BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakanng
Kehidupan manusia di dunia merupakan
anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap
segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah
tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah Swt. yang telah memberikannya.
Untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam
kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah Swt. Hidup yang
dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang sesuai
dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam hukum
Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).
Ahkam al-syari’ah merupakan
aturan-aturan yang diperuntukkan untuk manusia. Ahkam al-shari’a dapat
dikatakan sebagai apa-apa yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya dan
mengutus utusan dengan kitab-kitab untuk menyampaikannya dan untuk menunjukkan
manusia kepada kebaikan akhlak, muamalah dan dalam hubungan dengan Sang
Pencipta. dengan makna ini, shari’a bermakna agama secara keseluruhan yang
mencakup dasar dan bagian-bagiannya.[1]
Makarim al-syari’ah dijelaskan
dalam satu kitab pemaknaannya sebagai akhlak adalah benar-benar lapangan usaha
mausia melalui pengembangan potensi-potensi yang telah dianugrahkan Allah Swt.
kepada manusia.[2]
Pemaknaan makarim al-syari’a sebagai akhlak, tentulah potensi-potensi
yang ada pada diri manusia yang dianugerakan oleh Allah Swt. harus
diaktulisasikan dalam kehidupan sehari-hari (nyata) dalam lingkungan
masyarakat.
Mengingat dalam kehidupan dewasa ini,
banyak manusia tidak tahu betapa pentingnya penanaman makarim al-shari’a didalam
diri. Karena saat ini manusia hanya mempelajari ahkam al-shari’a saja
dan tidak ada penanaman makarim al-shari’a, sehingga manusia banyak
terjerumus dalam kemaksiatan seperti korupsi, dan perbuatan buruk lainnya
disebabkan belum bisa mengaktualisasikan potensi malakiyan yang ada
dalam dirinya sehingga ia menuruti potensi bahimiyahnya.
Syariat menjadi bingkai dan makarim al-syari’ah, aturan yang mengatasi dan
mengendalikan akhlaq mazmumah. Makarim al-syari’ah tidak melebihi
apalagi mengatasi syariah, makarim al-syari’ah harus lahir sebagai
penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syari’at. Sedangkan makarim
al-syari’ah yang tidak
menjadi penyempurna pelaksanaan syariat adalah dapat dikatakan perbuatan batal.
Jadi, kedudukan makarim al-syari’ah adalah sebagai penguat dan penyempurna proses
ibadah seseorang. Syariat sebagai aturan dan mekanisme ibadah harus lebih di utamakan
dari praktek akhlaq. Namun, ini bukan berarti akhlak dapat kesampingkan (di
nomor dua kan), karena seseorang yang melaksanakn syariat tanpa disertai denga
akhlak yang baik tidak akan sampai pada satu derajat kesempurnaan dalam amal
ibadahnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan latar belakang
di atas,mengingat keterbatasan sumber yang ada, maka rumusan masalah yang
dijadikan sandaran dalam makalah ini adalah bagaimana makna ahkam al-syari’ah dan makarim al-syari’ah telaah
buku Etika Islam karangan Prof.Dr. Amril Mamsur, MA?
C.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan yang diharapkan dalam makalah ini adalah untuk
mangetahui makna ahkam
al-syari’ah dan makarim al-syari’ah telaah buku Etika Islam karangan
Prof.Dr. Amril Mamsur, MA.
BAB II
PEMBAHASA
A.
Pengertian ahkam
al-syari’ah
Ahkam al-sari’ah merupakan
dua kata yang berasal dari bahasa arab yang berasal dari kata hukm, yang
berarti ketetapan, keputusan. Sedangkan secara istilah Sesuatu yang dikandung
oleh pernyataan-pernyataan syariat yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan
mukallaf baik berupa thalab, takhyir, atau wadh.[3]
Sedangkan syari’ah bisa disebut syir’ah, artinya secara
bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk
minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air
mengalir atau datang pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan
untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia. Kata “syara’a”
berarti memakai syari’ah. Juga kata “syara’a” atau “isytara’a”
berarti membentuk syari’ah atau hukum.[4]
Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li
‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min
dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil
mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah Swt.
melalui rasul-rasul-Nya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari
kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.[5]
Dari penjelasan diatas dapat dipamahami bahwa syari’ah
meliputi seluruh aspek kehidupan, baik akidah, ibadah maupun muamalah dan juga
akhlak. Agama ditegakkan diatas syari’ah, karena syari’ah adalah
peraturan dan undang yang bersumber kepada wahyu Allah Swt. Perintah dan
larangannya jelas dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Ahkam al-syari’ah dalam defenisi Amril Mansur adalah ibadah-ibadah fardhu yang
telah ditentukan dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan, meninggalkannya
dengan sengaja termasuk zalim.[6]
Berdasarkan defenisi tersebut ahkam
syari’ah disini adalah muatan hukum-hukum agama yang bersifat alamaiah yang
didalamnya terdapat nilai-nilai ibadah yang besumber dari dalil yang
terperinci.
Jadi dapat dikatakan bahwa dalam ahkam syari’a adalah membahas semua hukum yang berkaitan dengan syari’ah Islam. Hukum tersebut yang secara dasar melibuti dua hukum yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah khithab syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakandan ditinggalkannya.
Jadi dapat dikatakan bahwa dalam ahkam syari’a adalah membahas semua hukum yang berkaitan dengan syari’ah Islam. Hukum tersebut yang secara dasar melibuti dua hukum yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah khithab syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakandan ditinggalkannya.
B.
Makarim al-
Sharia sebagai akhlak dan Fadila Makarim Syari’a
Makarim Syari’a menurut Raghib
al-Isfahani sebagaimana yang dikutip oleh Amril Mansur adalah “Suatu ungkapan
terhadap sesuatu yang tidak akan menjauhkan diri dari sifat-sifat Tuhan yang
terpuji seperti kebijaksanaan, kebaikan, murah hati, pengetahuan dan
kepemaafan”.[7]
Prof. Dr. Amril Mansur, MA
memahami bahwa makarim Syari’ah itu merupakan ungkapan yang ditujukan
kepada siapa saja yang memiliki sifat-sifat Tuhan yang terpuji, seperti hikmah,
jud, hilm. ‘ilm dan ‘awf, sekalipun sifat-sifat Allah Swt. ini jauh
lebih mulia dari sifat-sifat-Nya yang ada pada manusia. Dengan mengusahakan makarim
syari’ah ini, manusia pantas mendapat khalifah Allah Swt. Untuk dapat
sampai pada posisi ini, seorang terlebih dahulu mesti melaksanakan penyucian
jiwa,[8]
sebagaimana halnya seseorang terlebih dahulu mesti melakukan penyucian badan
sebelum melaksanakan ibadah.[9]
Makarim al-syari’ah merupakan
hasil penyucian jiwa diidentikkan dengan segala bentuk perilaku yang baik,
termasuk perbuatan baik untuk orang lain di luar diri sendiri. Artinya sebagai
akhlak menunjukkan bahwa perilaku yang baik dan bajik tidak lagi hanya pada
peningkatan kualitas personal, tetapi juga membawa peningkatan pada kebaikan
pada orang lain.
Makarim Syari’a dengan
muatannya seperti hikma (bijaksana) yakni menegakkan keadialan di antara
manusia, ihsan (baik budi) dan fadl (bajik), diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
1.
Untuk menuju janat
al-ma’wa,
2.
Sebagai aktivitas manusia
menjadi khalifah Allah Swt.
3.
Bahwa sifat-sifat makarim
al-syari’a dalam cakupan daya-daya ruhaniyah yang dapat menghantarkan
manusia ke dimensi malaikat.[10]
Selain muatan makarim syari’ah diatas,
menurut Raghib al-Isfahani, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr.
Muhmidayeli, M.Ag bahwa makarim
syari’ah tidak hanya sebatas untuk mendapat predikat khalifah Allah Swt.
atau ibadah dan immarah fi al-ard, sebagai tiga fungsi manusia di bumi
ini, akan tetapi memiliki jangkauan yang lebih luas, yaitu menyangkut akhlak
yang terpuji dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela. Hal ini dapat diamati dari perolehan-perolehan
daya-daya jiwa tersebut, seperti dengan membaikkan daya berpikir, selain akan
menghasilkan kemampuan membedakan antara yang yang haq dan yang bathil dalam masalah
akidah, juga dapat membedakan antara yang benar dan yang bohong dalam ucapan,
serta elok dari yang jelek dalam tindakan. Demikian pula dengan membaikkan daya
syahwiyah dengan iffah (sederhana), maka akan melahirkan sifat juud
(murah hati) dan kedermawanan. Begitu pula membaikkan daya hammiyah dapat
menghasilkan daya syaja’ah (berani). Sedemikian rupa sebagai pemuncak
dari ini semua, jiwa akan menghasilkan ‘adala (adil) dan ihsan (baik
budi).[11]
Dari uraian diatas dipahami bahwa
bentuk-bentuk makarim syari’ah tidak hanya sebatas untuk mendapat
predikat khalifah akan tetapi manusia sebaiknya memiliki unsure-unsur malakiyah[12]
serta direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kekuatan ruhaniyahnya
seperti hikmah, adala, jud, shaja’a (berani), iffah serta sifat-sifat
yang mengirinya. [13]
Selanjutnya, selain makarim al-syari’ah
sebagai penyucian diri, ada juga dikatakan makarim al-syari’ah sebagai
fadl (kebaikan), meskipun berada sebagai tambahan yang wajib atau
sebagai rentetan kelanjutan ahkam syari’ah sebagaimana yang dipaparkan
diatas. Pada tataran ini secara eksistensial makarim al-syari’ah sebagai
fadl (kebaikan) juga sebagai alat guna mencapai dan mendatangkan
kemuliaan bagi seseorang menuju kepada sa’adah (kebahagiaan). Penempatan
makarim syari’ah pada posisi ini, mengingat secara terminologis fadl (kebaikan)
posisi ini, fadl itu dapat dimaknai sebagai ungkapan yang mendatangkan
kemuliaan dan kebahagiaan bagi seseorang.
Memahami terminologi fadl diatas
sifat-sifat makarim al-syariah ini memiliki arti instrumentalis guna
mencapai kebahagiaan tertinggi, yakni sa’adah al-ukhrawy. Peranan makarim
al-syariah serperti ini, tidak seperti pada fadilah lain, seperti badaniya,
mitifa (yang melingkupi kehidupan) maupun tawfiqiyah (anugerah),
namun posisinya menempati posisi fadilah al-nafsiya sebagai fadilah terdepan
dalam mencapai sa’adah al-ukhrawy. Dengan posisinya seperti ini, dapat
dipahami secara jelas kenapa makarim al-syari’ah ditempatkan oleh Raghib al-Isfahani sebagai
dasar bagi fadilah al-nafsiya?. Hal ini dikarenakan fadila al-nafsiya
itu bagi Raghib al-Isfahani adalah akal dengan kesempurnaannya ilmu. ‘iffah
(sederhana) dengan capaian tertingginya mujahada (patriot), ‘adala
(adil) capaian tertingginya nasifa (pertengahan). Kesemua dasar fadilah
al-nafsiya ini sesungguhnya adalah sifat-sifat yang ada dalam makarim
al-syari’ah sebagaimana yang diuraikan penulis diatas.[14]
Dari paparan diatas dapat dipahami
bahwa makarim al-syari’ah sebagai fadl (kebaikan) sebagai
berikut:
1.
Makarim al-syari’ah
fadila al-syari’ah merupakan akar dari fadilah al-syari’ah.
2.
Menempati posisi sebagai
instrumentalis untuk mencapai kebahagiaan kebahagiaan akhirat.
3.
Sebagai dasar fadilah
al-nafsiyah.
4.
Dapat dinilai memperkokoh
unsur-unsur insaniyah yang telah dianugerahkan kepada manusia, bahkan
merupakan pengembangan unsur-unsur insaniyah yang telah dianugrahkan
kepada manusia menuju ke tingkat malakiyan rabbaniyan sebagai dimensi
tertinggi dalam diri manusia.
Hamka mendefenisikan fadilah sebagaimana
yang dikutip oleh Abd Haris, bahwa fadilah itu dapat dibagi menjadi
empat bagian besar yang menjadi ibu dari segenap perangai yang utama, yaitu:
1.
Menjaga diri agar tidak
mengerjakan yang salah
2.
Berani menegakkan kebenaran
3.
Tahu rahasia hidup dari
pengalaman
4.
Sederhana dalam segala
perkara
Dari
defenisi diatas dapat dipahami jika dikaitkan dalam bahasa arabnya sebagai ‘iffah,
syaja’ah, ‘adil, mahabbah dan
hikmah. Dan hal ini bisa dijadikan sebagai macam-macam dari makarim
syariah sebagai fadilah. Untuk
lebih jelasnya penulis akan memaparkan makna hal-hal diatas sebagai berikut:
1.
‘Iffah
Hamka memperjelas istilah iffah, “Iffah
adalah pandai mengendalikan diri sendiri. Iffah itu dipakai terhadap
orang-orang yang hidupnya seusah dan belanjanya tidak cukup, tetapi karena
pandainya berbelanja sekali-kali tidak diketahui orang bahwa dia miskin, malah
disangka orang kaya juga. Tetapi kalau seperti katak hendak jadi lembu,
belanjanya lebih besar daripada penghasilannya, supaya dipandang orang bahwa
dia mampu, lalu berhutang-hutang kiri kanan maka dikatakan dengan safah.”
2.
Syaja’ah
Hamka mengatakan syaja’ah ialah
kekuatan ghadab (marah) itu dituntun oleh akal, baik majunya dan
mundurnya. Selain itu, Hamka juga mengangkat istilah keberanian budi.
Keberanian budi ini maksudnya adalah keberanian dalam menyatakan suatu perkara
yang diyakini sendiri keberaniannya, walaupun akan dibenci seseorang.
3.
Mahabbah
Istilah mahabbah dalam kaitannya
dengan keutamaan ini menurut Hamka merupakan gabungan antara ádil dan hikmah.
Mahabbah berarti cinta merupakan sendi fadila.
4.
‘Adl
Hamka mengatakan terkait dengan ‘adl
ini ialah keadaan nafs, yaitu suatu kekuatan bathin yang dapat
mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik.
5.
Hikmah
Hamka mengartikan hikmah itu
sebagai rahasia yang berdekatan dengan fitrah, yakni keadaan nafs (bathin)
yang dengan hikmat dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah segala
perbuatannya yang berhubungan dengan ikhtiar.[15]
Selanjutnya,
makarim al-syari’ah sebagai pengupayaan tampil akhlak. Khuluq digambarkan
oleh Raghib al-Isfahani untuk menunjukkan ungkapan mengenai berbagai upaya
manusia dalam melatih kemampuan-kemampunnya melalui pembiasaan. Kata khuluq juga
digunakan untuk menggambarkan keadaan yang ada dalam jiwa manusia yang menjadi
sumber lahirnya suatu tindakan secara spontan. Dengan demikian, kata khuluq merupakan
ungkapan yang ditujukan pada keadaan jiwa yang tampilannya dalam bentuk ghazariya.[16]
Sedangkan
menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ihya-u’lumuddin yaitu khuluq,
perangai ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.[17]
Dari
defenisi diatas dapat dilihat bahwa pemahaman tentang akhlak berbeda,[18]
satu pendapat mengatakan secara tegas bahwa akhlak itu timbul melalui
pembiasaan dengan akal cerdas dan di satu pendapat mengatakan bahwa timbulnya
akhlak itu tidak lagi membutuhkan pikiran. Dalam hal ini menurut hemat penulis
jika dipahami secara rasional, bahwa akhlak itu timbul melalui pembiasaan
dengan menggunakan akal cerdas.
Oleh
karena itu, implikasi yang muncul degan menempatkan Makarim al-syari’ah sebagai
akhlak adalah menjadikan makarim al-syari’ah itu satu sisi sebagai perilaku potensial dalam bentuk daya ghazariya,
dan pada sisi yang lain sebagai perilaku aktual yang dilakukan secara
spontan sebagai hasil upaya manusia. Dengan demikian makarim al-syari’ah sebagai
perilaku moral secara niscaya merupakan hasil usaha seseorang untuk mewujudkan
perilaku moral potensialnya yang telah dianugerahkan, kedalam bentuk perilaku
aktual yang muncul secara spontan.[19]
Selain
khuluq, ada unsur psikologis perilaku
moral lainnya yakni sajiyya, tabi’at dan ghariza. Ketiga dasar psikologis perilaku
moral ini tidak memiliki potensi seperti pada khuluq yaitu suatu keadaan
yang dapat diupayakan manusia dalam bentuk tindakan. Hal ini dapat dilihat dari
pemaknaan yang diberikannya terhadap ketiga unsur psikologis perbuatan moral
ini.[20]
Selanjutnya,
pada sisi lain, dengan penempatan makarim syari’ah sebagai alat untuk
meraih kebahagiaan atau kebajikan ukhrawi, maka makarim syari’ah itu
dapat pula dipahami kedalam khair dan sa’adah. Pemaknaan makarim
syari’ah seprti ini dikarenakan sebagai segala sesuatu yang berfungsi, baik
untuk mencapai sa’adah atau memberikan manfaat terhadap sa’ada, maka
sesuatu itu disebut khair dan sa’ada. Dengan arti kata,
sifat-sifat makarim syari’ah ini dapat disebut pula dengan khair dan
sa’ada.[21]
C.
Penyucian Jiwa
Sebagai Prosedur Meraih Makarim Syari’ah dan Sebagai Sentra Pemikiran
Filsafat Moral
Dalam buku tasawuf tematik di
sebutkan bahwa, tazkiyatun nafs esensinya cenderung pada pembicaraan soal jiwa (an-nafs). Ada empat
istilah yang berkaitan dengan an-nafs yaitu al-qalb, ar-roh, an-nafs, dan
al-aql. Al-Ghazali mengartikan penyucian jiwa yaitu suatu proses penyucian
jiwa manusia dari kotoran-kotoran, baik kotoran lahir maupun batin.[22]
1.
Berdasarkan makna itu pula tazkiyatun
nafsi bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu fitrah
tauhid, fitrah iman, islam, dan ihsan, disertai dengan upaya menguatkan dan
mengembangkan potensi tersebut agar setiap orang selalu dekat kepada Allah, menjalankan segala ajaran dan
kehendak-Nya, dan menegakkan tugas dan misinya seagai hamba dan khalifah-Nya di
bumi.
2.
Dengan penyucian jiwa,
seseorang dibawa kepada kualitas jiwa yang prima sebagai hamba Allah, sekaligus
prima sebagai khalifah Allah. Artinya dengan penyucian jiwa,
seseorang menjadi ahlul ibadah, yakni orang yang selalu taat beribadah
kepada Allah dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya
serta menjadi khalifah, yakni kecerdasan dalam missi memimpin, mengelola dan
memakmurkan bumi dan seisinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Allah
untuk kerahmatan bagi semua makhluk.
Tujuan Tazkiyatun Nafs adalah ketakwaan kepada Allah Swt.
Sesungguhnya,
takwa hanya dapat terwujud melalui pembersihan serta penyucian jiwa. Sementara,
kebersihan jiwa juga tidak dapat terjadi tanpa takwa. Jadi keduanya saling
terkait dan saling membutuhkan.[23]
Tujuan
tazkiyatun nafs tidak lepas dari tujuan hidup manusia itu sendiri, yakni untuk
mendapatkan kebahagiaan jasmani maupun rohani, material maupun spiritual, dan
duniawi maupun ukhrawi. Kesempurnaan itu akan diperoleh manusia jika berbagai
sarana yang menuju ke arah itu dapat dipenuhi. Berbagai hambatan yang
menghalangi tujuan kesempurnaan jiwa itu harus disingkirkan. Adapun yang
menghalangi kesempurnaan jiwa itu adalah kotoran atau noda yang ditorehkan oleh
sifat-sifat jelek yang melekat pada jiwa manusia. Tujuan khusus penyucian diri dijabarkan oleh
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din.
1.
Pembentukan manusia yang bersih akidahnya, suci
jiwanya, luas ilmunya, dan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah.
2.
Membentuk manusia yang berjiwa suci dan
beakhlak mulia dalam pergaulan dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan
kewajiban, tugas seta tanggung jawabnya.
3.
Membentuk manusia yang berjiwa sehat dengan
terbebasnya jiwa dari perilaku tercela yang membahayakan jiwa itu sendiri.
4.
Memebentuk manusia yang berjiwa suci dan
berakhlak mulia, baik terhadap Allah, diri sendiri maupun manusia sekitarnya.[24]
Dengan demikian dapat disimpulkan istilah penyucian diri memiliki
makna mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi
dasarnya (fitrah) takni potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah. Disamping
ini juga bahwa hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan semua sifat baik dan bajik
yang berkaitan dengan itu hanya diraih
seseorang setelah adanya penyucian jiwa. Penyucian jiwa merupakan syarat
mutlak untuk lahirnya fadilah sebagai realitas akhlak.
Menjalakan
syari’ah dianggap sebagai prosedur normatif. Mengingat bahwa syari’ah
dapat membersihkan jiwa dari noda-noda yang dapat menghalangi perjumpaan
makhluk dengan khaliknya. Khalik adalah suci dan hanya dapat didekati dengan
yang suci pula. Disinilah letak pentingnya syari’ah dikatakan sebagai
prosedur metodologis normatif yang akan menghantarkan seseorang pada kehidupan
yang bahagia.[25]
Seperti yang diungkapkan pada
penjelasan sebelumnya, bahwa makarim
al-syari’ah itu diawali dengan penyucian jiwa.[26]
Penyucian jiwa merupakan tahapan awal untuk meraih makarim al-syari’ah. Dalam
pemikiran fisafat moral Raghib al-Isfahani penyucian tiga daya ini tidak hanya
menghasilkan hikmah, shaja’a dan iffa yang jika berkumpul ketiga
hasil ini akan menghasilkan ‘adala sebagai hasil tertinggi. Penyucian
jiwa itu secara spesifik dilakukan dalam bentuk mendidik, mengendalikan dan
mengekang tiga daya jiwa itu, yang pada akhirnya dapat melahirkan perilaku
moral, atau sebaliknya perilaku amoral akan lahir bila ketiga daya jiwa tidak
disucikan.[27]
Dalam pemikiran filsafat moral Raghib
al-Isfahani, masing-masing hasil tersebut juga akan mendatangkan hasil
kebajikan lainnya. Kebajikan yang akan diraih ini antara lain:[28]
1.
Akal bila kuat, pandangan
baiknya akan melahirkan pemikiran yang baik dan daya ingat yang baik, demikian
pula tindakan baiknya akan melahirkan pula fatanah (cerdas) dan pemikiran
yang jernih. Semua keadaan ini akan melahirkan pula pemahaman dan ingatan yang
baik.
2.
Syaja’ah jika kuat,
capaian tertingginya akan melahirkan jud (kebaikan) dalam kenikmatan,
sabar dalam cobaan yang dapat pula menghilangkan ketakutan, sehingga akan
melahirkan ketegaran. ‘Iffah jika kuat dapat melahirkan qana’ah (dapat
menerima apa adanya) yang dapat pula mencegah sifat rakus terhadap milik orang
lain, sehingga dapat pula melahirkan amanah.
3.
‘Adala, jika kuat, dapat melahirkan rahma, yakni suatu keinginan yang kuat bagi
seseorang untuk mengembalikan hak pada pemiliknya, sehingga akan melahirkan
pula hilm (santun).
Bila
dicermati prilaku moral etis par excellence sebagai realitas makarim
syariah seperti yang diungkap diatas, menunjukkan perilaku moral ini tidak
saja sebatas perilaku rasionalitas eksoteris-eskatologis sebagai hasil upaya
akal manusia seperti lazimnya ditemukan pada pemikiran filsuf Muslim pada
masanya. Bila dipahami dari setiap moral yang ditampilkan oleh Raghib al-Isfahani
seperti zuhud, sabar, wara’ dan mujahada, setidaknya dari
perilaku ini dapat dikatakan terdapat nuansa sufis dalam pemikiran filsafat
moralnya. Perlu kita pahami dari pendapat beliau hanya saja capaian perilaku
moral etisnya saja yang bernuansa sufi, akan tetapi pada struktur dasar dan
bangunan pemikirannya dapat dikatakan tidak ditemukan model pemikiran sufis.
Dari
kesimpulan paparan diatas dapat ditarik bahwa hikmah, syaja’ah dan ‘Iffah
dan sifat baik yang berkaitan dengan itu, kesemuaanya tidaklah dapat diraih
setelah melakukan penyucian jiwa. Penyucian disini merupakan persyaratan mutlak
untuk lahirnya fadilah sebagai realitas moral. Melaksanakan penyucian
jiwa dalam rangka meraih makarim syari’ah, bukanlah berarti tanpa
melaksanakn ibadah fardhu yang telah ditentukan sebagai realisasi ahkam
syari’ah. Hal ini dikarenakan, seseorang tidak akan menjadi sempurna oleh makarim
syari’ah selama tidak melaknasanakan ibadah fardhu yang telah ditentukan.
Penempatan ibadah sebagai prasyarat dalam meraih makarim syari’ah itu
sebagai sesuatu yang nafil (sunah) dan fadl (bajik), sementara
ibadah yang telah ditentukan itu sebagai sesuatu yang fardhu.
D.
Ahkam al-Syari’ah
Sebagai Dasar dan Prasyarat Makarim al-Syari’ah
Ahkam al-Syariah adalah
ibadah-ibadah fardhu yang ditentukan dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan, meninggalkannya secara
sengaja termasuk perbuatan yang zalim, sedangkan makarim al-syari’ah, merupakan
suatu keutamaan dan yang sunat. Makarim al-syari’ah itu meskipun
termasuk ibadah, namun secara eksistensial ia berbeda dengan ahkam al-syari’ah,
karena pemahaman ibadah pada makarim al-syari’ah ini, selain tidak
ditentukan, juga tidak membawa kezaliman bagi orang yang meninggalkannya.[29]
Dari konsep diatas menurut Amril
Mansur, bahwa makarim al-syari’ah dapat dikatakan bergerak pada tataran
perilaku moral etis, sedangkan ahkam syari’ah bergerak pada tataran
perilaku moral dogmatis. Dikatakan demikian, mengingat perilaku moral pada makarim
al-syari’ah itu bersifat terbuka menuju peralihan kebaikan dan kebajikan,
sedangkan perilaku moral pada ahkam syari’ah bersifat tertutup dan
ditentukan oleh legalitas agama. Beliau juga mengaskan bahwa keduanya sama-sama
dapat melahirkan perilaku moral. Hanya saja dalam konteks ahkam syari’ah, perilaku
moral yang dihasilkan bersifat eksklusif, sementara pada makarim al-syari’ah
bersifat inklusif, meskipun makarim al-syari’ah tidak terlepas dari ahkam
al-syari’ah.[30]
Penempatan ahkam syari’ah pada
posisi dasar dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani terlihat jelas
dari pendapatnya, bahwa:
1.
Seseorang tidak akan
memperoleh makarim al-syari’a secara sempurna jika ia tidak melaksanakan
ibadah fardhu yang telah ditentukan.
2.
Eksistensi makarim al-syari’a
dibangun di atas ahkam syari’a tidak dapat dipisahkan. Setiap
perbuatan baik yang bersifat duniawi atau ukhrawi butuh ditampilkan,
ditingkatkan dan dihiasi. Bila perbuatan itu ukhrawi, dibutuhkan untuk
mewujudkan, meningkatkan dan menghiasinya demi kesempurnaan keberadaannya.
Peningkatan dan penghiasannya ini mesti dilakukan menuju peraihan kemuliaan
dengan niat ikhlas.
3.
Makarim al-syari’ah itu adalah
kelanjutan dari ahkam syari’ah dalam rangka penyempurnaan dan
peningkatan kewajiban-kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan.
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa pentingnya ibadah fardhu sebagai dasar bagi makarim
syari’ah dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani, pada dasarnya
tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, bahwa ibadah fardhu bersama-sama
dengan ilmu adalah sebab bagi kehidupan ukhrawi seperti air yang menjadi sebab
bagi kehidupan duniawi. Ilmu dan ibadah fardhu disebut kehidupan, karena bila
jiwa itu luput dari ilmu dan ibadah fardhu, maka ia akan benar-benar binasa
selamanya. Oleh karena itu, betapa pentingnya ibadah bersama-sama denga ilmu
dalam menciptakan perilaku moral. Selain keterkaitan antara yang fardhu dengan
yang sunat, ada juga keterkaitan sebab akibat antara keduanya, yakni ahkam
syariah menjadi sebab bagi makarim syari’ah. Dengan demikian, agama
dalam hal ini dipahami sebagai ahkam syari’ah, kehadirannya mutlak
sebelum lahirnya moralitas, yang dalam hal ini dapat dipahami sebagai makarim
syari’ah.
Dalam
hal ini ahkam syariah dan makarim syari’ah menunjukkan bahwa
kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan seseorang tidak
dapat memperoleh kesempurnaan pada dirinya atau makarim syari’ah selama
ia tidak melaksanakan ibadah fardhu yang telah ditetapkan. Kedudukan ibadah
fardhu sebagai prasyarat bagi makarim syari’ah. Makarim syari’ah ini
dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sunat, fadl atau nafl yang
merupakan nilai tambah terhadap yang fardhu. Selain itu bahwa tidak akan
diterima yang sunat (makarim syari’ah) tanpa mengerjakan yang fardhu (ahkam
syari’ah).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian ahkam
al-syari’ah
Ahkam al-syari’ah merupakan
aturan-aturan yang diperuntukkan untuk manusia. Ahkam al-shari’a dapat
dikatakan sebagai apa-apa yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya dan
mengutus utusan dengan kitab-kitab untuk menyampaikannya dan untuk menunjukkan
manusia kepada kebaikan akhlak, muamalah dan dalam hubungan dengan Sang
Pencipta. dengan makna ini, shari’a bermakna agama secara keseluruhan yang
mencakup dasar dan bagian-bagiannya.
2.
Makarim al-
Sharia sebagai akhlak dan Fadila Makarim Syari’a
Makarim Syari’a adalah
suatu ungkapan terhadap sesuatu yang tidak akan menjauhkan diri dari
sifat-sifat Tuhan yang terpuji seperti kebijaksanaan, kebaikan, murah hati,
pengetahuan dan kepemaafan. Makarim al-syari’ah merupakan hasil
penyucian jiwa diidentikkan dengan segala bentuk perilaku yang baik, termasuk
perbuatan baik untuk orang lain di luar diri sendiri. Artinya sebagai akhlak
menunjukkan bahwa perilaku yang baik dan bajik tidak lagi hanya pada
peningkatan kualitas personal, tetapi juga membawa peningkatan pada kebaikan
pada orang lain.
Selain makarim al-syari’ah sebagai
penyucian diri, ada juga dikatakan makarim al-syari’ah sebagai fadl
(kebaikan), meskipun berada sebagai tambahan yang wajib atau sebagai
rentetan kelanjutan ahkam syari’ah sebagaimana yang dipaparkan diatas.
Pada tataran ini secara eksistensial makarim al-syari’ah sebagai fadl
(kebaikan) juga sebagai alat guna mencapai dan mendatangkan kemuliaan bagi
seseorang menuju kepada sa’adah (kebahagiaan). Penempatan makarim
syari’ah pada posisi ini, mengingat secara terminologis fadl (kebaikan)
posisi ini, fadl itu dapat dimaknai sebagai ungkapan yang mendatangkan
kemuliaan dan kebahagiaan bagi seseorang.
3.
Penyucian Jiwa
Sebagai Prosedur Meraih Makarim Syari’ah dan Sebagai Sentra Pemikiran
Filsafat Moral
Penyucian diri memiliki makna
mensucikan, menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya
(fitrah) takni potensi iman, islam, dan ihsan kepada Allah. Disamping ini juga
bahwa hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan semua sifat baik dan bajik yang berkaitan
dengan itu hanya diraih seseorang
setelah adanya penyucian jiwa. Penyucian jiwa merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya fadilah sebagai realitas akhlak.
Tujuan penyucian diri adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Sesungguhnya, takwa hanya
dapat terwujud melalui pembersihan serta penyucian jiwa dan untuk mendapatkan
kebahagiaan jasmani maupun rohani, material maupun spiritual, dan duniawi
maupun ukhrawi. Kesempurnaan itu akan diperoleh manusia jika
berbagai sarana yang menuju ke arah itu dapat dipenuhi.
Penyucian jiwa merupakan tahapan awal
untuk meraih makarim al-syari’ah. Dalam penyucian ini tidak hanya
menghasilkan hikmah, shaja’a dan iffa yang jika berkumpul ketiga
hasil ini akan menghasilkan ‘adala sebagai hasil tertinggi. Penyucian
jiwa itu secara spesifik dilakukan dalam bentuk mendidik, mengendalikan dan
mengekang tiga daya jiwa itu, yang pada akhirnya dapat melahirkan perilaku
moral, atau sebaliknya perilaku amoral akan lahir bila ketiga daya jiwa tidak
disucikan.
Hikmah, syaja’ah dan ‘Iffah dan
sifat baik yang berkaitan dengan itu, kesemuaanya tidaklah dapat diraih setelah
melakukan penyucian jiwa. Penyucian disini merupakan persyaratan mutlak untuk
lahirnya fadilah sebagai realitas moral. Melaksanakan penyucian jiwa
dalam rangka meraih makarim syari’ah, bukanlah berarti tanpa melaksanakn
ibadah fardhu yang telah ditentukan sebagai realisasi ahkam syari’ah.
4.
Ahkam al-Syari’ah
Sebagai Dasar dan Prasyarat Makarim al-Syari’ah
Dari konsep diatas menurut Amril
Mansur, bahwa makarim al-syari’ah dapat dikatakan bergerak pada tataran
perilaku moral etis, sedangkan ahkam syari’ah bergerak pada tataran
perilaku moral dogmatis. Penempatan ahkam syari’ah pada posisi dasar
dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani terlihat jelas dari pendapatnya,
bahwa:
1.
Seseorang tidak akan
memperoleh makarim al-syari’a secara sempurna jika ia tidak melaksanakan
ibadah fardhu yang telah ditentukan.
2.
Eksistensi makarim
al-syari’a dibangun di atas ahkam syari’a tidak dapat dipisahkan.
Setiap perbuatan baik yang bersifat duniawi atau ukhrawi butuh
ditampilkan, ditingkatkan dan dihiasi. Bila perbuatan itu ukhrawi,
dibutuhkan untuk mewujudkan, meningkatkan dan menghiasinya demi kesempurnaan
keberadaannya. Peningkatan dan penghiasannya ini mesti dilakukan menuju
peraihan kemuliaan dengan niat ikhlas.
3.
Makarim al-syari’ah itu adalah
kelanjutan dari ahkam syari’ah dalam rangka penyempurnaan dan
peningkatan kewajiban-kewajibannya tanpa mengharapkan imbalan.
Ahkam
syariah dan makarim syari’ah menunjukkan bahwa kedua konsep
ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan seseorang tidak dapat memperoleh
kesempurnaan pada dirinya atau makarim syari’ah selama ia tidak
melaksanakan ibadah fardhu yang telah ditetapkan. Kedudukan ibadah fardhu
sebagai prasyarat bagi makarim syari’ah. Makarim syari’ah ini dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang sunat, fadl atau nafl yang
merupakan nilai tambah terhadap yang fardhu. Selain itu bahwa tidak akan
diterima yang sunat (makarim syari’ah) tanpa mengerjakan yang fardhu (ahkam
syari’ah).
B.
Saran Penulis
Makalah ini masih
jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini dapat
menggambarkan tentang ahkam syari’ah dan makarim syari’ah dalam
Islam. Oleh karena itu jika ada kesalahan dalam isi makalah ini adakalanya
kepada semua pembaca dapat memberikan kritikan, saran atau yang lainnya.
[1] Hal ini
dapat dilhat dalam penjelasan ayat al-Quran Surat Asy-Syura ayat 13:
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4 uã9x. n?tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? Ïmøs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ã ÇÊÌÈ
Artinya:
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
[2] Lebih
lanjut lihat penjelasan Amril Mansur, Etika Islam;Telaah Pemikiran Filsafat
Moral Ragib Al-Isfahani (Pekanbaru: LSFK2P, 2002), hal. 87
[3] Abd.
Shomad, Hukum Islam (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 5
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Ű %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
Artinya:“Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
[5] Hasbi Ash Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqih,
( Semarang : PT Pustaka Riski Putra, 1999), hal, 33-34
[6] Amril Mansur, Etika dan Pendidikan
(Pekanbaru: LSFK2P, 2005), hal. 164
[7] Amril
Mansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani,
Op.Cit., hal. 77
[8]
Pendapat beliau sesuai dengan firman Allah Swt yang terdapat dalam Q.S.
Al-Baqarah : 251 yang berbunyi:
!$yJx. $uZù=yör& öNà6Ïù Zwqßu öNà6ZÏiB (#qè=÷Gt öNä3øn=tæ $oYÏG»t#uä öNà6Ïj.tãur ãNà6ßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ
Artinya:
sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Dapat
dipahami ayat di atas, sebelum diberikan ilmu pengetahuan kepada manusia,
terlebih dahulu Rasul menyucikan hati-hati para sahabat. Karena ilmu itu tidak
akan bisa masuk kepada hati yang kotor. Dalam hal ini bentuk makarim
syari’ah sebagai hasil penyucian diri melalui pintu taubat. Taubat ini
merupakan salah satu cara untuk menyucikan diri dari pebuatan yang tidak
bermoral etis serta selalu maksiat kepada Allah Swt. Hal ini sangat penting
bagi setiap manusia muslim untuk menyucikan dirinya melalui pintu taubat
sebagaimana yang dikemukakan oleh para sufi.
[9] Amril
M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani,Op.Cit., hal.
76
[10] Dimensi
Malikat ini, dapat dikaitkat dengan sifat-sifat Malaikat yang selalu tunduk
kepada perintah-perintah Allah Swt dan tidak pernah mereka melakukan maksiat
sekecil apapun,. Hal ini dapat kita rujuk dalam Q.S. al-Tahrim ayat 6 yang
berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[11]
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: Refika Aditama, 2013), hal.
63
[12]
Pengertian dari unsur malakiyah disini sebagaimana yang diungkapkan oleh
Amril Mansur di lokal B PAI 1 pada
tanggal 09 Mei 2015 bahwa setiap manusia yang memiliki unsur Malakiyah tidaklah
bisa dikatakan manusia itu malakait. Unsure malakiyah yang dimaksud disini
adalah meniru dan memiliki sifat sifat malaikat yang selalu taat dan tidak
pernah maksiat kepada Allah Swt. serta menjalankan perintah-perintah Allah Swt.
sehingga manusia akan bisa dekat dengan-Nya.
Dan dapat pula dikatakan setiap manusia yang dibebani sebagai khalifah
haruslah melakukan penyucian diri sehingga terhindar dari perbuatan yang
mementingkan dirinya.
[13] Shaja’ah
menurut Raghib al-Isfahani akan
melahirkan jud (murah hati) yang apabila berfungsi secara kuat dan
maksimal. Iffah (sederhana) juga akan melahirkan qana’ah (rela)
yang akan mencegah perbuatan rakus pada harta orang lain, yang pada akhirnya
melahirkan amanah apabila berfungsi secara sempurna. Selanjutnya akan dapat pula
melahirkan hilm (santun) yang akhirnya sampai kepada ‘awf (pemaaf).
Lebih lanjut lihat penjelasan Amril M, Etika Islam; Telaah Pemikiran
Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal. 79
[14] Amril
M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Ibid., hal.
81-82
[15] Abd
Haris, Etika Hamka; Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius (Yogyakarta:
LKiS, 2010), hal. 124-126
[16] Amril, AkhlakTasawuf;
Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia (Bandung: Refika Aditama, 2015), hal. 1-2
[17] Mustofa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1973), hal, 67
[18]
Bandingkan pengertian al-Ghazali dengan Raghib al-Isfahani tentang akhlak
[19] Amril
ansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani,
Op.Cit., hal. 85
[20] Sajiyya
dimaknai Raghib al-Isfahani sebagai
sesuatu yang tetap dalam diri manusia yang tidak mungkin untuk di ubah. Tabi’a
dan Ghariza yang merupakan sesuatu daya yang tidak ada cara untuk
mengubahnya. Dengan demikian dapat dipahami kenapa Raghib al-Isfahani tidak
menjadikan ketiga unsur psikologis ini sebgai dasar prilaku moral dalam
pemikiran filsafat moralnya. Karena ketiga unsur ini lebih ditampilkan sebagai
penjelas posisi khuluq sebagai dasar psikologis perilaku moral. Khusus
untuk sajiyya, kendatipun tidak ditempatkan sebagai dasar psikologis
perilaku moral seperti kuluq, namun ungkapan ini dikaitkannya dengan ‘ada
(kebiasaan) sebagai sesuatu yang telah menyatu dengan diri terhadap
perbuatan. Lebih lanjut lihat Amril
ansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, ibid,
hal. 89.
[21] Amril
Mansur, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani,
ibid., hal 92
[22] Solihin, Tasawuf
Tematik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 125
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya:
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa seseorang dapat
membersihkan jiwanya melalui ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلاَ
تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.Allah
lebih mengetahui tentang siapa yang bertakwa. (QS. An-Najm/53: 32). Serta
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَسَيُجَنَّبُهَا
اْلأَتْقَى . الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Dan
orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang
menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya. (QS. Al-Lail 92: 17-18).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan
jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan kepada Allah.Dan memang tujuannya adalah
ketakwaan kepada Allah. Di sini perlu juga difahami dengan baik sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
اَللَّهُمَّ
آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ
وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. رواه مسلم
Artinya: Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan
pada jiwaku, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang membersihkan jiwa.
Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya.HR. Muslim.
Dengan qalbu serta jiwa yang bersih dan
bertakwa, akan tercapailah maksud diciptakannya manusia. Yaitu hanya beribadah
dan menyembah kepada Allah saja. Allah berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Artinya:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu
saja. (QS. Adz-Dzaariyaat/51 : 56)
[25] Amril, AkhlakTasawuf;
Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia, Op.Cit., hal. 43
[26]
Penyucian jiwa yang dimaksud disini ialah penyucian tiga daya jiwa yaitu
daya mufakkara, daya shahwiya dan
daya hamiya.
[27] Raghib
al-Isfahani menjelaskan penyucian daya mufakkara dilakukan dengan
mendidiknya melalui belajar sehingga demikian dapat melahirkan hikmah dan
ilmu, sedangkan penyucian daya shawiya dengan cara mengekangnya,
sehingga dapat melahirkan ‘iffa dan jud, sementara untu daya hammiya
dilakukan dengan memimpin daya ini, sehingga tunduk pada akal, selanjutnya
akan melahirkan syaja’a dan hilm. Semua ini apabila berkumpul
maka akan melahirkan ‘adala. Lebih lanjut lihat penjelasan Amril Mansur,
Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit., hal.
94-95
[28] Ibid.,
[29] Amril
M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Op.Cit.,
hal. 101
[30] Amril
M, Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani, Ibid., hal.
102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar