Selasa, 14 Februari 2017

pendidikan nilai (ahkam syariah dan makarim syariah)

BABI
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakanng
Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah Swt. yang telah memberikannya. Untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah Swt. Hidup yang dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam hukum Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).
Ahkam al-syari’ah merupakan aturan-aturan yang diperuntukkan untuk manusia. Ahkam al-shari’a dapat dikatakan sebagai apa-apa yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya dan mengutus utusan dengan kitab-kitab untuk menyampaikannya dan untuk menunjukkan manusia kepada kebaikan akhlak, muamalah dan dalam hubungan dengan Sang Pencipta. dengan makna ini, shari’a bermakna agama secara keseluruhan yang mencakup dasar dan bagian-bagiannya.[1]
Makarim al-syari’ah dijelaskan dalam satu kitab pemaknaannya sebagai akhlak adalah benar-benar lapangan usaha mausia melalui pengembangan potensi-potensi yang telah dianugrahkan Allah Swt. kepada manusia.[2] Pemaknaan makarim al-syari’a sebagai akhlak, tentulah potensi-potensi yang ada pada diri manusia yang dianugerakan oleh Allah Swt. harus diaktulisasikan dalam kehidupan sehari-hari (nyata) dalam lingkungan masyarakat.
Mengingat dalam kehidupan dewasa ini, banyak manusia tidak tahu betapa pentingnya penanaman makarim al-shari’a didalam diri. Karena saat ini manusia hanya mempelajari ahkam al-shari’a saja dan tidak ada penanaman makarim al-shari’a, sehingga manusia banyak terjerumus dalam kemaksiatan seperti korupsi, dan perbuatan buruk lainnya disebabkan belum bisa mengaktualisasikan potensi malakiyan yang ada dalam dirinya sehingga ia menuruti potensi bahimiyahnya.
Syariat menjadi bingkai dan makarim al-syari’ah, aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq mazmumah. Makarim al-syari’ah tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, makarim al-syari’ah harus lahir sebagai penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan makarim al-syari’ah yang tidak menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah dapat dikatakan perbuatan batal. Jadi, kedudukan makarim al-syari’ah adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang. Syariat sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih di utamakan dari praktek akhlaq. Namun, ini bukan berarti akhlak dapat kesampingkan (di nomor dua kan), karena seseorang yang melaksanakn syariat tanpa disertai denga akhlak yang baik tidak akan sampai pada satu derajat kesempurnaan dalam amal ibadahnya.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan latar belakang di atas,mengingat keterbatasan sumber yang ada, maka rumusan masalah yang dijadikan sandaran dalam makalah ini adalah bagaimana makna ahkam al-syari’ah dan makarim al-syari’ah telaah buku Etika Islam karangan Prof.Dr. Amril Mamsur, MA?
C.      Tujuan Masalah
Adapun tujuan yang diharapkan dalam makalah ini adalah untuk mangetahui makna ahkam al-syari’ah dan makarim al-syari’ah telaah buku Etika Islam karangan Prof.Dr. Amril Mamsur, MA.

BAB II
PEMBAHASA
A.      Pengertian ahkam al-syari’ah
Ahkam al-sari’ah merupakan dua kata yang berasal dari bahasa arab yang berasal dari kata hukm, yang berarti ketetapan, keputusan. Sedangkan secara istilah Sesuatu yang dikandung oleh pernyataan-pernyataan syariat yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf baik berupa thalab, takhyir, atau wadh.[3]
Sedangkan syari’ah bisa disebut syir’ah, artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia. Kata “syara’a” berarti memakai syari’ah. Juga kata “syara’a” atau “isytara’a” berarti membentuk syari’ah atau hukum.[4] Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah Swt. melalui rasul-rasul-Nya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.[5]
Dari penjelasan diatas dapat dipamahami bahwa syari’ah meliputi seluruh aspek kehidupan, baik akidah, ibadah maupun muamalah dan juga akhlak. Agama ditegakkan diatas syari’ah, karena syari’ah adalah peraturan dan undang yang bersumber kepada wahyu Allah Swt. Perintah dan larangannya jelas dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Ahkam al-syari’ah dalam defenisi Amril Mansur adalah ibadah-ibadah fardhu yang telah ditentukan dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan, meninggalkannya dengan sengaja termasuk zalim.[6]
Berdasarkan defenisi tersebut ahkam syari’ah disini adalah muatan hukum-hukum agama yang bersifat alamaiah yang didalamnya terdapat nilai-nilai ibadah yang besumber dari dalil yang terperinci.
Jadi dapat dikatakan bahwa dalam ahkam syari’a adalah membahas semua hukum yang berkaitan dengan syari’ah Islam. Hukum tersebut yang secara dasar melibuti dua hukum yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah khithab syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakandan ditinggalkannya.
B.       Makarim al- Sharia sebagai akhlak dan Fadila Makarim Syari’a
Makarim Syari’a menurut Raghib al-Isfahani sebagaimana yang dikutip oleh Amril Mansur adalah “Suatu ungkapan terhadap sesuatu yang tidak akan menjauhkan diri dari sifat-sifat Tuhan yang terpuji seperti kebijaksanaan, kebaikan, murah hati, pengetahuan dan kepemaafan”.[7]
Prof. Dr. Amril Mansur, MA memahami bahwa makarim Syari’ah itu merupakan ungkapan yang ditujukan kepada siapa saja yang memiliki sifat-sifat Tuhan yang terpuji, seperti hikmah, jud, hilm. ‘ilm dan ‘awf, sekalipun sifat-sifat Allah Swt. ini jauh lebih mulia dari sifat-sifat-Nya yang ada pada manusia. Dengan mengusahakan makarim syari’ah ini, manusia pantas mendapat khalifah Allah Swt. Untuk dapat sampai pada posisi ini, seorang terlebih dahulu mesti melaksanakan penyucian jiwa,[8] sebagaimana halnya seseorang terlebih dahulu mesti melakukan penyucian badan sebelum melaksanakan ibadah.[9]
Makarim al-syari’ah merupakan hasil penyucian jiwa diidentikkan dengan segala bentuk perilaku yang baik, termasuk perbuatan baik untuk orang lain di luar diri sendiri. Artinya sebagai akhlak menunjukkan bahwa perilaku yang baik dan bajik tidak lagi hanya pada peningkatan kualitas personal, tetapi juga membawa peningkatan pada kebaikan pada orang lain.
Makarim Syari’a dengan muatannya seperti hikma (bijaksana) yakni menegakkan keadialan di antara manusia, ihsan (baik budi) dan fadl (bajik), diklasifikasikan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
1.             Untuk menuju janat al-ma’wa,
2.             Sebagai aktivitas manusia menjadi khalifah Allah Swt.
3.             Bahwa sifat-sifat makarim al-syari’a dalam cakupan daya-daya ruhaniyah yang dapat menghantarkan manusia ke dimensi malaikat.[10]
Selain muatan makarim syari’ah diatas, menurut Raghib al-Isfahani, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag bahwa  makarim syari’ah tidak hanya sebatas untuk mendapat predikat khalifah Allah Swt. atau ibadah dan immarah fi al-ard, sebagai tiga fungsi manusia di bumi ini, akan tetapi memiliki jangkauan yang lebih luas, yaitu menyangkut akhlak yang terpuji dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela. Hal ini  dapat diamati dari perolehan-perolehan daya-daya jiwa tersebut, seperti dengan membaikkan daya berpikir, selain akan menghasilkan kemampuan membedakan antara yang yang haq dan yang bathil dalam masalah akidah, juga dapat membedakan antara yang benar dan yang bohong dalam ucapan, serta elok dari yang jelek dalam tindakan. Demikian pula dengan membaikkan daya syahwiyah dengan iffah (sederhana), maka akan melahirkan sifat juud (murah hati) dan kedermawanan. Begitu pula membaikkan daya hammiyah dapat menghasilkan daya syaja’ah (berani). Sedemikian rupa sebagai pemuncak dari ini semua, jiwa akan menghasilkan ‘adala (adil) dan ihsan (baik budi).[11]
Dari uraian diatas dipahami bahwa bentuk-bentuk makarim syari’ah tidak hanya sebatas untuk mendapat predikat khalifah akan tetapi manusia sebaiknya memiliki unsure-unsur malakiyah[12] serta direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kekuatan ruhaniyahnya seperti hikmah, adala, jud, shaja’a (berani), iffah serta sifat-sifat yang mengirinya. [13]
Selanjutnya, selain makarim al-syari’ah sebagai penyucian diri, ada juga dikatakan makarim al-syari’ah sebagai fadl (kebaikan), meskipun berada sebagai tambahan yang wajib atau sebagai rentetan kelanjutan ahkam syari’ah sebagaimana yang dipaparkan diatas. Pada tataran ini secara eksistensial makarim al-syari’ah sebagai fadl (kebaikan) juga sebagai alat guna mencapai dan mendatangkan kemuliaan bagi seseorang menuju kepada sa’adah (kebahagiaan). Penempatan makarim syari’ah pada posisi ini, mengingat secara terminologis fadl (kebaikan) posisi ini, fadl itu dapat dimaknai sebagai ungkapan yang mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan bagi seseorang.
Memahami terminologi fadl diatas sifat-sifat makarim al-syariah ini memiliki arti instrumentalis guna mencapai kebahagiaan tertinggi, yakni sa’adah al-ukhrawy. Peranan makarim al-syariah serperti ini, tidak seperti pada fadilah lain, seperti badaniya, mitifa (yang melingkupi kehidupan) maupun tawfiqiyah (anugerah), namun posisinya menempati posisi fadilah al-nafsiya sebagai fadilah terdepan dalam mencapai sa’adah al-ukhrawy. Dengan posisinya seperti ini, dapat dipahami secara jelas kenapa makarim al-syari’ah  ditempatkan oleh Raghib al-Isfahani sebagai dasar bagi fadilah al-nafsiya?. Hal ini dikarenakan fadila al-nafsiya itu bagi Raghib al-Isfahani adalah akal dengan kesempurnaannya ilmu. ‘iffah (sederhana) dengan capaian tertingginya mujahada (patriot), ‘adala (adil) capaian tertingginya nasifa (pertengahan). Kesemua dasar fadilah al-nafsiya ini sesungguhnya adalah sifat-sifat yang ada dalam makarim al-syari’ah sebagaimana yang diuraikan penulis diatas.[14]
Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa makarim al-syari’ah sebagai fadl (kebaikan) sebagai berikut:
1.             Makarim al-syari’ah fadila al-syari’ah merupakan akar dari fadilah al-syari’ah.
2.             Menempati posisi sebagai instrumentalis untuk mencapai kebahagiaan kebahagiaan akhirat.
3.             Sebagai dasar fadilah al-nafsiyah.
4.             Dapat dinilai memperkokoh unsur-unsur insaniyah yang telah dianugerahkan kepada manusia, bahkan merupakan pengembangan unsur-unsur insaniyah yang telah dianugrahkan kepada manusia menuju ke tingkat malakiyan rabbaniyan sebagai dimensi tertinggi dalam diri manusia.
Hamka mendefenisikan fadilah sebagaimana yang dikutip oleh Abd Haris, bahwa fadilah itu dapat dibagi menjadi empat bagian besar yang menjadi ibu dari segenap perangai yang utama, yaitu:
1.             Menjaga diri agar tidak mengerjakan yang salah
2.             Berani menegakkan kebenaran
3.             Tahu rahasia hidup dari pengalaman
4.             Sederhana dalam segala perkara
Dari defenisi diatas dapat dipahami jika dikaitkan dalam bahasa arabnya sebagai ‘iffah,  syaja’ah, ‘adil, mahabbah dan hikmah. Dan hal ini bisa dijadikan sebagai macam-macam dari makarim syariah sebagai  fadilah. Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan makna hal-hal diatas sebagai berikut:
1.             ‘Iffah
Hamka memperjelas istilah iffah, Iffah adalah pandai mengendalikan diri sendiri. Iffah itu dipakai terhadap orang-orang yang hidupnya seusah dan belanjanya tidak cukup, tetapi karena pandainya berbelanja sekali-kali tidak diketahui orang bahwa dia miskin, malah disangka orang kaya juga. Tetapi kalau seperti katak hendak jadi lembu, belanjanya lebih besar daripada penghasilannya, supaya dipandang orang bahwa dia mampu, lalu berhutang-hutang kiri kanan maka dikatakan dengan safah.”
2.             Syaja’ah
Hamka mengatakan syaja’ah ialah kekuatan ghadab (marah) itu dituntun oleh akal, baik majunya dan mundurnya. Selain itu, Hamka juga mengangkat istilah keberanian budi. Keberanian budi ini maksudnya adalah keberanian dalam menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri keberaniannya, walaupun akan dibenci seseorang.
3.             Mahabbah
Istilah mahabbah dalam kaitannya dengan keutamaan ini menurut Hamka merupakan gabungan antara ádil dan hikmah. Mahabbah berarti cinta merupakan sendi fadila.
4.             ‘Adl
Hamka mengatakan terkait dengan ‘adl ini ialah keadaan nafs, yaitu suatu kekuatan bathin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik.
5.             Hikmah
Hamka mengartikan hikmah itu sebagai rahasia yang berdekatan dengan fitrah, yakni keadaan nafs (bathin) yang dengan hikmat dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah segala perbuatannya yang berhubungan dengan ikhtiar.[15] 
Selanjutnya, makarim al-syari’ah sebagai pengupayaan tampil akhlak. Khuluq digambarkan oleh Raghib al-Isfahani untuk menunjukkan ungkapan mengenai berbagai upaya manusia dalam melatih kemampuan-kemampunnya melalui pembiasaan. Kata khuluq juga digunakan untuk menggambarkan keadaan yang ada dalam jiwa manusia yang menjadi sumber lahirnya suatu tindakan secara spontan. Dengan demikian, kata khuluq merupakan ungkapan yang ditujukan pada keadaan jiwa yang tampilannya dalam bentuk ghazariya.[16]
Sedangkan menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ihya-u’lumuddin yaitu khuluq, perangai ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.[17]
Dari defenisi diatas dapat dilihat bahwa pemahaman tentang akhlak berbeda,[18] satu pendapat mengatakan secara tegas bahwa akhlak itu timbul melalui pembiasaan dengan akal cerdas dan di satu pendapat mengatakan bahwa timbulnya akhlak itu tidak lagi membutuhkan pikiran. Dalam hal ini menurut hemat penulis jika dipahami secara rasional, bahwa akhlak itu timbul melalui pembiasaan dengan menggunakan akal cerdas.
Oleh karena itu, implikasi yang muncul degan menempatkan Makarim al-syari’ah sebagai akhlak adalah menjadikan makarim al-syari’ah itu satu sisi  sebagai perilaku potensial dalam bentuk daya ghazariya, dan pada sisi yang lain sebagai perilaku aktual yang dilakukan secara spontan sebagai hasil upaya manusia. Dengan demikian makarim al-syari’ah sebagai perilaku moral secara niscaya merupakan hasil usaha seseorang untuk mewujudkan perilaku moral potensialnya yang telah dianugerahkan, kedalam bentuk perilaku aktual yang muncul secara spontan.[19]
Selain khuluq, ada unsur psikologis perilaku  moral lainnya yakni sajiyya, tabi’at dan  ghariza. Ketiga dasar psikologis perilaku moral ini tidak memiliki potensi seperti pada khuluq yaitu suatu keadaan yang dapat diupayakan manusia dalam bentuk tindakan. Hal ini dapat dilihat dari pemaknaan yang diberikannya terhadap ketiga unsur psikologis perbuatan moral ini.[20]
Selanjutnya, pada sisi lain, dengan penempatan makarim syari’ah sebagai alat untuk meraih kebahagiaan atau kebajikan ukhrawi, maka makarim syari’ah itu dapat pula dipahami kedalam khair dan sa’adah. Pemaknaan makarim syari’ah seprti ini dikarenakan sebagai segala sesuatu yang berfungsi, baik untuk mencapai sa’adah atau memberikan manfaat terhadap sa’ada, maka sesuatu itu disebut khair dan sa’ada. Dengan arti kata, sifat-sifat makarim syari’ah ini dapat disebut pula dengan khair dan sa’ada.[21]  
C.      Penyucian Jiwa Sebagai Prosedur Meraih Makarim Syari’ah dan Sebagai Sentra Pemikiran Filsafat Moral
Dalam buku tasawuf tematik di sebutkan bahwa, tazkiyatun nafs esensinya cenderung pada pembicaraan soal jiwa (an-nafs)Ada empat istilah yang berkaitan dengan an-nafs yaitu al-qalb, ar-roh, an-nafs, dan al-aql. Al-Ghazali mengartikan penyucian jiwa yaitu suatu proses penyucian jiwa manusia dari kotoran-kotoran, baik kotoran lahir maupun batin.[22]
1.             Berdasarkan makna itu pula tazkiyatun nafsi bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu fitrah tauhid, fitrah iman, islam, dan ihsan, disertai dengan upaya menguatkan dan mengembangkan potensi tersebut agar setiap orang selalu dekat  kepada Allah, menjalankan segala ajaran dan kehendak-Nya, dan menegakkan tugas dan misinya seagai hamba dan khalifah-Nya di bumi.
2.             Dengan penyucian jiwa, seseorang dibawa kepada kualitas jiwa yang prima sebagai hamba Allah, sekaligus prima sebagai khalifah Allah. Artinya dengan penyucian jiwa, seseorang menjadi ahlul ibadah, yakni orang yang selalu taat beribadah kepada Allah dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta menjadi khalifah, yakni kecerdasan dalam missi memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Allah untuk kerahmatan bagi semua makhluk.
Tujuan Tazkiyatun Nafs adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Sesungguhnya, takwa hanya dapat terwujud melalui pembersihan serta penyucian jiwa. Sementara, kebersihan jiwa juga tidak dapat terjadi tanpa takwa. Jadi keduanya saling terkait dan saling membutuhkan.[23]
Tujuan tazkiyatun nafs tidak lepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yakni untuk mendapatkan kebahagiaan jasmani maupun rohani, material maupun spiritual, dan duniawi maupun ukhrawi. Kesempurnaan itu akan diperoleh manusia jika berbagai sarana yang menuju ke arah itu dapat dipenuhi. Berbagai hambatan yang menghalangi tujuan kesempurnaan jiwa itu harus disingkirkan. Adapun yang menghalangi kesempurnaan jiwa itu adalah kotoran atau noda yang ditorehkan oleh sifat-sifat jelek yang melekat pada jiwa manusia.  Tujuan khusus penyucian diri dijabarkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din.
1.             Pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci jiwanya, luas ilmunya, dan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah.
2.             Membentuk manusia yang berjiwa suci dan beakhlak mulia dalam pergaulan dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajiban, tugas seta tanggung jawabnya.
3.             Membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan terbebasnya jiwa dari perilaku tercela yang membahayakan jiwa itu sendiri.
4.             Memebentuk manusia yang berjiwa suci dan berakhlak mulia, baik terhadap Allah, diri sendiri maupun manusia sekitarnya.[24]
Dengan demikian dapat disimpulkan istilah penyucian diri memiliki makna mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah) takni potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah. Disamping ini juga bahwa hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan semua sifat baik dan bajik yang berkaitan dengan itu hanya diraih  seseorang setelah adanya penyucian jiwa. Penyucian jiwa merupakan syarat mutlak untuk lahirnya fadilah sebagai realitas akhlak.
Menjalakan syari’ah dianggap sebagai prosedur normatif. Mengingat bahwa syari’ah dapat membersihkan jiwa dari noda-noda yang dapat menghalangi perjumpaan makhluk dengan khaliknya. Khalik adalah suci dan hanya dapat didekati dengan yang suci pula. Disinilah letak pentingnya syari’ah dikatakan sebagai prosedur metodologis normatif yang akan menghantarkan seseorang pada kehidupan yang bahagia.[25]
Seperti yang diungkapkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa  makarim al-syari’ah itu diawali dengan penyucian jiwa.[26] Penyucian jiwa merupakan tahapan awal untuk meraih makarim al-syari’ah. Dalam pemikiran fisafat moral Raghib al-Isfahani penyucian tiga daya ini tidak hanya menghasilkan hikmah, shaja’a dan iffa yang jika berkumpul ketiga hasil ini akan menghasilkan ‘adala sebagai hasil tertinggi. Penyucian jiwa itu secara spesifik dilakukan dalam bentuk mendidik, mengendalikan dan mengekang tiga daya jiwa itu, yang pada akhirnya dapat melahirkan perilaku moral, atau sebaliknya perilaku amoral akan lahir bila ketiga daya jiwa tidak disucikan.[27]
Dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani, masing-masing hasil tersebut juga akan mendatangkan hasil kebajikan lainnya. Kebajikan yang akan diraih ini antara lain:[28]
1.             Akal bila kuat, pandangan baiknya akan melahirkan pemikiran yang baik dan daya ingat yang baik, demikian pula tindakan baiknya akan melahirkan pula fatanah (cerdas) dan pemikiran yang jernih. Semua keadaan ini akan melahirkan pula pemahaman dan ingatan yang baik.
2.             Syaja’ah jika kuat, capaian tertingginya akan melahirkan jud (kebaikan) dalam kenikmatan, sabar dalam cobaan yang dapat pula menghilangkan ketakutan, sehingga akan melahirkan ketegaran. ‘Iffah jika kuat dapat melahirkan qana’ah (dapat menerima apa adanya) yang dapat pula mencegah sifat rakus terhadap milik orang lain, sehingga dapat pula melahirkan amanah.
3.             ‘Adala,  jika kuat, dapat melahirkan rahma,  yakni suatu keinginan yang kuat bagi seseorang untuk mengembalikan hak pada pemiliknya, sehingga akan melahirkan pula hilm (santun).
Bila dicermati prilaku moral etis par excellence sebagai realitas makarim syariah seperti yang diungkap diatas, menunjukkan perilaku moral ini tidak saja sebatas perilaku rasionalitas eksoteris-eskatologis sebagai hasil upaya akal manusia seperti lazimnya ditemukan pada pemikiran filsuf Muslim pada masanya. Bila dipahami dari setiap moral yang ditampilkan oleh Raghib al-Isfahani seperti zuhud, sabar, wara’ dan mujahada, setidaknya dari perilaku ini dapat dikatakan terdapat nuansa sufis dalam pemikiran filsafat moralnya. Perlu kita pahami dari pendapat beliau hanya saja capaian perilaku moral etisnya saja yang bernuansa sufi, akan tetapi pada struktur dasar dan bangunan pemikirannya dapat dikatakan tidak ditemukan model pemikiran sufis.
Dari kesimpulan paparan diatas dapat ditarik bahwa hikmah, syaja’ah dan ‘Iffah dan sifat baik yang berkaitan dengan itu, kesemuaanya tidaklah dapat diraih setelah melakukan penyucian jiwa. Penyucian disini merupakan persyaratan mutlak untuk lahirnya fadilah sebagai realitas moral. Melaksanakan penyucian jiwa dalam rangka meraih makarim syari’ah, bukanlah berarti tanpa melaksanakn ibadah fardhu yang telah ditentukan sebagai realisasi ahkam syari’ah. Hal ini dikarenakan, seseorang tidak akan menjadi sempurna oleh makarim syari’ah selama tidak melaknasanakan ibadah fardhu yang telah ditentukan. Penempatan ibadah sebagai prasyarat dalam meraih makarim syari’ah itu sebagai sesuatu yang nafil (sunah) dan fadl (bajik), sementara ibadah yang telah ditentukan itu sebagai sesuatu yang fardhu.
D.      Ahkam al-Syari’ah Sebagai Dasar dan Prasyarat Makarim al-Syari’ah
Ahkam al-Syariah adalah ibadah-ibadah fardhu yang ditentukan dengan batasan-batasan  yang telah ditetapkan, meninggalkannya secara sengaja termasuk perbuatan yang zalim, sedangkan makarim al-syari’ah, merupakan suatu keutamaan dan yang sunat. Makarim al-syari’ah itu meskipun termasuk ibadah, namun secara eksistensial ia berbeda dengan ahkam al-syari’ah, karena pemahaman ibadah pada makarim al-syari’ah ini, selain tidak ditentukan, juga tidak membawa kezaliman bagi orang yang meninggalkannya.[29]
Dari konsep diatas menurut Amril Mansur, bahwa makarim al-syari’ah dapat dikatakan bergerak pada tataran perilaku moral etis, sedangkan ahkam syari’ah bergerak pada tataran perilaku moral dogmatis. Dikatakan demikian, mengingat perilaku moral pada makarim al-syari’ah itu bersifat terbuka menuju peralihan kebaikan dan kebajikan, sedangkan perilaku moral pada ahkam syari’ah bersifat tertutup dan ditentukan oleh legalitas agama. Beliau juga mengaskan bahwa keduanya sama-sama dapat melahirkan perilaku moral. Hanya saja dalam konteks ahkam syari’ah, perilaku moral yang dihasilkan bersifat eksklusif, sementara pada makarim al-syari’ah bersifat inklusif, meskipun makarim al-syari’ah tidak terlepas dari ahkam al-syari’ah.[30]
Penempatan ahkam syari’ah pada posisi dasar dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani terlihat jelas dari pendapatnya, bahwa:
1.             Seseorang tidak akan memperoleh makarim al-syari’a secara sempurna jika ia tidak melaksanakan ibadah fardhu yang telah ditentukan.
2.             Eksistensi makarim al-syari’a dibangun di atas ahkam syari’a tidak dapat dipisahkan. Setiap perbuatan baik yang bersifat duniawi atau ukhrawi butuh ditampilkan, ditingkatkan dan dihiasi. Bila perbuatan itu ukhrawi, dibutuhkan untuk mewujudkan, meningkatkan dan menghiasinya demi kesempurnaan keberadaannya. Peningkatan dan penghiasannya ini mesti dilakukan menuju peraihan kemuliaan dengan niat ikhlas.
3.             Makarim al-syari’ah itu adalah kelanjutan dari ahkam syari’ah dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan kewajiban-kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pentingnya ibadah fardhu sebagai dasar bagi makarim syari’ah dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, bahwa ibadah fardhu bersama-sama dengan ilmu adalah sebab bagi kehidupan ukhrawi seperti air yang menjadi sebab bagi kehidupan duniawi. Ilmu dan ibadah fardhu disebut kehidupan, karena bila jiwa itu luput dari ilmu dan ibadah fardhu, maka ia akan benar-benar binasa selamanya. Oleh karena itu, betapa pentingnya ibadah bersama-sama denga ilmu dalam menciptakan perilaku moral. Selain keterkaitan antara yang fardhu dengan yang sunat, ada juga keterkaitan sebab akibat antara keduanya, yakni ahkam syariah menjadi sebab bagi makarim syari’ah. Dengan demikian, agama dalam hal ini dipahami sebagai ahkam syari’ah, kehadirannya mutlak sebelum lahirnya moralitas, yang dalam hal ini dapat dipahami sebagai makarim syari’ah.
Dalam hal ini ahkam syariah dan makarim syari’ah menunjukkan bahwa kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan seseorang tidak dapat memperoleh kesempurnaan pada dirinya atau makarim syari’ah selama ia tidak melaksanakan ibadah fardhu yang telah ditetapkan. Kedudukan ibadah fardhu sebagai prasyarat bagi makarim syari’ah. Makarim syari’ah ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sunat, fadl atau nafl yang merupakan nilai tambah terhadap yang fardhu. Selain itu bahwa tidak akan diterima yang sunat (makarim syari’ah) tanpa mengerjakan yang fardhu (ahkam syari’ah).





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.         Pengertian ahkam al-syari’ah
Ahkam al-syari’ah merupakan aturan-aturan yang diperuntukkan untuk manusia. Ahkam al-shari’a dapat dikatakan sebagai apa-apa yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya dan mengutus utusan dengan kitab-kitab untuk menyampaikannya dan untuk menunjukkan manusia kepada kebaikan akhlak, muamalah dan dalam hubungan dengan Sang Pencipta. dengan makna ini, shari’a bermakna agama secara keseluruhan yang mencakup dasar dan bagian-bagiannya.
2.         Makarim al- Sharia sebagai akhlak dan Fadila Makarim Syari’a
Makarim Syari’a adalah suatu ungkapan terhadap sesuatu yang tidak akan menjauhkan diri dari sifat-sifat Tuhan yang terpuji seperti kebijaksanaan, kebaikan, murah hati, pengetahuan dan kepemaafan. Makarim al-syari’ah merupakan hasil penyucian jiwa diidentikkan dengan segala bentuk perilaku yang baik, termasuk perbuatan baik untuk orang lain di luar diri sendiri. Artinya sebagai akhlak menunjukkan bahwa perilaku yang baik dan bajik tidak lagi hanya pada peningkatan kualitas personal, tetapi juga membawa peningkatan pada kebaikan pada orang lain.
Selain makarim al-syari’ah sebagai penyucian diri, ada juga dikatakan makarim al-syari’ah sebagai fadl (kebaikan), meskipun berada sebagai tambahan yang wajib atau sebagai rentetan kelanjutan ahkam syari’ah sebagaimana yang dipaparkan diatas. Pada tataran ini secara eksistensial makarim al-syari’ah sebagai fadl (kebaikan) juga sebagai alat guna mencapai dan mendatangkan kemuliaan bagi seseorang menuju kepada sa’adah (kebahagiaan). Penempatan makarim syari’ah pada posisi ini, mengingat secara terminologis fadl (kebaikan) posisi ini, fadl itu dapat dimaknai sebagai ungkapan yang mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan bagi seseorang.  
3.         Penyucian Jiwa Sebagai Prosedur Meraih Makarim Syari’ah dan Sebagai Sentra Pemikiran Filsafat Moral
Penyucian diri memiliki makna mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah) takni potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah. Disamping ini juga bahwa hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan semua sifat baik dan bajik yang berkaitan dengan itu hanya diraih  seseorang setelah adanya penyucian jiwa. Penyucian jiwa merupakan syarat mutlak untuk lahirnya fadilah sebagai realitas akhlak.
Tujuan penyucian diri adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Sesungguhnya, takwa hanya dapat terwujud melalui pembersihan serta penyucian jiwa dan untuk mendapatkan kebahagiaan jasmani maupun rohani, material maupun spiritual, dan duniawi maupun ukhrawi. Kesempurnaan itu akan diperoleh manusia jika berbagai sarana yang menuju ke arah itu dapat dipenuhi.
Penyucian jiwa merupakan tahapan awal untuk meraih makarim al-syari’ah. Dalam penyucian ini tidak hanya menghasilkan hikmah, shaja’a dan iffa yang jika berkumpul ketiga hasil ini akan menghasilkan ‘adala sebagai hasil tertinggi. Penyucian jiwa itu secara spesifik dilakukan dalam bentuk mendidik, mengendalikan dan mengekang tiga daya jiwa itu, yang pada akhirnya dapat melahirkan perilaku moral, atau sebaliknya perilaku amoral akan lahir bila ketiga daya jiwa tidak disucikan.
Hikmah, syaja’ah dan ‘Iffah dan sifat baik yang berkaitan dengan itu, kesemuaanya tidaklah dapat diraih setelah melakukan penyucian jiwa. Penyucian disini merupakan persyaratan mutlak untuk lahirnya fadilah sebagai realitas moral. Melaksanakan penyucian jiwa dalam rangka meraih makarim syari’ah, bukanlah berarti tanpa melaksanakn ibadah fardhu yang telah ditentukan sebagai realisasi ahkam syari’ah.


4.         Ahkam al-Syari’ah Sebagai Dasar dan Prasyarat Makarim al-Syari’ah
Dari konsep diatas menurut Amril Mansur, bahwa makarim al-syari’ah dapat dikatakan bergerak pada tataran perilaku moral etis, sedangkan ahkam syari’ah bergerak pada tataran perilaku moral dogmatis. Penempatan ahkam syari’ah pada posisi dasar dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani terlihat jelas dari pendapatnya, bahwa:
1.             Seseorang tidak akan memperoleh makarim al-syari’a secara sempurna jika ia tidak melaksanakan ibadah fardhu yang telah ditentukan.
2.             Eksistensi makarim al-syari’a dibangun di atas ahkam syari’a tidak dapat dipisahkan. Setiap perbuatan baik yang bersifat duniawi atau ukhrawi butuh ditampilkan, ditingkatkan dan dihiasi. Bila perbuatan itu ukhrawi, dibutuhkan untuk mewujudkan, meningkatkan dan menghiasinya demi kesempurnaan keberadaannya. Peningkatan dan penghiasannya ini mesti dilakukan menuju peraihan kemuliaan dengan niat ikhlas.
3.             Makarim al-syari’ah itu adalah kelanjutan dari ahkam syari’ah dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan kewajiban-kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan.
Ahkam syariah dan makarim syari’ah menunjukkan bahwa kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan seseorang tidak dapat memperoleh kesempurnaan pada dirinya atau makarim syari’ah selama ia tidak melaksanakan ibadah fardhu yang telah ditetapkan. Kedudukan ibadah fardhu sebagai prasyarat bagi makarim syari’ah. Makarim syari’ah ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sunat, fadl atau nafl yang merupakan nilai tambah terhadap yang fardhu. Selain itu bahwa tidak akan diterima yang sunat (makarim syari’ah) tanpa mengerjakan yang fardhu (ahkam syari’ah).
B.       Saran Penulis
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini dapat menggambarkan tentang ahkam syari’ah dan makarim syari’ah dalam Islam. Oleh karena itu jika ada kesalahan dalam isi makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan kritikan, saran atau yang lainnya.




[1] Hal ini dapat dilhat dalam penjelasan ayat al-Quran Surat Asy-Syura ayat 13:
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù 4 uŽã9x. n?tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? ÏmøŠs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ムÇÊÌÈ  
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
[2] Lebih lanjut lihat penjelasan Amril Mansur, Etika Islam;Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani (Pekanbaru: LSFK2P, 2002), hal. 87
[3] Abd. Shomad, Hukum Islam (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 5
[4] Dalam hal ini Allah Swt. berfirman dalam surat al-Maidah 48 yang berbunyi:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  
Artinya:“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
[5] Hasbi Ash Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqih, ( Semarang : PT Pustaka Riski Putra, 1999), hal, 33-34
[6]  Amril Mansur, Etika dan Pendidikan (Pekanbaru: LSFK2P, 2005), hal. 164
[7] Amril Mansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal. 77
[8] Pendapat beliau sesuai dengan firman Allah Swt yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah : 251 yang berbunyi:
!$yJx. $uZù=yör& öNà6Ïù Zwqßu öNà6ZÏiB (#qè=÷Gtƒ öNä3øn=tæ $oYÏG»tƒ#uä öNà6ŠÏj.tãƒur ãNà6ßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãƒur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ  
Artinya: sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Dapat dipahami ayat di atas, sebelum diberikan ilmu pengetahuan kepada manusia, terlebih dahulu Rasul menyucikan hati-hati para sahabat. Karena ilmu itu tidak akan bisa masuk kepada hati yang kotor. Dalam hal ini bentuk makarim syari’ah sebagai hasil penyucian diri melalui pintu taubat. Taubat ini merupakan salah satu cara untuk menyucikan diri dari pebuatan yang tidak bermoral etis serta selalu maksiat kepada Allah Swt. Hal ini sangat penting bagi setiap manusia muslim untuk menyucikan dirinya melalui pintu taubat sebagaimana yang dikemukakan oleh para sufi. 
[9] Amril M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani,Op.Cit., hal. 76
[10] Dimensi Malikat ini, dapat dikaitkat dengan sifat-sifat Malaikat yang selalu tunduk kepada perintah-perintah Allah Swt dan tidak pernah mereka melakukan maksiat sekecil apapun,. Hal ini dapat kita rujuk dalam Q.S. al-Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[11] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: Refika Aditama, 2013), hal. 63
[12] Pengertian dari unsur malakiyah disini sebagaimana yang diungkapkan oleh Amril Mansur  di lokal B PAI 1 pada tanggal 09 Mei 2015 bahwa setiap manusia yang memiliki unsur Malakiyah tidaklah bisa dikatakan manusia itu malakait. Unsure malakiyah yang dimaksud disini adalah meniru dan memiliki sifat sifat malaikat yang selalu taat dan tidak pernah maksiat kepada Allah Swt. serta menjalankan perintah-perintah Allah Swt. sehingga manusia akan bisa dekat dengan-Nya.  Dan dapat pula dikatakan setiap manusia yang dibebani sebagai khalifah haruslah melakukan penyucian diri sehingga terhindar dari perbuatan yang mementingkan dirinya.
[13] Shaja’ah menurut Raghib al-Isfahani  akan melahirkan jud (murah hati) yang apabila berfungsi secara kuat dan maksimal. Iffah (sederhana) juga akan melahirkan qana’ah (rela) yang akan mencegah perbuatan rakus pada harta orang lain, yang pada akhirnya melahirkan amanah apabila berfungsi secara sempurna. Selanjutnya akan dapat pula melahirkan hilm (santun) yang akhirnya sampai kepada ‘awf  (pemaaf).  Lebih lanjut lihat penjelasan Amril M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal. 79
[14] Amril M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Ibid., hal. 81-82
[15] Abd Haris, Etika Hamka; Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 124-126
[16] Amril, AkhlakTasawuf; Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia (Bandung: Refika Aditama, 2015), hal. 1-2
[17] Mustofa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1973), hal, 67
[18] Bandingkan pengertian al-Ghazali dengan Raghib al-Isfahani tentang akhlak
[19] Amril ansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal. 85
[20] Sajiyya  dimaknai Raghib al-Isfahani sebagai sesuatu yang tetap dalam diri manusia yang tidak mungkin untuk di ubah. Tabi’a dan Ghariza yang merupakan sesuatu daya yang tidak ada cara untuk mengubahnya. Dengan demikian dapat dipahami kenapa Raghib al-Isfahani tidak menjadikan ketiga unsur psikologis ini sebgai dasar prilaku moral dalam pemikiran filsafat moralnya. Karena ketiga unsur ini lebih ditampilkan sebagai penjelas posisi khuluq sebagai dasar psikologis perilaku moral. Khusus untuk sajiyya, kendatipun tidak ditempatkan sebagai dasar psikologis perilaku moral seperti kuluq, namun ungkapan ini dikaitkannya dengan ‘ada (kebiasaan) sebagai sesuatu yang telah menyatu dengan diri terhadap perbuatan. Lebih lanjut lihat  Amril ansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, ibid, hal. 89.
[21] Amril Mansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, ibid., hal 92
[22] Solihin, Tasawuf Tematik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 125
[23] Hal ini dapat dilihat dari firman Allah Swt. surat al-Syams : 7-10 tentang Penyucian Jiwa:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya: dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa seseorang dapat membersihkan jiwanya melalui ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلاَ تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.Allah lebih mengetahui tentang siapa yang bertakwa. (QS. An-Najm/53: 32). Serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَسَيُجَنَّبُهَا اْلأَتْقَى . الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya. (QS. Al-Lail 92: 17-18).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan kepada Allah.Dan memang tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah. Di sini perlu juga difahami dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. رواه مسلم
Artinya: Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang membersihkan jiwa. Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya.HR. Muslim.
Dengan qalbu serta jiwa yang bersih dan bertakwa, akan tercapailah maksud diciptakannya manusia. Yaitu hanya beribadah dan menyembah kepada Allah saja. Allah berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu saja. (QS. Adz-Dzaariyaat/51 : 56)
[24] Solihin, Op.Cit., hlm. 145
[25] Amril, AkhlakTasawuf; Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia, Op.Cit., hal. 43
[26] Penyucian jiwa yang dimaksud disini ialah penyucian tiga daya jiwa yaitu daya  mufakkara, daya shahwiya dan daya hamiya.
[27] Raghib al-Isfahani menjelaskan penyucian daya mufakkara dilakukan dengan mendidiknya melalui belajar sehingga demikian dapat melahirkan hikmah dan ilmu, sedangkan penyucian daya shawiya dengan cara mengekangnya, sehingga dapat melahirkan ‘iffa dan jud, sementara untu daya hammiya dilakukan dengan memimpin daya ini, sehingga tunduk pada akal, selanjutnya akan melahirkan syaja’a dan hilm. Semua ini apabila berkumpul maka akan melahirkan ‘adala. Lebih lanjut lihat penjelasan Amril Mansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal. 94-95
[28] Ibid.,
[29] Amril M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal. 101
[30] Amril M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Ibid., hal. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar