]
Oleh
karena itu, orang tua di lingkungan keluarga dan pemuka-pemuka besar yang ada
di masyarakat, dituntut bertanggung jawab terhadap anggota masyarakatnya. Untuk
keperluan itu, manusia saling membantu dalam mewujudkan hakikat sosialitasnya.
Manusia bahu-membahu dalam berbuat kebaikan dan amal shaleh, termasuk
membimbing anak menjadi orang dewasa. Upaya tolong-menolong itu dilakukan,
antara lain dengan mendirikan lembaga pendidikan non formal, seperti langgar,
surau dan mesjid dan organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan kehidupan
manusia sebagai hamba Allah. Oleh karena itu, masyarakat bertanggung jawab
mendukung dan membantu kelancaran seluruh aktivitas pendidikan agar terwujudnya
manusia yang memiliki nilai-nilai moral yang berlaku dimasyarakat setempat.
Setiap
masyarakat memiliki tanggung jawab edukatif untuk meningkatkan, mengajar,
mendidik, melatih, mengarahkan dan membimbing sesamanya. Secara umum,
tugas-tugas edukatif yang harus dilaksanakan masyarakat itu antara lain:[34]
1.
Mengarahkan diri
dan semua anggota masyarakat untuk beribadah kebada Allah.
2.
Saling
tolong-menolong
3.
Masyarakat harus
mendidik sesamanya agar selalu memiliki nilai-nilai agamis.
E. Sistem Nilai dan Masyarakat
Tiap masyarakat memiliki sistem nilainya sendiri yang coraknya berbeda
dengan masyarakat lain. Dalam sistem nilai senantiasa terjalin nilai-nilai
kebudayaan nasional dengan nilai-nilai yang unik. Dalam nilai-nilai itu
terdapat jenjang prioritasm, ada nilai yang dianggap lebih tinggi dari pada
yang lain yang dapat berbeda menurut pendirian individual.
Dalam masyarakat kota yang mempunyai universitas dan penduduk yang
intelektual sikap orang lebih liberal, lebih terbuka bagi modernitas dan
pendirian atau bentuk kelakuan yang baru, yang lain dari pada yang lain, baik
tentang buah pikiran, moral, maupun tentang pakaian, pergaual dan lain
sebagainya.[35]
Sebailkya dalam masyarakat pedesaan yang mempunyai tradisi yang kuat dan
sangat taat pada agama, sikap dan prilaku orang lebih homogen. Penyimpangan
dari yang tidak lazim segera akan mendapat kecaman dan kelakuan setiap orang
diawasi dan diatur oleh orang sekitarnya.[36]
Dalam kedua masyarakat itu anak-anak didik menurut cara yang
berbeda-beda dan berkembang menjadi pribadi yang berbeda-beda pula, walaupun
kedua masyarakat itu berbeda-beda, namun ada pula persamaannnya yakni mereka
semua sama sebagai anggota suatu bangsa yang mempunyai kebudayaan nasionalyang
sama, orang indonesia dimananapun ia berada mempunyai filsafat, bahasa,
sejarah, dan kebudayaan yang sama, walaupun setiap daerah mempuyai ciri-ciri
yang khas.
Tiap guru harus mengenal lingkungan sosial tempat ia berada agar ia
dapat memenuhi latar belakang cultural anak dan jangan mengucapkan atau berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma yang dibuat oleh masyarakat .
Dalam suatu masyarakat mungkin pula terdapat pebedaan pendirian tentang
nilai mana yang dominan. Golongan pengusaha mungkin lebih liberal progresif,
golongan adat lebih mengutamakan tradisi dan cenderung menentang perubahan atau
setidak-tidaknya hati-hati atau curiga terhadap perubahan. Juga golongan agama
akan cenderung bersikap konservatif. Dalam mengambil keputusan yang menyangkut
kepentingan umum, termasuk pendidikan, akan terdapat kesulitan untuk
mempertemukan perbedaan norma-norma itu. [37]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah seluruh aktivitas
atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik
terhadap semua aspek semua perkembangan kepribadian, baik jasmani dan ruhani,
secara formal, informal dan non formal yang berjalan terus menerus untuk
mencapai kehidupan dan nilai yang tinggi (baik nilai Insaniah aupun ilahiyah).
2.
Pengertian Nilai
Nilai adalah gambaran tentang
sesuatu yang indah menarik yang mempesona, menakjubkan, yang membuat kita
bahagia, senang dan merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang atau sekelompok
orang memilikinya.
Dari penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa nilai itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:
a.
Nilai
yang berkenaan dengan kebenaran atau yang terkait dengan nilai benar-salah yang
dibahas oleh logika.
b.
Nilai
yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan nilai baik-buruk yang
dibahas oleh moral.
c.
Nilai
yang berkenaan dengan keindahan atau yang terkait dengan nilai indah-jelek yang
dibahas oleh estetika.
3.
Pendidikan
Nilai
Pendidikan
nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang dan
sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai
serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Konsep
utama pendidikan nilai adalah bagaimana orang dapat hidup dengan nilai-nilai
kebaikan dan kebajikan dengan pengakuan yang sadar baik secara kognitif,
emosional dan perilaku.
4.
Pengertian
Masyarakat
Masyarakat
adalah kumpulan individu atau kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara,
kebudayaan dan agama. Didalamnya termasuk segala jalinan hubungan yang timbal
balik yang berangkat atas kepentingan bersama adat kebiasaan, pola-pola.
Teknik-teknik, system hidup, undang-undang, instuisi dan segala segi fenomena
yang dirangkum oleh masyarakat.
Berdasarkan
defenisi ini, maka ada empat unsur dasar dalam terma masyarakat, yaitu:
a.
Berhimpunnya
sejumlah individu.
b.
Semua individu
tersebut sepakat adanya tujuan yang sama.
c.
Setiap individu
dalam kumpulan tersebut saling membantu dalam pencapaian tujuan yang sama.
d.
Adanya
kepemimpinan yang sama, yang disepakati secara bersama.
Dilihat
dari sisi materi atau pengetahuannya masyarakat dapat dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu: masyarakat tradosional dan masyarakat modern.
5.
Hubungan
Pendidikan Nilai dengan Masyarakat
Hubungan
pendidikan nilai dengan masyarakat, haruslah anak didik mampu mewujudkan dalam
dirinya nilai-nilai islam, yakni bermoral etis atau berakhlak serta
mengapresiasikan dalam kehidupannya dan memberikan solusi yang cerdas terhadap
problematika dirinya dan masyarakatnya.
Dalam
hal ini, betapa pentingnya dua aspek esensial pendidikan (keterkaitan pendidikan
dengan moral etis dan keterkaitan pendidikan dengan transformasi masyarakat)
perlu dikembangkan. Karena dengan pengembangan dua aspek ini, pendidikan
nantinya tidak lagi hanya melahirkan dan cakap memanfaatkannya, namun sangat
lemah baik dalam berprilaku moral etis maupun mengapresiasi tatanan kehidupan
social masyarakat yang timpang yang hanya melahirkan ketidakadilan social
didalam kehidupan masyarakat.
Ketersentuhan
pendidikan dengan pentarnsformasian masyarakat selain seperti diatas yang diuraikan
diatas, juga dapat membawa anak didik pada kesadaran akan pentingnya kehidupan
yang lebih baik secara bersama-sama dalam masyarakat. Artinya anak didik dapat
dibawa pada pemahaman akan nilai-nilai kehidupan kemanusiaan yang universal
disamping kesediaan saling menghargai dalam menghargai. Hal ini dikarenakan
dalam upaya pentransformasian masyarakat yang berkeadilan tentulah didasari
pada nilai-nilai kebajikan universal, bebas dominasi dan bebas penindasan.
B.
Saran Penulis
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil
dari makalah ini dapat menggambarkan tentang sekilas Pendidikan
Nilai dan Masyrakat . Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam isi
makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan masukan, kritikan,
saran atau yang lainnya untuk menyempurnakan isi makalah ini.
[1] Abdul Latif ,
Pendidikan Nilai Kemasyarakatan ( Bandung : Refika Aditama 2009), hal. 7
[2] Syamsul
Kurniawan, Pendidikan Karakter ( Yogyakarta :Ar-Ruzz Media, 2013), hal.
27
[3] Al Rasyidin, Falsafah
Pendidikan Islami; Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi (
Medan : Cita Pustaka Media, 2012), hal. 32
[4] Abdul Latif, Op.Cit.,
hal. 69
[5] Muhmidayeli, Filsafat
Pendidikan ( Bandung : Refika Aditama, 2013), hal. 101
[6] Abd. Haris, Etika
Hamka (Yogyakarta : LKiS, 2012), hal. 30
[7] Ibid.,
[8] Amril Mansur, Pendidikan
Nilai ; Telaah Epistimologi, dan Metodologis Pembelajaran Akhlak di Sekolah
(laporan Hasil Penelitian), hal. 15
[9] Tatang S, Ilmu
Pendidikan ( Bandung : Pustaka Setia, 2012), hal. 275
[10] Abdul Latif, Op.Cit.,
hal. 73
[11] Rohmat
Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung : Alfabeta, 2004),
hal. 81-83
[12] Amril, Op.Cit.,
hal.
[13] Ramayulis dan
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Kalam Mulia, 2009),
hal. 65
[14] Al Rasyidin, Falsafah
Pendidikan Islami ; Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
Praktik Pendidikan ( Medan : Cita Pustaka Media Printis, 2012), hal. 32
[15] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam:
Pengantar Sosiologi & Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal.
11
[16]
Imran Manan, Anthropologi
Pendidikan; Suatu pengantar (Jakarta:
Departemen P & K, PP-LPTK, 1989), hal. 27
[17]
http://fauziapc.wordpress.com/2010/05/13/pendidikan-tradisional-dan-modern/ Diakses pada tanggal 02 Juni 2015
[22] Ibid., hal.
59
[24]
Zubedi, Pendidikan
Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial
( Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hal. 24
[25] Sutarjo
Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2012),
hal. 141-142
[26] Amril M, Etika
dan Pendidikan ( Pekanbaru : LSFK2P, 2005), hal. viii-ix
[27] Muhmidayeli, Op.Cit.,
hal. vi
[28] Ibi., hal.
xii
[29] Q.S. Al-Maidah
: 8
[30] Muhmidayeli, Op.Cit.,
hal. xiv
[31] Lihat
penjelasan Amril Mansur, Etika dan Pendidikan, Op.Cit., hal. viii-ix
[32] Tatang S, Op.Cit.,
hal. 92
[33] Syamsul
Kurniawan, Op.Cit., hal. 197
[34] Al Rasyidin, Op.Cit.,
hal. 38
[35]
Zubedi, Pendidikan
Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial
( Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hal. 25
[36] Ibid., hal.
26
[37]http://www.stainbukittinggi.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:pendidikan-masyarakat-modern&catid=34:tulisan-ilmiah&Itemid=37 .
Diakses
pada tanggal 28 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar