BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
tentang akhlak berarti berbicara tentang keterkaitan persoalan bagaimana
seseorang bertindak dan berperilaku. Ketika perilaku itu diterima dan disenangi
oleh semua orang yang berakal sehat maka ia disebut dengan akhlak yang baik (akhlak
al-karimah), tetapi perilaku itu tidak dapat diterima dan disenangi oleh
semua orang yang berakal sehat serta tidak membahagiakan, maka disebut dengan
akhlak yang tidak baik (akhlak al-mazmumah).[1]
Istilah “baik dan buruk” merupakan
konsep nilai yang digunakan untuk mengukur suatu perbuatan manusia apakah perbuatan itu disebut baik
atau buruk. Kita misalnya, sering menilai seseorang itu baik atau buruk dari
perbuatan yang mereka lakukan. Ilmu akhlak dan filsafat moral memang mengkaji
persoalan ini, dalam arti mengkaji tingkah laku dan perbuatan manusia dan
menetapkannya baik atau buruk. Persoalannya adalah, baik dan buruk itu sangat
relatif, dan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkannya juga berbeda antara
ilmu akhlak dan filsafat moral.[2]
Demikian juga suatu adat istiadat,
aliran pemikiran, dan suatu kelompok masyarakat tertentu memiliki tolok ukurnya
tersendiri dalam menilai sesuatu itu baik atau buruk. Contoh Di
masyarakat akan kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara
berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Orang yang mengikuti cara yang
demikian itulah yang dianggap orang baik, dan orang yang mengingkarinya adalah
orang yang buruk. Kelompok yang menilai baik dan buruk menurut adat ini dalam
pandangan filsafat di kenal dengan aliran sosialisme. Paham ini muncul dari
anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka masyarakatlah yang
menentukan nilai baik dan buruk
perbuatan manusia itu sendiri. Karena hakikat dari adat itu sendiri sebenarnya
adalah produk budaya manusia yang sifatnya nisbi dan relatif, maka nilai baik
dan buruk tersebut juga sangat relatif juga.
Oleh karena itu, Penilaian
terhadap suatu perbuatan adalah relatif, hal ini
disebabkan adanya perbedaan tolak ukur yang digunakan
untuk penilaian tersebut. Perbuatan tolak ukur tersebut, disebabkann karena
perbedaan agama, kepercayaan, cara berpikir, ideology, lingkungan hidup, dan
sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pandangan nilai baik dan buruk dalam Islam?
2.
Bagaimana
pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif teologi?
3.
Bagaimana
pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif etika?
4.
Apa saja faktor
pendorong nilai baik itu?
5.
Apa saja facktor
penghambat nilai baik itu?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui
pandangan nilai baik dan buruk dalam Islam
2.
Untuk mengetahui
pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif teologi
3.
Untuk mengetahui
pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif etika
4.
Untuk mengetahui faktor pendorong nilai
baik islam
5.
Untuk
mengetahui facktor penghambat nilai baik
itu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Nilai Baik dan Buruk dalam Islam
1.
Nilai Baik
Ajaran islam
adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam
penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam
ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah
diuraikan pada bagian terdahulu. Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk
harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Jika kita perhatikan
al-Qur’an maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada
baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Secara bahasa, kata ‘baik’ setidaknya dapat
diterjemahkan dari kata khair, shalih, birr, hasan, ma’ruf, thayyibah. Berikut
ini pembahasan secara harfiah mengenai istilah yang dipaparkan di atas, karena
istilah itu berbeda maksud dan tujuannya masing-masing.
a.
Khair
Dalam kamus bahasa Arab kata ‘khair’ bermaknakan
sesuatu yang telah berada pada titik kesempurnaan. Ini berarti, bahwa kata baik
selalu berhubungan dengan adanya rasa kepuasan, kenyamanan, ketentraman,
kenikmatan, dan kebahagiaan bagi pelakunya. Karena kondisinya yang sedemikian,
maka nilai baik selalu menjadi tujuan atau sasaran bagi suatu perilaku manusia.
Dalam persepektif filsafat Islam, kata khair
berkenaan dengan kebenaran yang menjadi tujuan pengetahuan dalam Islam.
Pengertian benar menurut ilmu akhlak adalah kesesuaian perilaku dengan
peraturan atau harapan-harapan masyarakat. Sebaliknya, dikatakan salah jika
perbuatan itu berseberangan atau tidak sesuai dengan aturan-aturan atau harapan
masyarakat yang berlaku. Mengingat kriterianya sedemikian, maka wajar kita
dapati ada banyak varian dalam menunjuk benar, bahkan menunjukkan
kompleksitasnya jika dilihat dari sudut tempat, zaman dan waktu berlangsungnya
sebuah peraturan atau harapan masyarakat. Namun demikian, yang perlu diingat
adalah tidak ada yang benar itu saling bertentangan. Apabila ada dua atau lebih
yang bertentangan, perlu ada penyelidikan lebih lanjut pada dalil dan
argumentasi yang memperlihatkan nilai dimana keduanya benar, bahkan mungkin
akan salah kedua-duanya.[3]
Raghib al-Isfahani menegaskan bahwa ada dua
kategori khair sebagaimana yang dikutip oleh Amril Mansur yaitu :
1)
Khair Mutlaq (hakiki)
Khair Mutlaq adalah perbuatan baik yang dipilih karena
perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal sangat menginginkannya.
Khair jenis ini memiliki sifat manfaat, indah, dan lezat yang tidak terikat
oleh ruang dan waktu.
2)
Khair Muqayyad (kondisional)
Khair Muqayyad adalah selain memiliki sifat-sifat khair
mutlaq, juga terdapat sifat-sifat syar (tidak baik).
Umtuk menentukan apakah sesuatu itu baik pada kelompok ini, menurut
Raghib al-Isfahani di tentukan dari sejauh mana « sifat-sifat baik »
yang ada tersebut memberikan kontribusi pada suatu objek yang dinilai baik
tersebut. Jika sifat-sifat baik yang ada dalam sesuatu itu meberikan lebih
dibandingkan dengan sifat-sifat yang tidak baik, maka objek tersebut dinilai khair
muqayyad. [4]
b.
Shalih
Kata shalih pada umumnya ditemukan
untuk menunjuk pada etika Islam. Dalam al-Quran, kata shalih ini
memiliki hubungan semantik dengan kata iman. Ini berarti, bahwa perilaku
shalih hanya akan terealisasikan bila didalamnya ada unsur iman.[5]
c.
Al-Birr
Kata birr ini memiliki makna
yang mirip dengan dengan kata shalih. Kata ini umumnya digunakan dalam
konteks dalam hubungan sesama manusia yang tampil dalam kata-kata yang lemah
lembut dan menyenangkan siapa saja yang mendengarkannya, seperti berbuat baik
kepada orang tua.[6]
Eksistensi berbuat baik dalam konteks ini merupakan implementasi dari keyakinan
ontologisme seseorang terhadap Tuhannya.[7]
d.
Hasan
Ada pula yang berpendapat bahwa kata
baik merupakan terjemahan dari kata husn di dalam al-Quran yang artinya
baik atau indah. Menurut al-Raghîb
al-Ashfahanî, istilah al-husn, baik dan indah, menjelaskan semua yang
mengagumkan dan disenangi oleh seluruh manusia. Istilah baik atau kebaikan juga
merupakan terjemahan dari perkataan al-hasanah. Al-Hasanah adalah
kenikmatan yang dirasakan menyenangkan, kenikmatan fisik dan jiwa, yang
bersumber dari kehidupan setiap orang.
Al-hasanah menurut
al-Raghib al-Afahani sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang
baik. Kemudian al-hasanah dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu, pertama; hasanah
dari segi akal, kedua, hasanah dari segi hawa nafsu atau keinginan
dan ketiga, hasanah dari segi pancaindra, sedangkan Lawan dari al-hasanah
adalah al-sayyiah . Yang termasuk al-hasanah adalah keuntungan,
kelapangan rezeki, dan kemenangan. Adapun yang termasuk al-sayyiah
seperti kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan.[8]
e.
Ma’ruf
Istilah baik juga termuat dalam
makna kata ma’ruf. Kata ini bisa ditujukan untuk menyatukan perilaku
baik yang berkenaan dengan hubungan individu terkait dengan tanggung jawabnya
terhadap sesama dan Tuhan azza wa jalla sebagai pemilik kebaikan
tertinggi. Kata ini dipertentangkan dengan kata mungkar yang dimaknai
sebagai suatu tindakan yang menentang atau berlawanan dari apa yang diharapkan
dalam konteks norma-norma agama.
f.
Thayyibah
Adapun kata al-thayyibah
khusus digunakan untuk mengambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan
kepada pancaindera dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan
sebagainya. [9]
Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk.[10]
g.
Mahmudah
Adapun kata al-mahmudah
digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan
sesuatu yang disukai Allah Swt. Dengan demikian kata al-mahmudah lebih
menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual.[11]
h.
Karimah
Kata al-karimah
digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang
ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah
ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya
besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang
tua dan lain sebagainya.[12]
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai
kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepuasan. Yang baik itu
juga sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik itu adalah
sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Begitu
juga bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan,
diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik,
apabila hal tersebut menuju kesempurnaan manusia. Sedangkan kebaikan disebut
nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang
kongkrit.
Perbuatan yang
dinilai baik dalam Islam adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Qur`an
dan Sunnah. Seperti taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik kepada kedua
orang tua, saling menolong dan mendoakan dalam kebaikan, menepati janji, menyayangi anak yatim, amanah, jujur,
ikhlas, ridho dan sabar merupakan perbuatan yang baik.
2.
Nilai Buruk
Secara bahasa istilah buruk dalam
Bahasa Indonesia merupakan arti dari kata syarr dalam bahasa Arab. Syarr,
menurut Al-Raghib al-Ashfahani, adalah perbuatan manusia yang dibenci semua
orang. Ungkapan lain dalam Bahasa Arab yang berarti buruk adalah al-qabîh.
Al-Raghib al-Ashfahani berpendapat, al-qabîh adalah semua benda yang
dinyatakan cacat oleh mata, semua tindakan, dan keadaan yang ditolak dan
dinilai cacat oleh akal sehat dan nurani yang jernih. Ringkasnya al-syarr
dan al-qabîh adalah perbuatan, tindakan, sikap, dan perilaku yang
dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyata-kan
cacat oleh pikiran jernih dan bening.[13]
Senada dengan pendapat Amril Mansur
bahwa buruk itu lebih menunjukkan pada sesuatu yang tidak sempurna dan tidak
pula menyenangkan. Eksistensi ketidakbaikan atau keburukan akan selalu
menggelisahkan, merasa berdosa, tidak nyaman dan mengganggu jiwa pelakunya.
Oleh karena itu, setiap manusia akan senantiasa ingin menghindarinya, ingin
mencampakkan dari kehidupannya.
Dalam konteks ini, nilai baik dan buruk suatu tindakan
dilihat dari kehendak dan keinginan subjek akhlak.[14]
Suatu perbuatan yang baik konsekuensinya adalah kebaikan, sedangkan perbuatan
yang buruk akan mendapatkan keburukan pula. Jadi untuk menentukan apakah suatu
tindakan itu dapat dikatakan baik atau buruk dilihat dari beberapa aspek, yaitu
sebagai berikut:
1.
Substansi perbuatan itu sendiri
2.
Efek yang dimunculkan dari suatu tindakan itu
3.
Kehendak atau maksud dan tujuan subjek akhlak.[15]
Dalam hal
ini, dapat dipahami bahwa eksistensi dari perbuatan buruk itu adalah kebalikan
dari kebaikan yakni ketidaksempurnaan dalam suatu perbuatan dan dipandang suatu
yang tidak bernilai dimata Tuhan begitu juga dimata masyarakat jika dipahami
secara rasional.
B. Penilain
Baik dan Buruk Dalam Persepektif Teologi
1.
Ahlu Sunnah
Bagi ahlu sunnah, bahwa apapun yang
diperintahkan Allah Swt. untuk manusia adalah baik dan apapun yang dilarang-Nya
adalah tidak baik. Tugas poko manusia untuk senantiasa melaksanakan yang ma’ruf
dan menjauhi yanh munkar. Kelompok ahlu sunnah berkeyakinan, bahwa nilai
baik atau buruk ditentukan oleh iradat Allah Swt. Tugas manusia adalah
menjalankan kewajibannnya untuk patuh atas segala sesuatu yang
diperintahkan-Nya dan menjaga diri dari segala yang dilarang-Nya. Bagi kelompok
ini nampaknya, manusia tidak memiliki kekuatan untuk menilai dan memilih sebuah
tindakan untuk dirinya sehingga manusia dalam konteks ini hanya memiliki usaha
untuk itu. Hal ini bergantung pada ilmu dan kehendak Allah Swt. pada dirinya.[16]
2.
Mu’tazilah
Salah satu ajaran ajaran dasar mu’tazilah
adalah amar ma’ruf nahyi munkar. Ajaran ini menekankan tentang
kewajiban manusia akan penegakan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di dunia,
tidak lain adalah konsekuensi logis dari pembuktian keimanan kepada Allah Swt.
Perilaku ma’ruf adalah perilaku-perilaku yang diterima dan diakui oleh
Allah Swt. sebagai pemilik kebaikan dan kebajikan yang sempurna. Adapun yang
dimaksud mungkar adalah perbuatan yang tidak dapat diterima secara rasional
oleh manusia dan tentu tidak pula bernilai disisi Allah Swt.
Aliran ini memandang, bahwa nilai
baik dan buruk dalam konteks ini adalah bahwa seseorang melakukan dalam sesuatu
tindakan akhlak mesti mengetahui bahwa suatu pebuatan itu memang bernilai ma’ruf
yang meniscayakannya berbeda secara nyata dengan yang mungkar, baik dalam
dirinya maupun dalam nilai konsekuensinya. Oleh karena itu, aliran ini percaya
bahwa prasyarat perilaku akhlak adalah kebebasan manusia dalam menentukan
perbuatannya.[17]
Selanjutnya, menurut aliran ini, hal
demikian adalah suatu keniscayaan karena Allah Swt. Telah menganugrahkan akal kepada
manusia. Dengannya manusia dapat mengadakan penilaian akan baik dan buruknya
suatu perbuatan. Disamping itu, manusia akan memilih akhlak untuk dirinya.
C. Baik dan
Buruk dalam Ilmu Tasawuf
Inti ajaran yang paling sentral
adalah upaya yang luhur untuk meraih tauhid. Kesatuan diri manusia dan Tuhan
sesungguhnya tertanam dari syahadah la ilaha illalah yang dimaknai bahwa
sesungguhnya sufi menyaksikan Tuhan dimana-mana sehingga di mana pun ia berada
senantiasa menyaksikan, bahwa Tuhan ada didepannya.
Hakikat kebaikan menurut Tasawuf
terletak pada upaya seorang sampai ketingkat manusia sejati yang menyatu dengan
Ilahi. Kebaikan dan kesempurnaan sejati adalah milik Allah dan hanya
orang-orang yang dekat dan menyatu dengan-Nya lah yang akan meraihnya. Oleh
karena itu, prinsip kebaikan dan kebajikan meniscayakan adanya upaya peraihan
Tauhid.
Jadi, sesuatu dapat dikatakan baik
jika kebaikan yang dimunculkannya dapat membawa subjeknya bersatu dengan Tuhan
sebagai pemilik tunggal kebaikan. Bersatunya diri dengan pemilik tunggal
kebaikan akan menjadi mustahil jika diri tidak diisi dengan
kebajikan-kebajikan. Tujuan tasawuf bukanlah kebaikan, melainkan bagaimana
menyatu dengan tuhan. Dengan demikian, kebaikan dan kebajikan dipandang sebagai
batu loncatan hubungan dirinya dengan Tuhan pemilik kebenaran dan kebaikan yang
sesungguhnya.
Selanjutnya dalam mata orang
tasawuf, baik dilihat bukan semata tindakan moral, melainkan lebih merupakan
tindakan-tindakan batin
D. Berbagai
aliran tentang Baik dan Buruk dalam Persfektif Etika serta Ukuran Baik dan
Buruk
Ukuran ialah
standar perhitungan dalam bentuk panjang-lebar, tinggi-rendah, besar-kecil, isi
dan berat. Mempersoalkan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka ukuran
karakternya selalu dinamis dan sulit dipecahkan. Namun, karakter baik dan buruk
perbuatan manusia dapat diukur menurut fitrah manusia. Kenyataan yang ada di
dalam kehidupan, bahwa ada beda pendapat (berselisih) dalam melihat baik dan
buruk. Sekarang seseoranng melihat baik dan buruk, tetapi pada suatu saat dia
melihatnya itu baik dan sebaliknya. Di dalam melihat ukuran akhlak baik dan
beberapa sudut pandang.
1.
Baik Buruk
Menurut Aliran Adat Istiadat (sosialisme)
Menurut aliran
ini baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan
ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh
masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik
dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk, dan
kalau perlu dihukum secara adat.
Adat istiadat
selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum, Ahmad Amin mengatakan bahwa
tiap-tiap bangsa mempunyai adat istiadat yang tertentu dan menganggap baik bila
mengikutinya,mendidik anak-anaknya sesuai dengan adat istiadat itu, dan
menanamkan perasaan kepada mereka, bahwa adat istiadat itu akan membawa kepada
kesucian,sehingga apabila seseorang menyalahi adat istiadat itu sangat dicela
dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.[18]
Manusia
dapat terpengaruh oleh adat istiadat golongan dan bangsanya. Adat istiadat
dianggap baik apabila diikuti dan ditanam dalam hati mereka bahwa adat istiadat
itu membawa kesucian. Pada suatu waktu orang-orang berpendapat bahwa baik itu
apa yang sesuai dengan adat istiadat dan buruk itu apa yang menyalahinya. Di
luar adat istiadat,orang-orang merdeka melakukan apa yang mereka kehendaki.
Maka ukuran baik dan buruk menurut pandangan mereka adalah adat istiadat
golongannya.
Berdasarkan
pendapat diatas dapat kita pahami bahwa paham aliran istiadat ini yang menjadi
ukuran adalah berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan
adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat.
2.
Baik dan Buruk
Menurut Aliran Hedonisme
Aliran
hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua, karena berlatar pada
pemikiran filsfat Yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM),
yang selanjutnya dikembangkanoleh cyrenics sebagaimana telah diuraikan diatas,
dan belakangan ditumbuh kembangkan freud.
Menurut paham
ini banyak yang disebut perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan,
kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa
semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan adapula yang mendatangkan
kesedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus
dilakukan,maka yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus
sebagai peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu
adalah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalm hidup selain kelezatan dan tidak
ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlaq itu tak lain dan tak bukan adalah
berbuat untuk menghasilkan kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan
itu tidak mempunyai nilai tersendiri,tetapi nilainya terletak pada kelezatan
yang menyertainya.[19]
Perbuatan
manusia dapat dikatakan baik bila ia mendatangkan kebahagiaan, kenikmatan, dan
kelezatan. Para pengikut aliran hedonism membagi kebahagiaan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
a.
Kebahagiaan
Diri (Egoistic Hoedonism)
Manusia itu hendaknya mencari
sebanyak mungkin kebahagiaan untuk dirinya dan mengorientasikan segala usahanya
ke arah kebahagiaan.
b.
Kebahagiaan Bersama (Universalistic Hedonism)
Suatu
perbuatan bahwa ia baik atau buruk, yang perlu diperhatikan adalah kesenangan
dan kepedihan yang diakibatkan oleh perbuatan itu. Dalam hal ini bukan untuk
diri sendiri tetapi untuk seluruh makhluk yang ikut merasakan kenikmatan dari
akibat perbuatan itu.
Kebahagiaan
bersama harus menjadi pokok pandangan setiap orang. Ada beberapa kelemahan
tentang tolok ukur perbuatan manusia dengan kebahagiaan, sebagai berikut :
a.
Nilai yang
diberikan bersifat lokal dan temporal. Perbuatan memberi manfaat bagi suatu bangsa,
tetapi merugikan bagi bangsa lain.
b.
Nilai yang
diberikan bersifat subjektif. Jika sesuai keinginan, mendatangkan kebahagiaan
baginya, belum tentu bagi orang lain.
c.
Paham ini
hanya memandang hasil dari suatu perbuatan, tanpa melihat pada niat dan cara si
pembuat dalam menjalankan perbuatannya.
d.
Pendapat ini
mengatakan bahwa tujuan hidup itu hanya mencari kelezatan dan menjauhi
kepedihan merendahkan martabat manusia.
3.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Intuisisme
Intuisi adalah
merupakan kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk
dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya. Kekuatan batin itu disebut
juga kata hati adalah merupakan potensi rohaniah yang secara fitrah yang ada
pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia
mempunyai kekuatan instinct batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan
sekilas pandang. Kekuatan batin ini terkadang berbeda refleksinya, karena
pengaruh masa dan lingkungan, akan tetapi dasarnya ia tetap sama dan berakar
pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan ia mendapat semacam
ilham yang dapat membertahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan
buruknya. oleh karena itu, kebanyakan manusia sepakat mengenai keutamaan
seperti benar, dermawan, berani, dan mereka juga sepakat menilai buruk terhadap
perbuatan yang salah, kikir dan pengecut.[20]
Kekuatan batin
ini adalah kekuatan yang telah ada dalam jiwa manusia, tidak terambil dari
keadaan luarnya. Kita diberinya kemampuan untuk membedakan antara baik dan
benar, sebagai mana kita diberikan mata untuk melihat dan diberi telinga untuk
mendengar.
Dalam aliran
ini, Amril Mansur menjelaskan dalam bukunya bahwa siapa saja yang selalu
mendengarkan bisikan hatinya yang dalam, maka ia akan selalu terpelihara dari
tindakan-tindakan yang tidak baik. Pendeknya, perilaku moral senantiasa
bersifat konstan dimana setiap manusia di mana pun dan kapan pun cenderung
untuk bermoral. Siapa yang mengikuti suara insaniyahnya maka ia pun akan
menegakkan kebaikan dan kebajikan moral. Jika ia tidak patuh akan suara
hatinya, maka ia pun memilih tidak baik. Jadi ukuran baik dan tidak baiknya
tindakan manuusia bergantung pada daya intuisi moral yang dimilikinya sejak
lahir ke dunia.[21]
Dapat dipahami
bahwa Paham ini berpendapat ukuran baik dan buruk bahwa tiap manusia itu mempunyai kekuatan
batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan baik dan buruk.
Apabila ia melihat suatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang memberi tahu
nilai perbuatan itu lalu menetapkan hokum baik dan buruknya, sebagaimana diberi
mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Penentuan nilai baik dan buruk
yang mengambil landasan perilaku baik pada penilaian kekuatan yang bersumber
dari dalam diri manusia.
4.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Utilitarianisme
Secara harfia
utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna.
Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika berlaku
bagi masyarakat dan Negara disebut social.
Paham penentuan
baik buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan perhatian di masa
sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan dibidang teknik cukup meningkat, dan
kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Namun demikian paham ini terkadang
cenderung ekstrim dan melihat kegunaan hanya dari sudut pandang materialistik.
Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin kurang dihargai, karena secara
material tidak ada lagi kegunaanya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk
dimintakan nasihat dan doanya serta kerelaanya. Selain itu paham ini juga dapat
menggunakan apa saja yang dianggap ada gunanya untuk memperjuangkan kepentingan
politik misalnya tidak segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohonh, tipu
muslihat, kekerasan, paksaan dan lain sebagainya, sepanjang semua yang
disebutkan itu ada gunanya.[22]
Namun demikian
kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi
melainkan juga dengan yang bersifat rohani bias diterima. Dan kegunaan bias
juga diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian
bagi orang lain.
Amril Mansur
berpendapat bahwa aliran ini menekankan bahwa dalam menentukan apakah suatu
perbuatan itu baik atau buruk mestilah dengan menghitung semua unsur kelezatan
dan kesengsaraan yang muncul dari akibat perbuatan itu. Mengingat persoalan
kenikmtan dan kelezatan bersifat sangan subjektif bagi pelaku moral, maka nilai
baik dan buruk tentulah bersifat relatif.[23]
Sementara
pendapat lain, ukuran yang dapat dipergunakan untuk landasan untuk memilih
tindakan mana yang betul itu sebagaimana yang di ungkapkan oleh Hamka sebagai
berikut:[24]
1.
Ukuran sebuah
moralitas dari sebuah tindakan manusia adalah melihat akibat-akibat yang
ditimbulkan dari tindakan itu. Apabila akibat yang dilakukan itu baik, maka
tindakan itu secara moral betul, sebaliknya apabila tindakan itu akibatnya
tidak baik, maka tindakannya tersebut menjadi salah.
2.
Akibat yang
berguna. Yang dimaksud dengan berguna atau bermanfaat dalam teori atau aliran
etika ini adalah kegunaan dalam menunjang apa yang bernilai pada dirinya
sendiri, yang baik pada dirinya sendiri.
3.
Yang baik
pada dirinya sendiri, menurut aliran ini adalah kebahagiaan. Oleh karena itu,
tindakan yang betul dalam arti moral adalah yang menunjang kebahgiaan.
Sedangkan yang disebut membahagiakan menurut sebagian besar penganut teori in,
termasuk John Stuart Mill, adalah nikamat dan kebebasan dari perasaan yang
tidak enak, karena dua hal itu termasuk yang selalu diinginkan oleh manusia.
4.
Menuntut
agar seseoramg selalu mengusahakan akibat baik atau nikmat sebanyak-banyaknya.
Selain itu, aliran ini menyatakan bahwa yang menetukan kualitas moral suatu
tindakan seseorang bukan kebahagiaan pelaku perbuatan tersebut, atau sebagian
kelompok, kelas, atau golongan sosial tertentu, melainkan kebahagiaan semua
orang yang terkena dampak tindakan itu.
Dari pendapat diatas tampaknya Hamka, meski tidak
sepenuhnya mengikuti aliran ini sebagaimana yang dikutipnya diatas ‘ bahwa yang
baik adalah yang baik akibatnya’ adalah menunjukkan bahwa Hamka juga megikuti
masalah yang terkait dengan etika, termasuk dalam aliran ini. Namun penulis
cendrung mengatakan bahwa Hamka kalaupun menganut Aliran ini tetapi bersifat
religius (teologis-eskatologis), sebab bagaimanapun juga, Hamka dalam
merumuskan etikanya selalu mendasarkan pada doktrin-doktrin religiusnya.
5.
Baik Buruk
Menurut Paham Evolusi ( Evolution )
Herbert Spencer
( 1820-1903 ) salah seorang ahli filsafat Inggris yang berpendapat evolusi ini
mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian
berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yabg
dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan
buruk bila jauh dari padanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah
mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.[25]
Cita-cita
manusia dalam hidup ini – menurut paham ini – adalah untuk mencapai kesenangan
dan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini berkembang menurut keadaan yang
mengelilinginya. Dapat dilihat bahwa perbuatan manusia terkadang sesuai dengan
keadaan yang mengelilinginya, maka hidupnya akan senang dan bahagia. Oleh
karena itu menjadi keharusan untuk mengubah dirinya menurut keadaan yang ada di
sekelilingnya, sehingga dengan demikian sampailah ia kepada kesempurnaan atau
kebahagiaan yang menjadi tujuannya.
Tampaknya bahwa
Spencer menjadikan ukuran perbuatan manusia itu ialah mengubah diri sesuai
dengan keadaan yang mengelilinginya. Suatu perbuatan dikatakan baik bila
menghasilkan lezat dan bahagia dan ini bisa terjadi bila cocok dengan keadaan
di sekitarnya.
Dalam sejarah
paham evolusi, Darwin ( 1809-1882 ) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling
banyak mengemukakan teorinya. Dia
memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species.
Dikatakan bahwa
perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut :
a.
Ketentuan alam ( selection of nature )
b.
Perjuangan hidup ( struggle for life )
c.
Kekal bagi yang lebih pantas ( survival for the fit test
)
Yang dimaksud dengan ketentuan alam adalah bahwa alam ini
menyaring segala yang maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus
hidup, dan mana yang tidak pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup.[26]
Berdasarkan ciri-ciri hokum alam yang terus berkembang
ini dipergunakan untuk menentukan baik dan buruk. Namun ikut sertanya berubah
dan berkembangnya ketentuan baik buruk sesuai dengan perkembangan alam ini
akan berakibat menyesatkan, karena ada yang dikembangkan itu boleh jadi tidak
sesuai dengan morma yang berlaku secara umum dan telah diakui kebenarannya.
Mereka yang
mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini
mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada
kesempurnaanya. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang
tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku
pada benda yang tak dapat dilihat atau diraba oleh indera, seperti akhlak dan
moral.
E. Faktor Pendorong Perbuatan Baik
Hamka
mengutip pendapat Imam al-Ghazali, bahwa faktor yang mendorong perbuatan baik dikategorikan
menjadi tiga macam, sebagai berikut:
1.
Karena bujukan atau ancaman dari orang yang diingini
rahmatnya.
2.
Mengharap pujian daripada yang akan memuji atau menakuti
celaan daripada yang akan dicela.
3.
Mengerjakan kebaikan karena memang dia baik dan bercita-cita
hendak menegakkan budi yang utama.
Berdasarkan
pendapat Imam al-Ghazali diatas, dapat dipahami tentang faktor yang mendorong
perbuatan baik sebagaimana akan penulis paparkan sebagai berikut:
1.
Didorong syahwat dan itu hanyalah perbuatan orang awam.
2.
Karena malu dan itulah perbuatan raja-raja dan orang
besar-besar.
3.
Perintah dan dari timbangan akal. Itulah perbuatan
orang-orang hukama (ahli pikir).[27]
Hamka
menegaskan bahwa sebaik-baik perbuatan adalah perbuatan yang didasarkan atas
pertimbangan akalnya, sebagaimana dia menyatakan “sebaik-baik perbuatan ialah
karena perintah akal sendiri, kalau tidak ialah malu, kalau tidak maka karena
takut dan kalau tidak juga lebih baik dating petir dari langit disambarnya dan
habis terbakar,terlepas manusia yang banyak dari kejahatan.
Hamka
melihat yang mendorong orang untuk berbuat baik itu ternyata ada dua faktor
yaitu:
1.
Faktor internal
Faktor
internal adalah jika perbuatan baik itu tumbuh dari kesadaran sendiri, dari
dalam diri sendiri, dari akal sendiri bukan didorongkan oleh faktor luar.
2.
Factor eksternal
Factor
eksternal adalah jika perbuatan baik seseorang didorong oleh pengaruh dari
luardirinya, factor yang tidak muncul dari hati nuraninya sendiri.[28]
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa faktor pendorong manusia berbuat baik tidak
terlepas dari kedua factor diatas yang bermuara pada nilai-nilai yang berasal
dari Tuhan.
F. Faktor
Penghambat Perbuatan Baik
Hamka menjelaskan bahwa yang
menghambat seseoramg untuk berbuat baik ada dua hal, sebagaimana penulis uraikan
dibawah:[29]
1.
Halangan. Halangan yang dimaksud disini adalah halngan
tersebab sakit, lapar, miskin dan seumpamanya.
2.
Taksir (kelalaian).
Adapun takshir ini tersebab empat perkara yaitu:
a.
Lantaran tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang
bathil. Dalam mengatasi problema seperti ini dengan belajar.
b.
Sudah tahu, tetapi tidak biasa mengerjakan yang baik,
sehingga dirasai bahwa mengerjakan yang jahat itu baik juga. Dalam mengatasi
problema tidak sama seperti yang pertama akan tetapi harus ada latihan-latihan.
c.
Telah disangka yang
jahat itu baik dan yang baik itu jahat. Karena telah terdidik dari kecil dalam
perasaan yang demikian. Hal ini lebih sukar lagi mengobatinya dibandingkan yang
pertama dan kedua. Hal ini harus dapat pendidik atau guru yang lapang dada
yakni bersabar.
d.
Didalam kejahilan dan kerusakan didikan, hatinya busuk pula.
Dia berpendapat bahwa mengerjakan kabaikan itu sia-sia saja dan bekerja jahat
itulah yang utama. Dan ini lebih sukar memperbaikinya di bandingkan yang
ketiga.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pandangan Nilai Baik dan Buruk Dalam Islam
a.
Nilai Baik
Secara bahasa, kata ‘baik’ setidaknya dapat
diterjemahkan dari kata khair, shalih, birr, hasan, ma’ruf, thayyibah, mahmudah dan karimah.
b.
Nilai Buruk
Nilai buruk (al-qabîh) adalah
semua benda yang dinyatakan cacat oleh mata, semua tindakan, dan keadaan yang
ditolak dan dinilai cacat oleh akal sehat dan nurani yang jernih. Ringkasnya
al-syarr dan al-qabîh adalah perbuatan, tindakan, sikap, dan
perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani;
serta dinyata-kan cacat oleh pikiran jernih dan bening.
2.
Penilain Baik dan Buruk Dalam
Persepektif Teologi
a.
Ahlu Sunnah
Kelompok ahlu sunnah berkeyakinan,
bahwa nilai baik atau buruk ditentukan oleh iradat Allah Swt. Tugas manusia
adalah menjalankan kewajibannnya untuk patuh atas segala sesuatu yang
diperintahkan-Nya dan menjaga diri dari segala yang dilarang-Nya.
b.
Mu’tazilah
Aliran ini memandang, bahwa nilai
baik dan buruk dalam konteks ini adalah bahwa seseorang melakukan dalam sesuatu
tindakan akhlak mesti mengetahui bahwa suatu pebuatan itu memang bernilai ma’ruf
yang meniscayakannya berbeda secara nyata dengan yang mungkar, baik dalam
dirinya maupun dalam nilai konsekuensinya. Oleh karena itu, aliran ini percaya
bahwa prasyarat perilaku akhlak adalah kebebasan manusia dalam menentukan
perbuatannya.
3.
Berbagai aliran tentang Baik dan
Buruk dalam Persfektif Etika serta Ukuran Baik dan Buruk
a.
Baik Buruk
Menurut Aliran Adat Istiadat ( sosialisme)
b.
Baik dan Buruk
Menurut Aliran Hedonisme
c.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Intuisisme
d.
Baik dan Buruk
Menurut Paham Utilitarianisme
e.
Baik Buruk
Menurut Paham Evolusi ( Evolution )
4.
Faktor
Pendorong Perbuatan Baik
Faktor yang mendorong perbuatan baik
sebagaimana akan penulis paparkan sebagai berikut:
a.
Faktor internal
Faktor
internal adalah jika perbuatan baik itu tumbuh dari kesadaran sendiri, dari
dalam diri sendiri, dari akal sendiri bukan didorongkan oleh faktor luar.
b.
Faktor eksternal
Factor
eksternal adalah jika perbuatan baik seseorang didorong oleh pengaruh dari
luardirinya, factor yang tidak muncul dari hati nuraninya sendiri.
5.
Faktor Penghambat Perbuatan Baik
Hamka menjelaskan bahwa yang
menghambat seseoramg untuk berbuat baik ada dua hal, sebagaimana penulis
uraikan dibawah:
a.
Halangan. Halangan tersebab sakit, lapar, miskin dan
sebagainya.
b.
Taksir (kelalaian).
B.
Saran Penulis
Makalah
ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini
dapat menggambarkan Berbagai Pandangan Tentang Nilai
Baik dan Nilai Buruk. Oleh karena itu jika ada kesalahan dalam isi
makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan kritikan, saran
atau yang lainnya.
[1] Amril Mansur, Akhlak
Tasawuf; Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia (Bandung: Refika Aditama, 2015),
hlm. 89
[3] Amril Mansur, Op.Cit.,
hlm. 89-90
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# öNçlm; ×M»¨Zy_ ÌøgrB `ÏB $pkÉJøtrB ã»pk÷XF{$# 4
y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# çÎ6s3ø9$# ÇÊÊÈ
Artinya:Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Itulah keberuntungan yang besar.
Jika dicermati
ayat ini, terlihat bahwa ungkapan iman dan amal shalih merupakan salah satu
prase yang sering digunakan dalam konteks bahwa antara iman dan amal shaleh
merupakan dua kata yang saling berkait. Artinya tidak dikatakan seseorang itu
beriman jika tidak mengaktualisasikan dalam tindakan nyata dalam bentuk amal
shaleh. Dan tidak mungkin seseorang itu akan berbuat baik jika didalam dirinya
tidak ada unsur iman. Dengan demikian, kata shalih dalam al-Qur’an
dipertentangkan dengan syayyi’at yang berarti kejahatan.
[6] Ibid.,
hlm. 91
[7] Hal ini dapat dipahami dari firman Allah Swt.
dalam surat al-Baqarah ayat 177 yang
berbunyi:
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã (
tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ (
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Artinya:
bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat ini
dapat dicermati, bahwa makna baik dalam konteks ini lebih diorientasikan pada
persoalan hubungan sesama manusia yang memiliki hubungan erat dengan
keimanannya kepada Allah Swt, hari akhir, Malaikat, kitab-kitab dan para Nabi,
serta amal-amal syar’i. aktivitas baik dalam konteks al-birr ini
bukanlah merupakan tindakan kebaikan yang sekadar tata karma atau perilaku rasional
semata, tetapi lebih dari itu dikarenakan adanya penilaian yang berdimensikan
keagamaan yang dasar dan sumbernya telah ditegaskan dalam norma-norma agama.
[8] Abudin Nata, Akhlak
Taswuf (Jakarta:PT Raja Grafindo,
2009), hlm.104-105
[9] Hal ini dapat dilihat
dari Q.S, Al-Baqarah ayat: 57 sebagai berikut:
$oYù=¯=sßur ãNà6øn=tæ tP$yJtóø9$# $uZø9tRr&ur ãNä3øn=tæ £`yJø9$# 3uqù=¡¡9$#ur (
(#qè=ä. `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB öNä3»oYø%yu (
$tBur $tRqßJn=sß `Å3»s9ur (#þqçR%x. öNßg|¡àÿRr& tbqßJÎ=ôàt ÇÎÐÈ
Artinya: dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu
"manna" dan "salwa" makanlah dari makanan yang baik-baik
yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka Menganiaya kami; akan
tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.
[10] Mustofa,
akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 53.
[11] Dapat dilihat
dari penjelasan ayat al-Quran surat al-Isra’ ayat 79 yang berbunyi:
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7t y7/u $YB$s)tB #YqßJøt¤C ÇÐÒÈ
Artinya: dan
pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya: dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
[13] Abudin Nata, Op.Cit.,
hlm.6
[14] Hal ini dapat
kita hubungkan dengan hadis rasulullah Saw yang berbunyi:
عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - : قال
: سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول : « إِنما الأعمال بالنيات ، وإنما
لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته إِلى الله ورسوله ، فهجرته إِلى الله ورسوله. ومن
كانت هجرته إِلى دنيا يُصِيبها ، أو امرأة يتزوجها، فهجرته إِلى ما هاجر إِليه ».
أخرجه الجماعة إِلا الموطأ. وهذا الحديث أول حديث في
كتاب البخاري.
[15] Amril Mansur, Op.Cit.,
hlm. 98
[16] Ibid., hal.
112
[17] Ibid., hal
113-114
[18] Asmaran, Pengantar
Studi Akhlak (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 145.
[19] Zahruddin AR
& Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlak (Jakarata: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 116
[21] Amril Mansur, Op.Cit.,
hlm. 117
[23] Amril Mansur, Op.Cit.,
hlm. 115
[24] Abd. Haris, Etika
Hamka (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 111
[27] Abd. Haris, Op.Cit., hal. 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar