Selasa, 14 Februari 2017

hakikat manusia

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pemikiran tentang hakikat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan tidak akan berakhir. Berbedanya pandangan disebabkan karena berbedanya melihat manusia dari sisi pandang. Begitu juga unruk mencari hakikat manusia secara komprenhensif adalah suatu hal yang sangat sulit.
Muhmidayeli mengungkapkan bahwa persolalan manusia memang merupakan masalah yang selalu ada bagi setiap manusia yang sadar sepanjang sejarah kehidupannya, namun pemahaman yang sesungguhnya tidak akan ditemukan jika manusia itu tidak ditempatkan sebagai suatu realitas.[1]
Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal. Pertama, Persoalan menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat dependen.
Kedua, Persoalaan menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya. Tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, menstrandensikan kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah.
Dan ketiga, manusia menghadapi persolan yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” melainkan harus “solider” , hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain. Oleh karena itu, mengingat latar belakang masalah diatas penulis mencoba mengulas kembali bagaimana sebenarnya hakikat Manusia jika dipandang dari berbagai sudut pandang yang berjudul Hakikat Manusia.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah pemakalah kemukakan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana hakikat manusia dalam persepektif psikologi?
2.      Bagaimana hakikat manusia dalam persfektif pendidikan?
3.      Bagaimana hakikat manusia pandangan aliran filsafat?
4.      Bagaimana hakikat manusia dalam konsep Islam?

C.      Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui hakikat manusia dalam persepektif psikologi
2.      Untuk mengetahui  hakikat manusia dalam persfektif pendidikan
3.      Untuk mengetahui hakikat manusia pandangan aliran filsafat barat
4.      Untuk mengetahui hakikat manusia dalam konsep Islam



















BAB II
PEMBAHASAN

Pada bab ini, sebelum mengkaji hakikat manusia dalam persepektif islam, adakalanya penulis membahas sekilas tentang hakikat manusia dalam pesepektif Psikologi, Pendidikan dan Pandangan aliran filsafat sebagai penambahan wawasan dan pengetahuan, serta menjadi pertimbangan renungan bagi kita semua.
A.      Hakikat Manusia dalam Persepektif Psikologi
Pada bagian ini akan diungkapkan tentang aliran-aliran disiplin psikologi yang menjelaskan tentang hakikat manusia:
1.             Psikoanalisa
Aliran ini bertolak dari asumsi bahwa manusia terdiri dari tiga system yaitu: Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif).
Ketiga komponen ini berinterkasi satu sama lain dan menjalankan fungsi dengan mekanismenya masing-masing. Selain ketiga system ini manusia pun memiliki tiga starata kesadaran yaitu: Alam sadar, Alam pra sadar (bawah sadar), dan Alam tidak sadar.
Id adalah sekumpulan potensi yang dibawa sejak lahir, insting-insting dan nafsu primer, sumber energi psikis yang member daya kepada ego dan superego untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan prinsip kenikmatan, id mendorong manusia kepada pemenuhan kenikmatan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Letak id yang berkarakter demikian berada dialam tidak sadar.[2]
Smentara itu, keberadaan ego adalah membantu id mengadakan kontak dengan realitas. Dengan prinsip realitas ini ego befungsi merealisasikan kebutuhan-kebutuhan id dengan jalan memilih untuk pemuasan kenikmatan yang benar-benar ada dan tersedia dan caranya pun dapat diterima dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Ego bertempat dalam alam sadar, tapi sebagian dalam alam prasadar (bawah sadar) sebagai unsur-unsur laten yang sewaktu-waktu dapat diingat kembali.[3]
Berbeda dengan id yang bekerja atas prinsip kenikmatan dan ego yang berprinsip realitas. Superego menuntut kesempurnaan dan idealitas perilaku dengan ketaatan terhadap norma-norma lingkungan sebagai tolok ukurnya. Kendati dikatakan bahwa superego bekerja dengan prinsip idealitas, namun seperti halnya id, superego juga bersifat irrasional, semua yang dituntut harus dipenuhi dengan secara sempurna.[4]
Dapat dipahami, dengan penjelasan kedua pendapat diatas, bahwa Psikoanalisis (klasik) memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tidak sadar dan dorongan-dorongan biologis (nafsu-nafsu) yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian psikoanalisis menganggap bahwa tabiat manusia adalah buruk, liar kejam, kelam, non-etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani.
2.             Behaviorisme
Aliran ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki pembawaan (bakat alamiah) apapun. Manusia akan berkembang sesuai dengan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan. Lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik dan juga sebaliknya.[5]
Aliran ini mengembangkan proses perubahan perilaku dengan asas-asas sebagai berikut:
a.              Classical conditioning (pembiasaan klasik)
Classical conditioning adalah suatu rangsang (netral) akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang itu sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut. Misalnya bel yang selalu dibunyikan mendahului pemberian makan anjing lama kelamaan akan menimbulkan air liur anjing itu sekalipun makanan tidak diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena adanya prinsip asosiasi.
b.             Law of effect (hokum akibat)
Law of effect adalah perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan si pelaku cenderung akan diulangi, sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan atau merugikan cenderung akan dihentikan.
c.              Operant conditioning (pembiasaan operan)
Operant conditioning adalah suatu pola perilaku akan menjadi mantap apabila dengan perilaku itu berhasil diperoleh hal-hal yang dinginkan oleh si pelaku (penguat positif) atau hilangnya hal-hal yang tidak dinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak menyenangkan (hukuman) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).
d.             Modelling (peneladanan)
Modelling adalah dalam kehidupan social perubahan perilaku terjadi karena proses dan peneladanan terhadap prilaku orang lain yang disenangi atau dikagumi.[6]
Dari paparan keempat asas perubahan perilaku diatas dapat disimpulkan bahwa semuanya berkaitan dengan proses belajar, yakni perubahan perilaku tertentu menjadi menjadi perilaku baru. Perubahan ini selalu melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kehendak) dan aksi (tindakan).
3.             Humanistik
Menurut aliran ini manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik. Kualitas-kualitas insane tersebut adalah sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang secara alamiah melekat pada eksistensi manusia. Seperti kemampuan abstraksi daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dan estetika. Manusia adalah makhluk sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan segalanya, sehingga dijuluki the self determining being, makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Terdapat sebuah corak pandangan psikologi yang sering dikelompokkan ke dalam psikologi humanistik, yakni Logoterapi menemukan adanya dimensi lain pada diri manusia di samping dimensi raga (somatis) dan dimensi kejiwaan (psikis), yaitu dimensi neotik atau sering juga disebut dengan dimensi keruhanian (spiritual).[7]
4.             Transpersonal
Transpersonal merupakan pengembangan dari aliran humanistik. Psikologi Transpersonal menitikberatkan pada dua unsur penting manusia yakni, potensi-potensi luhur (the highest potential) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia. Fenomena kesadaran yang dimaksudkan disini adalah pengalaman seseorang yang melewati batas-batas kesadaran biasa, misalnya saja pengalaman alih dimensi, memasuki alam kebathinan, kesatuan mistik, komunikasi bathiniah, pengalaman meditasi dan sebagainya.
Demikian pula mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti Altered States of Conciousness (ASOC), Extra Sensory Perception (ESP), transesdensi diri, keruhanian, potensi luhur dan paripurna, dimensi diatas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya bathin, pengalaman spiritual, praktik-praktik keagamaan di kawasan timur dan berbagai belahan bumi lainnya.[8]
Dari paparan diatas dapat disimpulkan, walau antara humanistik dan transpersonal memiliki persamaan hanya saja perbedaan Nampak jelas, yakni psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini peningkatan hubungan antara manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transedental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini.
B.       Hakikat Manusia dalam Persfektif Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan pembelajaran secara terus menerus, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat nilai kebenaran yang baik dan yang universal-abstrak, teoritis, maupun praktis. Dengan kemampuan yang benar, manusia berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan pengetahuannya ke dalam prilaku sehari-hari. Dengan diamalkan, pengetahuan berubah menjadi perilaku, peilaku berubah menjadi moral dan kemudian menjadi etika kehidupan.[9]
Dalam persepektif pendidikan yang dimaksudkan disini adalah hubungan manusia dilihat dari potensi dirinya sebagai factor internal dengan pendidikan sebagai factor eksternal yang akan menentukan proses jalan kehidupannya. Dan pada bagian ini akan di ungkapkan tentang aliran – aliran yang menjelaskan tentang hakikat manusia dalam kaitannya dengan pendidikan, sebagai berikut:
1.             Emprisme
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan potensi dasar anak tergantung pada lingkungannya, sedangkan pembawaan tidak dianggap penting.[10] Teori ini dikembangkan dari pernyataan Jonh Locke (1704-1932) bahwa seorang anak lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih. Implikasinya, lingkungan yang dalam hal ini bisa berbentuk keluarga, sekolah atau masyarakat akan menentukan pola-pola mengenai cara pandang tertentu yang ditransfer melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan akan berperan menentukan pilihan-pilihan hidup yang dijalaninya. Untuk itu Ngalim purwanto menyebutnya optimisme pedagogis,[11] yakni pendidikan berpeluang mengembangkan kedirian manusia.

2.             Nativisme
Schopenhauer (1788-1860) menyatakan bahwa bayi lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Dengan demikian, keberhasilan disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri sendiri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras dalam dalam mengembangkan bakat atau kemampuan yang ada dalam dirinya.[12] Implikasinya, factor eksternal diri manusia yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat tidak akan memiliki peran menetukan dalam menentukan karakter manusia. Dengan demikian, proses transmisi pengetahuan (pendidikan) tidak terjadi antara manusia dengan lingkungannya. Sebab manusia hanya akan sebatas menunggu potensi-potensinya menjadi kenyataan dalam menjadi kehidupan. Ngallim Purwanto menyebut aliran ini sebagai pesimisme pedagogis,[13] yakni pendidikan tidak berpeluang untuk mengembangkan kedirian manusia.
3.             Naturalisme
Teori ini dikembangkan oleh JJ. Rosseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa semua anak yang baaru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Pembawaan baik anak akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pandangan ini menekankan bahwa perkembangan potensi anak harus secara alami, artinya tanpa ada rekayasa dan rekadaya dari luar dalam perkembangan potensi anak. Karena itu pendidikan harus  memberikan kebebasan secara alami kepada anak didik dalam menentukan perkembangan dirinya, sehingga anak tetap berada dalam pembawaannya.[14] Pada dasarnya, aliran ini sejalan dengan emprisme dalam hal bahwa pendidikan memiliki peran penting pada diri manusia. Hanya saja perbedaannya terletak pada anggapan bahwa manusia itu berpotensi baik dan ketika aktualisasinya buruk maka itu tidak lebih karena disebabkan oleh factor pengaruh lingkungan (pendidikan).
4.             Konvergensi
Teori ini dikembangkan oleh William Stern (1871-1939) yang menyatakan bahwa anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk, dan dalam proses perkembangannya factor pembawaan dan factor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat penting.[15]
Dengan kata lain, ketika pendidikan yang baik telah diperoleh seseorang dan efektif, maka ini berarti antara factor internal dan eksternal saling memperkuat satu sama lain. Dan sebaliknya, ketika pendidikan yang baik telah diperoleh seseorang dan ternyata tidak efektif maka nampaknya pembawaan buruk lebih domonan. Namun demikian bukan pendidikan yang menjadi satu-satunya penyebab rusaknya potensi baik seperti yang dinyatakan aliran naturalisme.
C.      Hakikat Manusia Pandangan Aliran Filsafat Barat
Berbicara mengenai apa manusia itu, ada 4 (empat) aliran yang akan dipaparkan oleh pemakalah dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.             Aliran serba zat
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu adalah hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu hakikat dari manusia itu adalah zat atau materi.[16]
Manusia sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya ke dunia sebagai manusia. Adapun yang disebut dengan ruh atau jiwa pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh). Oleh karena itu manusia sebagai materi maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi, maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai khayalan belaka.[17]
2.             Aliran serba ruh
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini.[18]
Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indera. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu. Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama dengan jiwa, sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Fichte berkata sebagaimana yang dikutip oleh Sidi Gazalba bahwa segala segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perupaan, perubahan atau penjelmaan dari pada ruh.[19]
Dari paparan diatas penulis memahami serta penjelasan Zuhairini, dkk yang ada dalam bukunya bahwa dasar pikiran dari aliran ini ialah ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya seorang wanita atau pria yang kita cintai, kita tidak mau pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita cintai tidak ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, maka mau tidak mau kita harus melepaskannya untuk dikubur. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, kebagusan yang dimiliki oleh wanita atau pria tadi tidak aka nada artinya tanpa ruh. Meskipun badannya masih utuh, lengkap anggota badannya tetapi kita mengatakan “dia sudah tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah mengahadap Tuhannya. Dengan demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat sedang badan adalah penjelmaan atau bayangan saja.
3.             Aliran dualisme
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran diatas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua subtansi yaitu jasmani dan ruhani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut Manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling berpengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi disatu pihak akan mempengaruhi di pihak yang lain. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang yang jiwanya cacat atau kacau akan berpengaruh pada pisiknya.[20]
4.             Aliran eksistensialisme
Aliran eksistensialisme adalah aliran filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu. Mereka mencari inti hakikat manusia yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.[21]
D.      Hakikat Manusia Dalam Konsep Islam
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan subtansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua-duanya adalah subtansi alam.[22] Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt. Berikut penulis akan menguraikan ayat dan hadis yang membicarakan tentang proses kejadian manusia. Firman Allah dalam al-Quran yang berbunyi:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
Artinya: (12) Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (13) kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (14). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.[23]
Kemudian Nabi Muhammad Saw., mengulas ayat suci diatas dengan sabdanya:
3036 - حدثنا الحسن بن الربيع حدثنا أبو الأحوص عن الأعمش عن زيد بن وهب قال عبد الله  : حدثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو الصادق المصدوق قال ( إن أحدكم يجمع في بطن أمه أربعين يوما ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يبعث الله ملكا فيؤمر بأربع كلمات ويقال له اكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أم سعيد ثم ينفخ فيه الروح.[24]
Artinya: Bahwasanya seseorang kamu dihimpunkan kejadiannya di dalam perut ibu selama 40 hari, kemudian merupakan alaqah (segumpal darah) seumpama demikian (selama 40 hari), kemudian merupakan segumpal daging seumpama demikian 40 hari. Kemudian Allah mengutus Malaikat, maka diperintahkan kepadanya empat perkataan dan dikatakan kepada engkau tuliskanlah amalannya, dan rezkinya dan ajalnya, dan celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkanlah kapada makhluk itu ruh.

Dari al-Quran dan Hadis diatas, jelaslah bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan proses perkembangan dan pertumbuhan pada hewan. Semuanya berproses pada hukum-hukum alam yang material. Hanya pada kejadian manusia, sebelum makhluk yang disebut manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya, Allah Swt meniupkan ruh ciptaan-Nya kedalam tubuh manusia.[25] Ruh yang berasal dari Allah itulah yang menjadi hakikat manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena Allah tidak meniupkan ruh pada hewan.
Dapat dipahami bahwa  dalam diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan, karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Allah Swt. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut, berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya, manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata. Di samping itu, manusia sebagai khalifah Allah, juga merealisir fungsi ketuhanan, sehingga manusia adalah berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia itu berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan.
Secara terminologi, ungkapan al-Quran untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: al-insan, al-basyar, dan bani adam /anak adam/keturunan adam Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan dalam al -Qur’an seperti “basyar, insan” semuanya mengandung petunjuk sebagai manusia dalam hakikatnya.[26]

1.             Kosep al-Basyar
Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan.[27]
 Firman Allah Swt. dalam Surat al-Kahfi sebagai berikut:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ  
Artinya:“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."[28]

Dalam buku Al Rasyidin, Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 36 kali dan 25 diantaranya menjelaskan kemanusiaan para nabi dan rasul. Manusia disebut al-Basyar karena memang kulitnya tampak jelas dilihat dan tidak ditutupi bulu tebal seperti hewan. Karenaya, kata al-Basyar selalu dihadirkan al-Quran dalam arti fisik biologis manusia yang tampak jelas.[29] Hal tersebut dapat dilihat dari dari berbagai ungkapan al-Quran mengenai al Basyar yang konteksnya selalu merujuk pada manusia sebagai makhluk biologis.
Dapat dipahami bahwa manusia memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan terhadap alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan kata  al Basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah Swt lainnya pada aspk material atau dimensi alamiyahnya saja.
Selanjutnya al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa manusia merupakan ciptaan Allah Swt yang terdiri atas dan unsur jasmani dan rohani. Namun jika manusia ingin hidup sesuai dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah lainnya, maka hendaklah ia mempergunakan unsur pisikisnya secara dominan. Jika tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.[30]
Selanjutnya, Muhmidayeli menjelaskan bahwa manusia dalam bentuk fisik memiliki proses perkembangan yang sama dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menurut ketentuan hukum natural bersifat terbatas pada ruang dan waktu. Berarti manusia dalam konteks ini adalah makhluk yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang tergantung pada proses alamiah yang sesuai dengan peredaran waktunya.[31]
Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa hakikat manusia dalam konsep al-Basyar adalah seluruh manusiaakan mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya memerlukan ruang waktu serta tunduk terhadap hukum alamiyahnya. Untuk itu Allah Swt. Memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untu mengelila dan memanfaatkan alam semesta sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
2.             Konsep al-Nas, Uns dan Insan
Menurut Aisyah Abdurrahman, dalam Al Quran al-Nas, Ins dan al-Insan tidak pernah diungkapkan untuk arti manusia secara fisik. Kata al-Nas yang disebutkan sebanyak 240 kali adalah sebagai nama jenis untuk keturunan Adam, yaitu satu spesies di alam semesta. Contoh untuk hal ini firman Allah Swt:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ    
Artinya: Hai manusia (al-Nas), Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[32]

Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya.[33] Hal ini dapat dipahami bahwa manusia memiliki potensi dalam beradaptasi dan menyesuikan dengan lingkungannya atau dapat dikatakan bahwa manusia ingin berkelompok dan bermasyrakat dengan manusia lainnya.
Adapun kata al-Ins dan al-Insan, keduanya memiliki intensi makna yang serumpun karena berasal dari akar kata yang sama, yakni anasa yang menunjukkan arti lawan dari kebuasan. Kata al-Insan, nilai  kemanusiaanya tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifik manusia untuk tumbuh menjadi al-Ins, tetapi juga sampai pada tingkat yang membuatnya pantas untuk menjadi khalifah di bumi, menerima beban aktif dan amanah kemanusiaan. Karena al-Ins dibekali dengan al-Ilm, al-Bayan al-Aql dan al-Tamyiz, maka dia harus berhadapan dengan ujian kebaikan dan kejahatan, ilusi tentang kekuatan dan kemampuannya, serta optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi spesies lain yang ada di alam ini.[34]
Menurut Muhmidayeli, kata Insan, al-Uns, al-Ins dan Anisa, yang berasal dari kata Anasa berarti melihat, mengetahui dan minta izin. Kata Insan kalau dikaitkan dengan aspek utama kemanusiaan yaitu kemampuan penalaran yang dengannya manusia mampu mengamati, mencermati, menangkap, mengidentifikasi, mengelompokkan dan menganalisis berbagai kasus dan kondisi dalam berbagai realitas yang dihadapinya dengan cara membuat hubungan antara fakta dan infomasi dalam berbagai realitas yang ada menuju pengambilan suatu kesimpulan dan atau keputusan yang akan menjadi pelajaran atau hikmah yang berguna bagi kehidupannya.[35]
Sebagai makhluk yang memiliki daya nalar, menjadikam manusia mampu melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa-apa yang benar dan apa-apa yang salah dan dengannya dapat membuat keputusan-keputusan yang berharga untuk dirinya dalam rangka pengembangan kemanusiaannya. Karakteristek pokok manusia dalam hal ini tidak lain adalaj kemampuannya dalam membaca, mendeskripsikan, mempelajari, memetakan, menelaah, memilah-milah dan menganalisis berbagai realitas yang ada sehingga ia pun dapat menemukan berbagai pengetahuan yang akan berguna bagi dirinya dalam menjalankan kehidupannya di dunia dan di akhirat.
Pendapat lain tentang Insan mengandung makna kesempurnaan – sesuai dengan tujuan penciptaan – dan keunikan manusia sebagai makhluk Allah yang telah ditinggi-Nya beberapa derajat dari makhluk-makhluk lain. Hal ini disebabkan karena disamping memiliki kelebihan dan keistimewaan, manusia juga memiliki sifat keterbatasan, tergesa-gesa, resah dan gelisah, serta lain sebagainya.[36] Oleh karena itu, agar manusia hidup sesuai dengan nilai dan tuntunan Ilahi, maka manusia dituntut untuk menggunakan akal dan potensi pisik serta psikis yang secara optimal dengan tetap berpedoman pada ajaran-Nya.[37]
Dari pemaknaan hakikat manusia dalam konsep kata Insan, terlihat sesungguhnya manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan negatif. Agar manusia bisa selamat memfungsikan tugas dan kedudukannya di muka bumi dengan baik, maka manusia harus senantiasa mengarahkan seluruh aktivitasnya, baik fisik maupun, terutama psikis sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
3.             Konsep Bani Adam
Secara terminologi, kata bani Adam bermakna generasi keturunan Adam. Kata Bani Adam yang dalam bentuk masdarnya adalah al-bina yang berarti bangunan. Sedangkan kata Adam merujuk pada nabi Adam yang merupakan manusia pertama yang diciptakan Allah Swt. Karena itu secara umum terma bani Adam bisa dimaknai secara generasi yang dibangun, diturunkan atau dikembangbiakkan dari Adam dan sama-sama memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang universal.[38]
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Quran. Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan.[39] Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo,[40] bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah Swt jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi , 7000 tahun yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia”, jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan. Dalam surat al Ankabuut ayat 19 dijelaskan sebagai berikut:
öNs9urr& (#÷rttƒ y#øŸ2 äÏö7ムª!$# t,ù=yø9$# ¢OèO ÿ¼çnßÏèム4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇÊÒÈ  
Artinya; “dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk dimengerti oleh yang tidak percaya .
Dan jika dicermati dan dipahami, banyak ayat-ayat al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah Swt untuk menjadi khalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah Swt. kepada mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum   Adam AS diciptakan. Oleh sebab itu Allah Swt. selalu menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS) diciptakan dalam kesempurnaan-nya”.[41]
Menurut al-Thabathaba’I, penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, sebagai berikut:[42]
a.              Anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah Swt, seperti berpakaian guna menutup auratnya.
b.             Mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu syaitan yang mengajak pada keingkaran.
c.              Memanfatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya. Semua itu merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah Swt., dalam rangka memuliakan keturunan Adam di banding makhluk-Nya yang lain.
Dapat dipahami bahwa pemaknaan kata hakikat manusia dalam konteks bani Adam, lebih ditekankan pada aspek amaliah manusia, sekaligus pemberi arah kemana dan dalam bentuk apa aktivitas itu dilakukan. Pada dirinya diberikan kebebasan untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam kehidupannya untuk memanfaatkan semua fasilitas yang ada di ala mini secara maksimal. Allah Swt memberikan garis pembatas kepada manusia dengan dua alternatif, kemuliaan atau kesesatan. Disini terlihat demikian kasih dan demokratisnya Allah Swt. terhadap makhluknya (manusia). Hukum kausalitas tersebut memungkinkan Allah Swt. untuk meminta pertanggung jawaban pada manusia atas semua aktivitas yang dilakukan.
Dari penjelasan ketiga konsep diatas, banyak para ahli mendefenisikan makna hakikat manusia seperti:  pandangan Hamka tentang manusia adalah terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani. Sebagaimana ia katakan “tubuh kasarnya ditempa daripada tanah liat. Dan demi setelah selesai penempaan tubuh, dihembuskanlah kepadanya nyawa, sehinggapun ia pun hidup”. Tubuh manusia diciptakan oleh Allah dari tanah, dapat diperhalus kejadian manusia itu dari api, angin, air dan tanah (dari pertemuan hydrogen, oksigen dan nitrogen atau bergabungnya 92 anasir atau dapat dikatakan kejadian manusia itu dari atom, pertemuan netron, electron, proton dan lain-lain). Hamka menegaskan, meski manusia tersusun dari jasmani dan ruhani, tetapi yang esensial adalah ruhani, sebab ia berasal dari alam ketuhanan, sebagai percikan cahaya ilahi.[43]
Raghib al-Isfahani mengemukakan, sebagaimana yang dikutip oleh Muhmidayeli bahwa  manusia itu tersusun dari:
1.             Unsur bahimah
Unsur bahimah merupakan syahwat badani yang biasanya terlihat dari akivitas-aktivitas seperti makan, minum dan sebagainya. Manusia dalam kondisi inilah akan seperti binatang apabila eksistensinya benar-benar telah menguasai diri manusia. Dalam kondisi ini manusia akan sanggup berbuat segala sesuatu yang tidak berguna dan bahkan kejahatan-kejahatan yang akan merusak dirinya, orang lain, dan alam jagad raya.


2.             Unsur malakiyan
Unsur malakiyan adalah potensi ruhaniyah seperti hikma ‘adala, juud, hilm. ‘ilm, naatiq dan fahm. Dengan mengembangkan potensi ini secara maksimal dapat menjadikan dirinya baik, bahkan memungkinkan dirinya berjiwa seperti malaikat yang senantiasa tunduk dan menjalankan nilai-nilai kebaikan secara penuh tanpa ada lagi pemikiran yang panjang. Potensi-potensi inilah yang menggerakkan manusia untuk selalu berbuat baik untuk dirinya, masyarakat dan alam semesta.[44]
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa manusia merupakan kombinasi dua subtansi yang secara diametrik bertentangan baik esensi, kualitas maupun di segi fungsinya, yakni jiwa dan raga. Jiwa adalah subtansi spiritual, murni simpel, tidak dapat dilihat dan bersifat abadi, sedangkan raga adalah subtansi material yang bersifat sementara. Ibn Miskawaih menegaskan bahwa hakikat manusia yang sesungguhnya berada dalam jiwa, namun tubuh dalam hal ini dapat mempengaruhi jiwa dalam meraih kesempurnaanya. Eksistensi tubuh juga diperlukan manusia dalam meraih kemanusiaan, karena fungsinya yang dapat mempermudah kerja jiwa menuju penyempurnaanya.
Dari uraian pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia yang sesungguhnya tampaknya adalah ruh, sebab ruh sifatnya abadi, sementara jasad sifatnya sementara. Jiwa atau ruh manusia tidak akan hilang dengan matinya manusia dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang tugas kewajiban hidup yang telah dilakukan.
Manusia berbeda dengan makhluk lainnya degan akalnya. Dengan akalnya menjadikan manusia sebagai manusia. Dengan akal pulalah manusia dapat menentukan segala sesuatu dengan dirinya, termasuk untuk menyempurnakan dirinya sampai pada tingkat yang paling mulia.[45]
Akal pemberian tuhan itu yang kemudian menjadikan manusia mempunyai kecerdasan dan kemampuan untuk menilai dan mempertimbangkan dalam pelaksanaan perbuatan manusia sehari-hari.
Akal menurut Hamka dapat mengetahui hakikat sesuatu, sebagaimana ia katakana bahwa akal membawa orang kepada hakikat, menjauhkan diri dari yang bathil, tunduk kepada hokum, menerima perintah dan menjauhi larangan. Tampak olehnya yang baik lalu ia ikuti, jika ia melihat yang buruk maka ia jauhi.[46] Sementara hati dalam hal ini adalah unsur jiwa manusia yang berfungsi untuk memberikan pengukuhan dan istiqamah terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang telah ditemukan oleh akal.[47]
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa diri manusia terdiri dari jasmani dan ruh. Ruh ini memiliki dimensi yakni dimensi akal dan hati. Kedua dimensi ini selalu mengajak manusia melaksanakan kebaikan dan kebajikan dan mempertimbangkan keinginan-keinginan hawa nafsu. Serta dapat menjalankan fungsi dan tugas manusia di dunia ini, seperti manusia sebagai hamba Allah Swt.,[48] manusia sebagai khalifah di bumi,[49] dan Immarah fi al-ardhi.[50]







BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.             Hakikat Manusia dalam Persepektif Psikologi
a.              Psikoanalisa
b.             Behaviorisme
c.              Humanistik
d.             Transpersonal
2.             Hakikat Manusia dalam Persfektif Pendidikan
a.              Emprisme
b.             Nativisme
c.              Naturalisme
d.             Konvergensi
3.             Hakikat Manusia Pandangan Aliran Filsafat Barat
a.              Aliran serba zat
b.             Aliran serba ruh
c.              Aliran dualisme
d.             Aliran eksistensialisme
4.             Hakikat Manusia Dalam Konsep Islam
Diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur ketuhanan, karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan ruh dari Allah Swt. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut, berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya, manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata. Di samping itu, manusia sebagai khalifah Allah, juga merealisir fungsi ketuhanan, sehingga manusia adalah berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia itu berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan. Secara terminologi, ungkapan al-Quran untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: al-insan, al-basyar, dan bani adam /anak adam/keturunan adam.
B.       Saran Penulis
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini dapat menggambarkan tentang sekilas Hakikat Manusia. Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam isi makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan masukan, kritikan, saran atau yang lainnya untuk menyempurnakan isi makalah ini.





[1] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan ( Bandung : Refika Aditama, 2013), hal. 43
[2] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 50
[3] Ibid.,
[4] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 174
[5] Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 66
[6] Hanna Djumhana Bastaman, Op.Cit., hal. 51-52
[7] Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 41
[8] Hanna Djumhana Bastaman, Op.Cit., hal. 53-54
[9] Moh. Suardi, Pengantar Pendidikan ; Teori dan Aplikasi (Jakarta: Indeks, 2012), hal. 12
[10] Umar Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 194
[11] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Rosdakarya, 2003), hal. 59
[12] Abdul Latif, Op.Cit.,  hal. 38
[13] Ngalim Purwanto, Op.Cit., hal. 60
[14] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Yogyakarta: Safinia Insania Press, 2005), hal. 32
[15] Umar Tirtahardja, Op.Cit., hal. 198
[16] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 71
[17] Sidi Gazalba, Sistimatika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 393
[18] Zuhairini, Op.Cit., hal. 72
[19] Sidi Gazalba, Op.Cit., hal. 288
[20] Zuhairini, dkk, Op.Cit., hal. 73
[21] Ibid., hal. 74
[22] Substansi yang dimaksud adalah unsur asal sesuatu yang ada. Lihat Zuhairini, dkk, Ibid., hal. 75
[23] Q.S. Al-Mukminun : 12-14
[24] HR Bukhari
[25] Ayat yang menjelaskan tentang ruh:
¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B šcrãà6ô±n@ ÇÒÈ  
Artinya: kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajadah : 9)
[26] Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5
[27] Ramayulis, Op.Cit., hal. 5
[28] Q.S, al-Kahfi : 110
[29] Al Rasyidin, falsafah Pendidikan Islam ( Bandung : Cita Pustaka Media Printis, 2012), hal. 15
[30] Ramayulis, Op.Cit., hal. 5
[31] Muhmidayeli, Op.Cit., hal. 50
[32] Q.S, Al-Hujurat: 13
[33] Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit., hal. 54
[34] Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 14
[35]  Muhmidayeli, Op.Cit., hal 46
[36] Lihat penjelasan dalam Q.S. Al-Israa’: 11, Al-Ahzab:37 dan 72, Al-Kahfi: 54, Yasin:77, Al-Ma’arij: 19-21
[37] Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit., hal.53
[38] Al Rasyidin, Op.Cit., hal. 15
[39] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001),  hal 19
[40]  http://www.macsonic.org. di akses pada tanggal  04 Mei 2015
[41] Lihat Q.S, Al-Baqarah [2] ayat 30-34
[42] Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit., hal. 55
[43] Abd. Haris, Etika Hamka; Kontruksi Etik Berbsis Rasional Religius (Yogyakarta: LKiS, 2012), hal. 74
[44] Muhmidayeli, Op.Cit., hal. 52
[45] Ibid., hal. 55
[46] Abd. Haris, Op.Cit., hal. 80
[47] Muhmidayeli, Op.Cit., hal. 58
[48] Penegasan ayat tentang tujuan manusia sebagai hamba Allah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Lihat Q.S, Al-Dzariyat:56.
[49] Penegasan ayat tentang tujuan manusia sebagai hamba Allah.
uqèd Ï%©!$# ö/ä3n=yèy_ y#Í´¯»n=yz Îû ÇÚöF{$# 4 `yJsù txÿx. Ïmøn=yèsù ¼çnãøÿä. ( Ÿwur ߃Ìtƒ tûï͍Ïÿ»s3ø9$# öNèdãøÿä. yZÏã öNÍkÍh5u žwÎ) $\Fø)tB ( Ÿwur ߃Ìtƒ tûï͍Ïÿ»s3ø9$# óOèdãøÿä. žwÎ) #Y$|¡yz ÇÌÒÈ  
Artinya: Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. Lihat Q.S, Fathir: 39.
[50] Immarah fi al-ardhi lebih berkonotasi pada pengemabangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia, tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat. Lebih Lanjut lihat penjelasan Muhmidayeli, Op.Cit., hal. 62. Dan dapat dlihat pula penjelasan Amril Mansur, Etika Islam;Telaah Pemikiran Filsafat Moral Ragib Al-Isfahani (Pekanbaru: LSFK2P, 2002), hal. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar