Selasa, 14 Februari 2017

pendidikan nilai (nilai baik dan buruk)

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Berbicara tentang akhlak berarti berbicara tentang keterkaitan persoalan bagaimana seseorang bertindak dan berperilaku. Ketika perilaku itu diterima dan disenangi oleh semua orang yang berakal sehat maka ia disebut dengan akhlak yang baik (akhlak al-karimah), tetapi perilaku itu tidak dapat diterima dan disenangi oleh semua orang yang berakal sehat serta tidak membahagiakan, maka disebut dengan akhlak yang tidak baik (akhlak al-mazmumah).[1]
Istilah “baik dan buruk” merupakan konsep nilai yang digunakan untuk mengukur suatu perbuatan manusia apakah perbuatan itu disebut baik atau buruk. Kita misalnya, sering menilai seseorang itu baik atau buruk dari perbuatan yang mereka lakukan. Ilmu akhlak dan filsafat moral memang mengkaji persoalan ini, dalam arti mengkaji tingkah laku dan perbuatan manusia dan menetapkannya baik atau buruk. Persoalannya adalah, baik dan buruk itu sangat relatif, dan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkannya juga berbeda antara ilmu akhlak dan filsafat moral.[2]
Demikian juga suatu adat istiadat, aliran pemikiran, dan suatu kelompok masyarakat tertentu memiliki tolok ukurnya tersendiri dalam menilai sesuatu itu baik atau buruk. Contoh Di masyarakat akan kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Orang yang mengikuti cara yang demikian itulah yang dianggap orang baik, dan orang yang mengingkarinya adalah orang yang buruk. Kelompok yang menilai baik dan buruk menurut adat ini dalam pandangan filsafat di kenal dengan aliran sosialisme. Paham ini muncul dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka masyarakatlah yang menentukan nilai  baik dan buruk perbuatan manusia itu sendiri. Karena hakikat dari adat itu sendiri sebenarnya adalah produk budaya manusia yang sifatnya nisbi dan relatif, maka nilai baik dan buruk tersebut juga sangat relatif juga.
Oleh karena itu, Penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relatif, hal ini disebabkan adanya perbedaan tolak ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Perbuatan tolak ukur tersebut, disebabkann karena perbedaan agama, kepercayaan, cara berpikir, ideology, lingkungan hidup, dan sebagainya.
B.       Rumusan Masalah
1.             Bagaimana pandangan nilai baik dan buruk dalam Islam?
2.             Bagaimana pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif teologi?
3.             Bagaimana pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif etika?
4.             Apa saja faktor pendorong nilai baik itu?
5.             Apa saja facktor penghambat nilai baik itu?
C.      Tujuan Masalah
1.             Untuk mengetahui pandangan nilai baik dan buruk dalam Islam
2.             Untuk mengetahui pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif teologi
3.             Untuk mengetahui pandangan nilai baik dan buruk dalam perspektif etika
4.             Untuk mengetahui faktor pendorong nilai baik islam
5.             Untuk mengetahui  facktor penghambat nilai baik itu










BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pandangan Nilai Baik dan Buruk dalam Islam
1.         Nilai Baik
Ajaran islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu. Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan ada pula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Secara bahasa, kata ‘baik’ setidaknya dapat diterjemahkan dari kata khair, shalih, birr, hasan, ma’ruf, thayyibah. Berikut ini pembahasan secara harfiah mengenai istilah yang dipaparkan di atas, karena istilah itu berbeda maksud dan tujuannya masing-masing.
a.         Khair
Dalam kamus bahasa Arab kata ‘khair’ bermaknakan sesuatu yang telah berada pada titik kesempurnaan. Ini berarti, bahwa kata baik selalu berhubungan dengan adanya rasa kepuasan, kenyamanan, ketentraman, kenikmatan, dan kebahagiaan bagi pelakunya. Karena kondisinya yang sedemikian, maka nilai baik selalu menjadi tujuan atau sasaran bagi suatu perilaku manusia.
Dalam persepektif filsafat Islam, kata khair berkenaan dengan kebenaran yang menjadi tujuan pengetahuan dalam Islam. Pengertian benar menurut ilmu akhlak adalah kesesuaian perilaku dengan peraturan atau harapan-harapan masyarakat. Sebaliknya, dikatakan salah jika perbuatan itu berseberangan atau tidak sesuai dengan aturan-aturan atau harapan masyarakat yang berlaku. Mengingat kriterianya sedemikian, maka wajar kita dapati ada banyak varian dalam menunjuk benar, bahkan menunjukkan kompleksitasnya jika dilihat dari sudut tempat, zaman dan waktu berlangsungnya sebuah peraturan atau harapan masyarakat. Namun demikian, yang perlu diingat adalah tidak ada yang benar itu saling bertentangan. Apabila ada dua atau lebih yang bertentangan, perlu ada penyelidikan lebih lanjut pada dalil dan argumentasi yang memperlihatkan nilai dimana keduanya benar, bahkan mungkin akan salah kedua-duanya.[3]
Raghib al-Isfahani menegaskan bahwa ada dua kategori khair sebagaimana yang dikutip oleh Amril Mansur yaitu :
1)        Khair Mutlaq (hakiki)
Khair Mutlaq adalah perbuatan baik yang dipilih karena perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal sangat menginginkannya. Khair jenis ini memiliki sifat manfaat, indah, dan lezat yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. 
2)        Khair Muqayyad (kondisional)
Khair Muqayyad adalah selain memiliki sifat-sifat khair mutlaq, juga terdapat sifat-sifat syar (tidak baik).
Umtuk menentukan apakah sesuatu itu baik pada kelompok ini, menurut Raghib al-Isfahani di tentukan dari sejauh mana « sifat-sifat baik » yang ada tersebut memberikan kontribusi pada suatu objek yang dinilai baik tersebut. Jika sifat-sifat baik yang ada dalam sesuatu itu meberikan lebih dibandingkan dengan sifat-sifat yang tidak baik, maka objek tersebut dinilai khair muqayyad. [4]
b.         Shalih
Kata shalih pada umumnya ditemukan untuk menunjuk pada etika Islam. Dalam al-Quran, kata shalih ini memiliki hubungan semantik dengan kata iman. Ini berarti, bahwa perilaku shalih hanya akan terealisasikan bila didalamnya ada unsur iman.[5]
c.         Al-Birr
Kata birr ini memiliki makna yang mirip dengan dengan kata shalih. Kata ini umumnya digunakan dalam konteks dalam hubungan sesama manusia yang tampil dalam kata-kata yang lemah lembut dan menyenangkan siapa saja yang mendengarkannya, seperti berbuat baik kepada orang tua.[6] Eksistensi berbuat baik dalam konteks ini merupakan implementasi dari keyakinan ontologisme seseorang terhadap Tuhannya.[7]
d.        Hasan
Ada pula yang berpendapat bahwa kata baik merupakan terjemahan dari kata husn di dalam al-Quran yang artinya baik atau indah. Menurut al-Raghîb al-Ashfahanî, istilah al-husn, baik dan indah, menjelaskan semua yang mengagumkan dan disenangi oleh seluruh manusia. Istilah baik atau kebaikan juga merupakan terjemahan dari perkataan al-hasanah. Al-Hasanah adalah kenikmatan yang dirasakan menyenangkan, kenikmatan fisik dan jiwa, yang bersumber dari kehidupan setiap orang.
Al-hasanah menurut al-Raghib al-Afahani sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Kemudian al-hasanah dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu, pertama; hasanah dari segi akal, kedua, hasanah dari segi hawa nafsu atau keinginan dan ketiga, hasanah dari segi pancaindra, sedangkan Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah . Yang termasuk al-hasanah adalah keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan. Adapun yang termasuk al-sayyiah seperti kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan.[8]
e.         Ma’ruf
Istilah baik juga termuat dalam makna kata ma’ruf. Kata ini bisa ditujukan untuk menyatukan perilaku baik yang berkenaan dengan hubungan individu terkait dengan tanggung jawabnya terhadap sesama dan Tuhan azza wa jalla sebagai pemilik kebaikan tertinggi. Kata ini dipertentangkan dengan kata mungkar yang dimaknai sebagai suatu tindakan yang menentang atau berlawanan dari apa yang diharapkan dalam konteks norma-norma agama.
f.          Thayyibah
Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk mengambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. [9] Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk.[10]
g.         Mahmudah
Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai Allah Swt. Dengan demikian kata al-mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual.[11]
h.         Karimah
Kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang sekalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan lain sebagainya.[12]
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa  baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepuasan. Yang baik itu juga sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik itu adalah sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Begitu juga bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, apabila hal tersebut menuju kesempurnaan manusia. Sedangkan kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkrit.
Perbuatan yang dinilai baik dalam Islam adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Qur`an dan Sunnah. Seperti taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik kepada kedua orang tua, saling menolong dan mendoakan dalam kebaikan, menepati  janji, menyayangi anak yatim, amanah, jujur, ikhlas, ridho dan sabar merupakan perbuatan yang baik.
2.         Nilai Buruk
Secara bahasa istilah buruk dalam Bahasa Indonesia merupakan arti dari kata syarr dalam bahasa Arab. Syarr, menurut Al-Raghib al-Ashfahani, adalah perbuatan manusia yang dibenci semua orang. Ungkapan lain dalam Bahasa Arab yang berarti buruk adalah al-qabîh. Al-Raghib al-Ashfahani berpendapat, al-qabîh adalah semua benda yang dinyatakan cacat oleh mata, semua tindakan, dan keadaan yang ditolak dan dinilai cacat oleh akal sehat dan nurani yang jernih. Ringkasnya al-syarr dan al-qabîh adalah perbuatan, tindakan, sikap, dan perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyata-kan cacat oleh pikiran jernih dan bening.[13]
Senada dengan pendapat Amril Mansur bahwa buruk itu lebih menunjukkan pada sesuatu yang tidak sempurna dan tidak pula menyenangkan. Eksistensi ketidakbaikan atau keburukan akan selalu menggelisahkan, merasa berdosa, tidak nyaman dan mengganggu jiwa pelakunya. Oleh karena itu, setiap manusia akan senantiasa ingin menghindarinya, ingin mencampakkan dari kehidupannya.
Dalam konteks ini, nilai baik dan buruk suatu tindakan dilihat dari kehendak dan keinginan subjek akhlak.[14] Suatu perbuatan yang baik konsekuensinya adalah kebaikan, sedangkan perbuatan yang buruk akan mendapatkan keburukan pula. Jadi untuk menentukan apakah suatu tindakan itu dapat dikatakan baik atau buruk dilihat dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:
1.        Substansi perbuatan itu sendiri
2.        Efek yang dimunculkan dari suatu tindakan itu
3.        Kehendak atau maksud dan tujuan subjek akhlak.[15]
Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa eksistensi dari perbuatan buruk itu adalah kebalikan dari kebaikan yakni ketidaksempurnaan dalam suatu perbuatan dan dipandang suatu yang tidak bernilai dimata Tuhan begitu juga dimata masyarakat jika dipahami secara rasional.
B.       Penilain Baik dan Buruk Dalam Persepektif Teologi
1.         Ahlu Sunnah
Bagi ahlu sunnah, bahwa apapun yang diperintahkan Allah Swt. untuk manusia adalah baik dan apapun yang dilarang-Nya adalah tidak baik. Tugas poko manusia untuk senantiasa melaksanakan yang ma’ruf dan menjauhi yanh munkar.  Kelompok ahlu sunnah berkeyakinan, bahwa nilai baik atau buruk ditentukan oleh iradat Allah Swt. Tugas manusia adalah menjalankan kewajibannnya untuk patuh atas segala sesuatu yang diperintahkan-Nya dan menjaga diri dari segala yang dilarang-Nya. Bagi kelompok ini nampaknya, manusia tidak memiliki kekuatan untuk menilai dan memilih sebuah tindakan untuk dirinya sehingga manusia dalam konteks ini hanya memiliki usaha untuk itu. Hal ini bergantung pada ilmu dan kehendak Allah Swt. pada dirinya.[16]
2.         Mu’tazilah
Salah satu ajaran ajaran dasar mu’tazilah adalah amar ma’ruf nahyi munkar. Ajaran ini menekankan tentang kewajiban manusia akan penegakan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di dunia, tidak lain adalah konsekuensi logis dari pembuktian keimanan kepada Allah Swt. Perilaku ma’ruf adalah perilaku-perilaku yang diterima dan diakui oleh Allah Swt. sebagai pemilik kebaikan dan kebajikan yang sempurna. Adapun yang dimaksud mungkar adalah perbuatan yang tidak dapat diterima secara rasional oleh manusia dan tentu tidak pula bernilai disisi Allah Swt.
Aliran ini memandang, bahwa nilai baik dan buruk dalam konteks ini adalah bahwa seseorang melakukan dalam sesuatu tindakan akhlak mesti mengetahui bahwa suatu pebuatan itu memang bernilai ma’ruf yang meniscayakannya berbeda secara nyata dengan yang mungkar, baik dalam dirinya maupun dalam nilai konsekuensinya. Oleh karena itu, aliran ini percaya bahwa prasyarat perilaku akhlak adalah kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya.[17]
Selanjutnya, menurut aliran ini, hal demikian adalah suatu keniscayaan karena Allah Swt. Telah menganugrahkan akal kepada manusia. Dengannya manusia dapat mengadakan penilaian akan baik dan buruknya suatu perbuatan. Disamping itu, manusia akan memilih akhlak untuk dirinya.
C.      Baik dan Buruk dalam Ilmu Tasawuf
Inti ajaran yang paling sentral adalah upaya yang luhur untuk meraih tauhid. Kesatuan diri manusia dan Tuhan sesungguhnya tertanam dari syahadah la ilaha illalah yang dimaknai bahwa sesungguhnya sufi menyaksikan Tuhan dimana-mana sehingga di mana pun ia berada senantiasa menyaksikan, bahwa Tuhan ada didepannya.
Hakikat kebaikan menurut Tasawuf terletak pada upaya seorang sampai ketingkat manusia sejati yang menyatu dengan Ilahi. Kebaikan dan kesempurnaan sejati adalah milik Allah dan hanya orang-orang yang dekat dan menyatu dengan-Nya lah yang akan meraihnya. Oleh karena itu, prinsip kebaikan dan kebajikan meniscayakan adanya upaya peraihan Tauhid.
Jadi, sesuatu dapat dikatakan baik jika kebaikan yang dimunculkannya dapat membawa subjeknya bersatu dengan Tuhan sebagai pemilik tunggal kebaikan. Bersatunya diri dengan pemilik tunggal kebaikan akan menjadi mustahil jika diri tidak diisi dengan kebajikan-kebajikan. Tujuan tasawuf bukanlah kebaikan, melainkan bagaimana menyatu dengan tuhan. Dengan demikian, kebaikan dan kebajikan dipandang sebagai batu loncatan hubungan dirinya dengan Tuhan pemilik kebenaran dan kebaikan yang sesungguhnya.
Selanjutnya dalam mata orang tasawuf, baik dilihat bukan semata tindakan moral, melainkan lebih merupakan tindakan-tindakan batin
D.      Berbagai aliran tentang Baik dan Buruk dalam Persfektif Etika serta Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran ialah standar perhitungan dalam bentuk panjang-lebar, tinggi-rendah, besar-kecil, isi dan berat. Mempersoalkan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka ukuran karakternya selalu dinamis dan sulit dipecahkan. Namun, karakter baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur menurut fitrah manusia. Kenyataan yang ada di dalam kehidupan, bahwa ada beda pendapat (berselisih) dalam melihat baik dan buruk. Sekarang seseoranng melihat baik dan buruk, tetapi pada suatu saat dia melihatnya itu baik dan sebaliknya. Di dalam melihat ukuran akhlak baik dan beberapa sudut pandang.
1.         Baik Buruk Menurut Aliran Adat Istiadat (sosialisme)
Menurut aliran ini baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
Adat istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum, Ahmad Amin mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat istiadat yang tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya,mendidik anak-anaknya sesuai dengan adat istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka, bahwa adat istiadat itu akan membawa kepada kesucian,sehingga apabila seseorang menyalahi adat istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.[18]
Manusia dapat terpengaruh oleh adat istiadat golongan dan bangsanya. Adat istiadat dianggap baik apabila diikuti dan ditanam dalam hati mereka bahwa adat istiadat itu membawa kesucian. Pada suatu waktu orang-orang berpendapat bahwa baik itu apa yang sesuai dengan adat istiadat dan buruk itu apa yang menyalahinya. Di luar adat istiadat,orang-orang merdeka melakukan apa yang mereka kehendaki. Maka ukuran baik dan buruk menurut pandangan mereka adalah adat istiadat golongannya.
Berdasarkan pendapat diatas dapat kita pahami bahwa paham aliran istiadat ini yang menjadi ukuran adalah berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat.
2.         Baik dan Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua, karena berlatar pada pemikiran filsfat Yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang selanjutnya dikembangkanoleh cyrenics sebagaimana telah diuraikan diatas, dan belakangan ditumbuh kembangkan freud.
Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan adapula yang mendatangkan kesedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan,maka yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalm hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlaq itu tak lain dan tak bukan adalah berbuat untuk menghasilkan kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri,tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya.[19]
Perbuatan manusia dapat dikatakan baik bila ia mendatangkan kebahagiaan, kenikmatan, dan kelezatan. Para pengikut aliran hedonism membagi kebahagiaan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a.              Kebahagiaan Diri (Egoistic Hoedonism)
Manusia itu hendaknya mencari sebanyak mungkin kebahagiaan untuk dirinya dan mengorientasikan segala usahanya ke arah kebahagiaan.
b.             Kebahagiaan Bersama (Universalistic Hedonism)
Suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk, yang perlu diperhatikan adalah kesenangan dan kepedihan yang diakibatkan oleh perbuatan itu. Dalam hal ini bukan untuk diri sendiri tetapi untuk seluruh makhluk yang ikut merasakan kenikmatan dari akibat perbuatan itu.
Kebahagiaan bersama harus menjadi pokok pandangan setiap orang. Ada beberapa kelemahan tentang tolok ukur perbuatan manusia dengan kebahagiaan, sebagai berikut :
a.              Nilai yang diberikan bersifat lokal dan temporal. Perbuatan memberi manfaat bagi suatu bangsa, tetapi merugikan bagi bangsa lain.
b.             Nilai yang diberikan bersifat subjektif. Jika sesuai keinginan, mendatangkan kebahagiaan baginya, belum tentu bagi orang lain.
c.              Paham ini hanya memandang hasil dari suatu perbuatan, tanpa melihat pada niat dan cara si pembuat dalam menjalankan perbuatannya.
d.             Pendapat ini mengatakan bahwa tujuan hidup itu hanya mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan merendahkan martabat manusia.
3.         Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme
Intuisi adalah merupakan kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya. Kekuatan batin itu disebut juga kata hati adalah merupakan potensi rohaniah yang secara fitrah yang ada pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan instinct batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin ini terkadang berbeda refleksinya, karena pengaruh masa dan lingkungan, akan tetapi dasarnya ia tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan ia mendapat semacam ilham yang dapat membertahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. oleh karena itu, kebanyakan manusia sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan, berani, dan mereka juga sepakat menilai buruk terhadap perbuatan yang salah, kikir dan pengecut.[20]
Kekuatan batin ini adalah kekuatan yang telah ada dalam jiwa manusia, tidak terambil dari keadaan luarnya. Kita diberinya kemampuan untuk membedakan antara baik dan benar, sebagai mana kita diberikan mata untuk melihat dan diberi telinga untuk mendengar.
Dalam aliran ini, Amril Mansur menjelaskan dalam bukunya bahwa siapa saja yang selalu mendengarkan bisikan hatinya yang dalam, maka ia akan selalu terpelihara dari tindakan-tindakan yang tidak baik. Pendeknya, perilaku moral senantiasa bersifat konstan dimana setiap manusia di mana pun dan kapan pun cenderung untuk bermoral. Siapa yang mengikuti suara insaniyahnya maka ia pun akan menegakkan kebaikan dan kebajikan moral. Jika ia tidak patuh akan suara hatinya, maka ia pun memilih tidak baik. Jadi ukuran baik dan tidak baiknya tindakan manuusia bergantung pada daya intuisi moral yang dimilikinya sejak lahir ke dunia.[21]
Dapat dipahami bahwa Paham ini berpendapat ukuran baik dan buruk  bahwa tiap manusia itu mempunyai kekuatan batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan baik dan buruk. Apabila ia melihat suatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang memberi tahu nilai perbuatan itu lalu menetapkan hokum baik dan buruknya, sebagaimana diberi mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Penentuan nilai baik dan buruk yang mengambil landasan perilaku baik pada penilaian kekuatan yang bersumber dari dalam diri manusia.
4.         Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Secara harfia utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan Negara disebut social.
Paham penentuan baik buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan  perhatian di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan dibidang teknik cukup meningkat, dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Namun demikian paham ini terkadang cenderung ekstrim dan melihat kegunaan hanya dari sudut pandang materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin kurang dihargai, karena secara material tidak ada lagi kegunaanya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk dimintakan nasihat dan doanya serta kerelaanya. Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa saja yang dianggap ada gunanya untuk memperjuangkan kepentingan politik misalnya tidak segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohonh, tipu muslihat, kekerasan, paksaan dan lain sebagainya, sepanjang semua yang disebutkan itu ada gunanya.[22]
Namun demikian kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bias diterima. Dan kegunaan bias juga diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Amril Mansur berpendapat bahwa aliran ini menekankan bahwa dalam menentukan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk mestilah dengan menghitung semua unsur kelezatan dan kesengsaraan yang muncul dari akibat perbuatan itu. Mengingat persoalan kenikmtan dan kelezatan bersifat sangan subjektif bagi pelaku moral, maka nilai baik dan buruk tentulah bersifat relatif.[23]
Sementara pendapat lain, ukuran yang dapat dipergunakan untuk landasan untuk memilih tindakan mana yang betul itu sebagaimana yang di ungkapkan oleh Hamka sebagai berikut:[24]
1.             Ukuran sebuah moralitas dari sebuah tindakan manusia adalah melihat akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan itu. Apabila akibat yang dilakukan itu baik, maka tindakan itu secara moral betul, sebaliknya apabila tindakan itu akibatnya tidak baik, maka tindakannya tersebut menjadi salah.
2.             Akibat yang berguna. Yang dimaksud dengan berguna atau bermanfaat dalam teori atau aliran etika ini adalah kegunaan dalam menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang baik pada dirinya sendiri.
3.             Yang baik pada dirinya sendiri, menurut aliran ini adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, tindakan yang betul dalam arti moral adalah yang menunjang kebahgiaan. Sedangkan yang disebut membahagiakan menurut sebagian besar penganut teori in, termasuk John Stuart Mill, adalah nikamat dan kebebasan dari perasaan yang tidak enak, karena dua hal itu termasuk yang selalu diinginkan oleh manusia.
4.             Menuntut agar seseoramg selalu mengusahakan akibat baik atau nikmat sebanyak-banyaknya. Selain itu, aliran ini menyatakan bahwa yang menetukan kualitas moral suatu tindakan seseorang bukan kebahagiaan pelaku perbuatan tersebut, atau sebagian kelompok, kelas, atau golongan sosial tertentu, melainkan kebahagiaan semua orang yang terkena dampak tindakan itu.
Dari pendapat diatas tampaknya Hamka, meski tidak sepenuhnya mengikuti aliran ini sebagaimana yang dikutipnya diatas ‘ bahwa yang baik adalah yang baik akibatnya’ adalah menunjukkan bahwa Hamka juga megikuti masalah yang terkait dengan etika, termasuk dalam aliran ini. Namun penulis cendrung mengatakan bahwa Hamka kalaupun menganut Aliran ini tetapi bersifat religius (teologis-eskatologis), sebab bagaimanapun juga, Hamka dalam merumuskan etikanya selalu mendasarkan pada doktrin-doktrin religiusnya.  
5.         Baik Buruk Menurut Paham Evolusi ( Evolution )
Herbert Spencer ( 1820-1903 ) salah seorang ahli filsafat Inggris yang berpendapat evolusi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yabg dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan buruk bila jauh dari padanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.[25]
Cita-cita manusia dalam hidup ini – menurut paham ini – adalah untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini berkembang menurut keadaan yang mengelilinginya. Dapat dilihat bahwa perbuatan manusia terkadang sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya, maka hidupnya akan senang dan bahagia. Oleh karena itu menjadi keharusan untuk mengubah dirinya menurut keadaan yang ada di sekelilingnya, sehingga dengan demikian sampailah ia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan yang menjadi tujuannya.
Tampaknya bahwa Spencer menjadikan ukuran perbuatan manusia itu ialah mengubah diri sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya. Suatu perbuatan dikatakan baik bila menghasilkan lezat dan bahagia dan ini bisa terjadi bila cocok dengan keadaan di sekitarnya.
Dalam sejarah paham evolusi, Darwin ( 1809-1882 ) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan bahwa perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut :
a.              Ketentuan alam ( selection of nature )
b.             Perjuangan hidup ( struggle for life )
c.              Kekal bagi yang lebih pantas ( survival for the fit test )
Yang dimaksud dengan ketentuan alam adalah bahwa alam ini menyaring segala yang maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus hidup, dan mana yang tidak pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup.[26]
Berdasarkan ciri-ciri hokum alam yang terus berkembang ini dipergunakan untuk menentukan baik dan buruk. Namun ikut sertanya berubah dan berkembangnya ketentuan baik buruk  sesuai dengan perkembangan alam ini akan berakibat menyesatkan, karena ada yang dikembangkan itu boleh jadi tidak sesuai dengan morma yang berlaku secara umum dan telah diakui kebenarannya.
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaanya. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku pada benda yang tak dapat dilihat atau diraba oleh indera, seperti akhlak dan moral.
E.       Faktor Pendorong Perbuatan Baik
Hamka mengutip pendapat Imam al-Ghazali, bahwa faktor yang mendorong perbuatan baik dikategorikan menjadi tiga macam, sebagai berikut:
1.         Karena bujukan atau ancaman dari orang yang diingini rahmatnya.
2.         Mengharap pujian daripada yang akan memuji atau menakuti celaan daripada yang akan dicela.
3.         Mengerjakan kebaikan karena memang dia baik dan bercita-cita hendak menegakkan budi yang utama.
Berdasarkan pendapat Imam al-Ghazali diatas, dapat dipahami tentang faktor yang mendorong perbuatan baik sebagaimana akan penulis paparkan sebagai berikut:
1.         Didorong syahwat dan itu hanyalah perbuatan orang awam.
2.         Karena malu dan itulah perbuatan raja-raja dan orang besar-besar.
3.         Perintah dan dari timbangan akal. Itulah perbuatan orang-orang hukama (ahli pikir).[27]
Hamka menegaskan bahwa sebaik-baik perbuatan adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan akalnya, sebagaimana dia menyatakan “sebaik-baik perbuatan ialah karena perintah akal sendiri, kalau tidak ialah malu, kalau tidak maka karena takut dan kalau tidak juga lebih baik dating petir dari langit disambarnya dan habis terbakar,terlepas manusia yang banyak dari kejahatan.
Hamka melihat yang mendorong orang untuk berbuat baik itu ternyata ada dua faktor yaitu:
1.         Faktor internal
Faktor internal adalah jika perbuatan baik itu tumbuh dari kesadaran sendiri, dari dalam diri sendiri, dari akal sendiri bukan didorongkan oleh faktor luar.
2.         Factor eksternal
Factor eksternal adalah jika perbuatan baik seseorang didorong oleh pengaruh dari luardirinya, factor yang tidak muncul dari hati nuraninya sendiri.[28]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa faktor pendorong manusia berbuat baik tidak terlepas dari kedua factor diatas yang bermuara pada nilai-nilai yang berasal dari Tuhan.
F.       Faktor Penghambat Perbuatan Baik
Hamka menjelaskan bahwa yang menghambat seseoramg untuk berbuat baik ada dua hal, sebagaimana penulis uraikan dibawah:[29]
1.         Halangan. Halangan yang dimaksud disini adalah halngan tersebab sakit, lapar, miskin dan seumpamanya.
2.         Taksir (kelalaian). Adapun takshir ini tersebab empat perkara yaitu:
a.         Lantaran tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang bathil. Dalam mengatasi problema seperti ini dengan belajar.
b.        Sudah tahu, tetapi tidak biasa mengerjakan yang baik, sehingga dirasai bahwa mengerjakan yang jahat itu baik juga. Dalam mengatasi problema tidak sama seperti yang pertama akan tetapi harus ada latihan-latihan.
c.          Telah disangka yang jahat itu baik dan yang baik itu jahat. Karena telah terdidik dari kecil dalam perasaan yang demikian. Hal ini lebih sukar lagi mengobatinya dibandingkan yang pertama dan kedua. Hal ini harus dapat pendidik atau guru yang lapang dada yakni bersabar.
d.        Didalam kejahilan dan kerusakan didikan, hatinya busuk pula. Dia berpendapat bahwa mengerjakan kabaikan itu sia-sia saja dan bekerja jahat itulah yang utama. Dan ini lebih sukar memperbaikinya di bandingkan yang ketiga.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.         Pandangan Nilai Baik dan Buruk Dalam Islam
a.         Nilai Baik
Secara bahasa, kata ‘baik’ setidaknya dapat diterjemahkan dari kata khair, shalih, birr, hasan, ma’ruf, thayyibah, mahmudah dan karimah.
b.         Nilai Buruk
Nilai buruk (al-qabîh) adalah semua benda yang dinyatakan cacat oleh mata, semua tindakan, dan keadaan yang ditolak dan dinilai cacat oleh akal sehat dan nurani yang jernih. Ringkasnya al-syarr dan al-qabîh adalah perbuatan, tindakan, sikap, dan perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyata-kan cacat oleh pikiran jernih dan bening.
2.         Penilain Baik dan Buruk Dalam Persepektif Teologi
a.         Ahlu Sunnah
Kelompok ahlu sunnah berkeyakinan, bahwa nilai baik atau buruk ditentukan oleh iradat Allah Swt. Tugas manusia adalah menjalankan kewajibannnya untuk patuh atas segala sesuatu yang diperintahkan-Nya dan menjaga diri dari segala yang dilarang-Nya.
b.         Mu’tazilah
Aliran ini memandang, bahwa nilai baik dan buruk dalam konteks ini adalah bahwa seseorang melakukan dalam sesuatu tindakan akhlak mesti mengetahui bahwa suatu pebuatan itu memang bernilai ma’ruf yang meniscayakannya berbeda secara nyata dengan yang mungkar, baik dalam dirinya maupun dalam nilai konsekuensinya. Oleh karena itu, aliran ini percaya bahwa prasyarat perilaku akhlak adalah kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya.
3.         Berbagai aliran tentang Baik dan Buruk dalam Persfektif Etika serta Ukuran Baik dan Buruk
a.         Baik Buruk Menurut Aliran Adat Istiadat ( sosialisme)
b.        Baik dan Buruk Menurut Aliran Hedonisme
c.         Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme
d.        Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
e.         Baik Buruk Menurut Paham Evolusi ( Evolution )
4.         Faktor Pendorong Perbuatan Baik
Faktor yang mendorong perbuatan baik sebagaimana akan penulis paparkan sebagai berikut:
a.         Faktor internal
Faktor internal adalah jika perbuatan baik itu tumbuh dari kesadaran sendiri, dari dalam diri sendiri, dari akal sendiri bukan didorongkan oleh faktor luar.
b.         Faktor eksternal
Factor eksternal adalah jika perbuatan baik seseorang didorong oleh pengaruh dari luardirinya, factor yang tidak muncul dari hati nuraninya sendiri.
5.         Faktor Penghambat Perbuatan Baik
Hamka menjelaskan bahwa yang menghambat seseoramg untuk berbuat baik ada dua hal, sebagaimana penulis uraikan dibawah:
a.         Halangan. Halangan tersebab sakit, lapar, miskin dan sebagainya.
b.        Taksir (kelalaian).
B.       Saran Penulis
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini dapat menggambarkan Berbagai Pandangan Tentang Nilai Baik dan Nilai Buruk. Oleh karena itu jika ada kesalahan dalam isi makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan kritikan, saran atau yang lainnya.




[1] Amril Mansur, Akhlak Tasawuf; Meretas Jalan Menuju Akhlak Mulia (Bandung: Refika Aditama, 2015), hlm. 89
[2] Rosihon Anwar,  Akhlak Tasawuf (Bandung:Pustaka Setia, 2010), hlm. 44
[3] Amril Mansur, Op.Cit., hlm. 89-90
[4] Ibid., hlm. 105
[5]  Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Buruj ayat 11 yang berbunyi :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# öNçlm; ×M»¨Zy_ ̍øgrB `ÏB $pkÉJøtrB ㍻pk÷XF{$# 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# 玍Î6s3ø9$# ÇÊÊÈ  
Artinya:Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Itulah keberuntungan yang besar.
Jika dicermati ayat ini, terlihat bahwa ungkapan iman dan amal shalih merupakan salah satu prase yang sering digunakan dalam konteks bahwa antara iman dan amal shaleh merupakan dua kata yang saling berkait. Artinya tidak dikatakan seseorang itu beriman jika tidak mengaktualisasikan dalam tindakan nyata dalam bentuk amal shaleh. Dan tidak mungkin seseorang itu akan berbuat baik jika didalam dirinya tidak ada unsur iman. Dengan demikian, kata shalih dalam al-Qur’an dipertentangkan dengan syayyi’at yang berarti kejahatan.
[6] Ibid., hlm. 91
[7]  Hal ini dapat dipahami dari firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah  ayat 177 yang berbunyi:
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  
Artinya: bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat ini dapat dicermati, bahwa makna baik dalam konteks ini lebih diorientasikan pada persoalan hubungan sesama manusia yang memiliki hubungan erat dengan keimanannya kepada Allah Swt, hari akhir, Malaikat, kitab-kitab dan para Nabi, serta amal-amal syar’i. aktivitas baik dalam konteks al-birr ini bukanlah merupakan tindakan kebaikan yang sekadar tata karma atau perilaku rasional semata, tetapi lebih dari itu dikarenakan adanya penilaian yang berdimensikan keagamaan yang dasar dan sumbernya telah ditegaskan dalam norma-norma agama.
[8] Abudin Nata, Akhlak Taswuf  (Jakarta:PT Raja Grafindo, 2009), hlm.104-105
[9] Hal ini dapat dilihat dari Q.S, Al-Baqarah ayat: 57 sebagai berikut:
$oYù=¯=sßur ãNà6øn=tæ tP$yJtóø9$# $uZø9tRr&ur ãNä3øn=tæ £`yJø9$# 3uqù=¡¡9$#ur ( (#qè=ä. `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB öNä3»oYø%yu ( $tBur $tRqßJn=sß `Å3»s9ur (#þqçR%x. öNßg|¡àÿRr& tbqßJÎ=ôàtƒ ÇÎÐÈ  
Artinya: dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa" makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka Menganiaya kami; akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.
[10] Mustofa, akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 53.
[11] Dapat dilihat dari penjelasan ayat al-Quran surat al-Isra’ ayat 79 yang berbunyi:
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7/u $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C ÇÐÒÈ  
Artinya: dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
[12] Allah Swt. berfirman dalam Al-Qu’an surat al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi:
4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
Artinya: dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
[13] Abudin Nata, Op.Cit., hlm.6
[14] Hal ini dapat kita hubungkan dengan hadis rasulullah Saw yang berbunyi:
عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - : قال : سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول : « إِنما الأعمال بالنيات ، وإنما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته إِلى الله ورسوله ، فهجرته إِلى الله ورسوله. ومن كانت هجرته إِلى دنيا يُصِيبها ، أو امرأة يتزوجها، فهجرته إِلى ما هاجر إِليه ». أخرجه الجماعة إِلا الموطأ. وهذا الحديث أول حديث في كتاب البخاري.
[15] Amril Mansur, Op.Cit., hlm. 98
[16] Ibid., hal. 112
[17] Ibid., hal 113-114
[18] Asmaran, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992),  hlm. 145.
[19] Zahruddin AR & Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlak (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 116
[20] Abdullah Yatimin, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta : Amzah, 2007), hlm. 67
[21] Amril Mansur, Op.Cit., hlm. 117
[22] Poedjawijatna,  Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 56
[23] Amril Mansur, Op.Cit., hlm. 115
[24] Abd. Haris, Etika Hamka (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 111
[25] Poedjawijatna, Op.Cit., hlm. 58
[26] Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 73
[27] Abd. Haris, Op.Cit., hal. 118
[28] Ibid., hlm. 119
[29] Ibid., hlm. 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar