BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemikiran tentang hakikat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman
modern sekarang ini juga belum berakhir dan tidak akan berakhir. Berbedanya
pandangan disebabkan karena berbedanya melihat manusia dari sisi pandang.
Begitu juga unruk mencari hakikat manusia secara komprenhensif adalah suatu hal
yang sangat sulit.
Muhmidayeli mengungkapkan bahwa persolalan manusia memang merupakan
masalah yang selalu ada bagi setiap manusia yang sadar sepanjang sejarah
kehidupannya, namun pemahaman yang sesungguhnya tidak akan ditemukan jika
manusia itu tidak ditempatkan sebagai suatu realitas.[1]
Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang
bersifat universal. Pertama, Persoalan menyangkut tata hubungan atar
dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa
manusia juga merupakan makhluk yang bersifat dependen.
Kedua, Persoalaan
menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani
yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan
akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya. Tetapi juga
sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, menstrandensikan
kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya
mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah.
Dan ketiga, manusia menghadapi persolan yang menyangkut
kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi,
kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan bahwa manusia tidak
dapat hidup secara “soliter” melainkan harus “solider” , hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa
kehadiran orang lain. Oleh karena itu, mengingat latar belakang masalah diatas
penulis mencoba mengulas kembali bagaimana sebenarnya hakikat Manusia jika
dipandang dari berbagai sudut pandang yang berjudul Hakikat Manusia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah pemakalah kemukakan di atas, maka ada
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana hakikat manusia
dalam persepektif psikologi?
2.
Bagaimana hakikat manusia
dalam persfektif pendidikan?
3.
Bagaimana hakikat manusia
pandangan aliran filsafat?
4.
Bagaimana hakikat manusia
dalam konsep Islam?
C.
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui hakikat
manusia dalam persepektif psikologi
2.
Untuk mengetahui hakikat manusia dalam persfektif pendidikan
3.
Untuk mengetahui hakikat
manusia pandangan aliran filsafat barat
4.
Untuk mengetahui hakikat
manusia dalam konsep Islam
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab ini,
sebelum mengkaji hakikat manusia dalam persepektif islam, adakalanya penulis
membahas sekilas tentang hakikat manusia dalam pesepektif Psikologi, Pendidikan
dan Pandangan aliran filsafat sebagai penambahan wawasan dan pengetahuan, serta
menjadi pertimbangan renungan bagi kita semua.
A.
Hakikat Manusia
dalam Persepektif Psikologi
Pada bagian ini akan diungkapkan
tentang aliran-aliran disiplin psikologi yang menjelaskan tentang hakikat
manusia:
1.
Psikoanalisa
Aliran ini bertolak dari asumsi bahwa manusia terdiri dari
tiga system yaitu: Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap
realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif).
Ketiga
komponen ini berinterkasi satu sama lain dan menjalankan fungsi dengan
mekanismenya masing-masing. Selain ketiga system ini manusia pun memiliki tiga
starata kesadaran yaitu: Alam sadar, Alam pra sadar (bawah sadar), dan Alam
tidak sadar.
Id
adalah sekumpulan potensi yang dibawa sejak lahir, insting-insting dan nafsu
primer, sumber energi psikis yang member daya kepada ego dan superego untuk
menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan prinsip kenikmatan, id mendorong manusia
kepada pemenuhan kenikmatan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.
Letak id yang berkarakter demikian berada dialam tidak sadar.[2]
Smentara
itu, keberadaan ego adalah membantu id mengadakan kontak dengan realitas.
Dengan prinsip realitas ini ego befungsi merealisasikan kebutuhan-kebutuhan id
dengan jalan memilih untuk pemuasan kenikmatan yang benar-benar ada dan
tersedia dan caranya pun dapat diterima dan sesuai dengan norma-norma yang
berlaku. Ego bertempat dalam alam sadar, tapi sebagian dalam alam prasadar
(bawah sadar) sebagai unsur-unsur laten yang sewaktu-waktu dapat diingat
kembali.[3]
Berbeda
dengan id yang bekerja atas prinsip kenikmatan dan ego yang berprinsip
realitas. Superego menuntut kesempurnaan dan idealitas perilaku dengan ketaatan
terhadap norma-norma lingkungan sebagai tolok ukurnya. Kendati dikatakan bahwa
superego bekerja dengan prinsip idealitas, namun seperti halnya id, superego
juga bersifat irrasional, semua yang dituntut harus dipenuhi dengan secara
sempurna.[4]
Dapat
dipahami, dengan penjelasan kedua pendapat diatas, bahwa Psikoanalisis (klasik)
memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tidak sadar dan
dorongan-dorongan biologis (nafsu-nafsu) yang selalu menuntut kenikmatan untuk
segera dipenuhi. Dengan demikian psikoanalisis menganggap bahwa tabiat manusia
adalah buruk, liar kejam, kelam, non-etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat
pada kenikmatan jasmani.
2.
Behaviorisme
Aliran ini beranggapan bahwa
manusia tidak memiliki pembawaan (bakat alamiah) apapun. Manusia akan
berkembang sesuai dengan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan. Lingkungan
yang baik akan menghasilkan manusia yang baik dan juga sebaliknya.[5]
Aliran ini mengembangkan proses
perubahan perilaku dengan asas-asas sebagai berikut:
a.
Classical conditioning (pembiasaan
klasik)
Classical conditioning adalah
suatu rangsang (netral) akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang
itu sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah
menimbulkan pola reaksi tersebut. Misalnya bel yang selalu dibunyikan
mendahului pemberian makan anjing lama kelamaan akan menimbulkan air liur
anjing itu sekalipun makanan tidak diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku
terjadi karena adanya prinsip asosiasi.
b.
Law of effect (hokum
akibat)
Law of effect adalah perilaku
yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan si pelaku cenderung akan
diulangi, sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak
memuaskan atau merugikan cenderung akan dihentikan.
c.
Operant conditioning (pembiasaan
operan)
Operant conditioning adalah
suatu pola perilaku akan menjadi mantap apabila dengan perilaku itu berhasil
diperoleh hal-hal yang dinginkan oleh si pelaku (penguat positif) atau
hilangnya hal-hal yang tidak dinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu
pola perilaku tertentu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak menyenangkan
(hukuman) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku
(penghapusan).
d.
Modelling (peneladanan)
Modelling adalah dalam kehidupan
social perubahan perilaku terjadi karena proses dan peneladanan terhadap
prilaku orang lain yang disenangi atau dikagumi.[6]
Dari
paparan keempat asas perubahan perilaku diatas dapat disimpulkan bahwa semuanya
berkaitan dengan proses belajar, yakni perubahan perilaku tertentu menjadi
menjadi perilaku baru. Perubahan ini selalu melibatkan unsur-unsur kognisi
(pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kehendak) dan aksi (tindakan).
3.
Humanistik
Menurut aliran ini manusia pada
dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik. Kualitas-kualitas insane tersebut
adalah sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang secara alamiah melekat
pada eksistensi manusia. Seperti kemampuan abstraksi daya analisis dan
sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab,
aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dan
estetika. Manusia adalah makhluk sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat
menentukan segalanya, sehingga dijuluki the self determining being, makhluk
yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Terdapat sebuah corak
pandangan psikologi yang sering dikelompokkan ke dalam psikologi humanistik,
yakni Logoterapi menemukan adanya dimensi lain pada diri manusia di samping
dimensi raga (somatis) dan dimensi kejiwaan (psikis), yaitu dimensi neotik atau
sering juga disebut dengan dimensi keruhanian (spiritual).[7]
4.
Transpersonal
Transpersonal merupakan
pengembangan dari aliran humanistik. Psikologi Transpersonal menitikberatkan
pada dua unsur penting manusia yakni, potensi-potensi luhur (the highest
potential) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia.
Fenomena kesadaran yang dimaksudkan disini adalah pengalaman seseorang yang
melewati batas-batas kesadaran biasa, misalnya saja pengalaman alih dimensi,
memasuki alam kebathinan, kesatuan mistik, komunikasi bathiniah, pengalaman
meditasi dan sebagainya.
Demikian pula mengenai
potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti Altered
States of Conciousness (ASOC), Extra Sensory Perception (ESP), transesdensi
diri, keruhanian, potensi luhur dan paripurna, dimensi diatas alam kesadaran,
pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya bathin,
pengalaman spiritual, praktik-praktik keagamaan di kawasan timur dan berbagai
belahan bumi lainnya.[8]
Dari paparan diatas dapat
disimpulkan, walau antara humanistik dan transpersonal memiliki persamaan hanya
saja perbedaan Nampak jelas, yakni psikologi humanistik lebih memanfaatkan
potensi-potensi ini peningkatan hubungan antara manusia, sedangkan psikologi
transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transedental,
serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini.
B.
Hakikat Manusia
dalam Persfektif Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan pembelajaran
secara terus menerus, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat nilai
kebenaran yang baik dan yang universal-abstrak, teoritis, maupun praktis.
Dengan kemampuan yang benar, manusia berusaha menjaga dan mengembangkan
kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan pengetahuannya ke dalam
prilaku sehari-hari. Dengan diamalkan, pengetahuan berubah menjadi perilaku,
peilaku berubah menjadi moral dan kemudian menjadi etika kehidupan.[9]
Dalam persepektif pendidikan yang
dimaksudkan disini adalah hubungan manusia dilihat dari potensi dirinya sebagai
factor internal dengan pendidikan sebagai factor eksternal yang akan menentukan
proses jalan kehidupannya. Dan pada bagian ini akan di ungkapkan tentang aliran
– aliran yang menjelaskan tentang hakikat manusia dalam kaitannya dengan
pendidikan, sebagai berikut:
1.
Emprisme
Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan potensi dasar anak tergantung pada lingkungannya, sedangkan
pembawaan tidak dianggap penting.[10]
Teori ini dikembangkan dari pernyataan Jonh Locke (1704-1932) bahwa seorang
anak lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih. Implikasinya, lingkungan
yang dalam hal ini bisa berbentuk keluarga, sekolah atau masyarakat akan
menentukan pola-pola mengenai cara pandang tertentu yang ditransfer melalui
pendidikan. Dengan demikian pendidikan akan berperan menentukan pilihan-pilihan
hidup yang dijalaninya. Untuk itu Ngalim purwanto menyebutnya optimisme
pedagogis,[11]
yakni pendidikan berpeluang mengembangkan kedirian manusia.
2.
Nativisme
Schopenhauer (1788-1860)
menyatakan bahwa bayi lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk.
Dengan demikian, keberhasilan disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal
dari dalam diri sendiri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras dalam dalam
mengembangkan bakat atau kemampuan yang ada dalam dirinya.[12]
Implikasinya, factor eksternal diri manusia yang meliputi lingkungan keluarga,
sekolah atau masyarakat tidak akan memiliki peran menetukan dalam menentukan
karakter manusia. Dengan demikian, proses transmisi pengetahuan (pendidikan)
tidak terjadi antara manusia dengan lingkungannya. Sebab manusia hanya akan
sebatas menunggu potensi-potensinya menjadi kenyataan dalam menjadi kehidupan.
Ngallim Purwanto menyebut aliran ini sebagai pesimisme pedagogis,[13]
yakni pendidikan tidak berpeluang untuk mengembangkan kedirian manusia.
3.
Naturalisme
Teori ini dikembangkan oleh JJ.
Rosseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa semua anak yang baaru dilahirkan
mempunyai pembawaan baik. Pembawaan baik anak akan menjadi rusak karena
dipengaruhi lingkungan. Pandangan ini menekankan bahwa perkembangan potensi
anak harus secara alami, artinya tanpa ada rekayasa dan rekadaya dari luar
dalam perkembangan potensi anak. Karena itu pendidikan harus memberikan kebebasan secara alami kepada anak
didik dalam menentukan perkembangan dirinya, sehingga anak tetap berada dalam
pembawaannya.[14]
Pada dasarnya, aliran ini sejalan dengan emprisme dalam hal bahwa pendidikan
memiliki peran penting pada diri manusia. Hanya saja perbedaannya terletak pada
anggapan bahwa manusia itu berpotensi baik dan ketika aktualisasinya buruk maka
itu tidak lebih karena disebabkan oleh factor pengaruh lingkungan (pendidikan).
4.
Konvergensi
Teori ini dikembangkan oleh
William Stern (1871-1939) yang menyatakan bahwa anak dilahirkan di dunia sudah
disertai pembawaan baik maupun buruk, dan dalam proses perkembangannya factor
pembawaan dan factor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat penting.[15]
Dengan kata lain, ketika
pendidikan yang baik telah diperoleh seseorang dan efektif, maka ini berarti
antara factor internal dan eksternal saling memperkuat satu sama lain. Dan
sebaliknya, ketika pendidikan yang baik telah diperoleh seseorang dan ternyata tidak
efektif maka nampaknya pembawaan buruk lebih domonan. Namun demikian bukan
pendidikan yang menjadi satu-satunya penyebab rusaknya potensi baik seperti
yang dinyatakan aliran naturalisme.
C.
Hakikat Manusia
Pandangan Aliran Filsafat Barat
Berbicara mengenai apa manusia
itu, ada 4 (empat) aliran yang akan dipaparkan oleh pemakalah dalam makalah
ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Aliran serba zat
Aliran serba zat mengatakan bahwa
yang sungguh-sungguh ada itu adalah hanyalah zat atau materi. Zat atau materi
itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah
unsur dari alam. Maka dari itu hakikat dari manusia itu adalah zat atau materi.[16]
Manusia sebagai makhluk materi,
maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu
bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya ke
dunia sebagai manusia. Adapun yang disebut dengan ruh atau jiwa pikiran, perasaan
(tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan dan
sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh). Oleh karena itu manusia
sebagai materi maka keperluan-keperluannya juga bersifat materi, ia mendapatkan
kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi, maka terbentuklah
suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di
dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang
bersifat duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap
sebagai khayalan belaka.[17]
2.
Aliran serba ruh
Aliran serba ruh berpendapat bahwa
segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh. Juga hakikat manusia
adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini.[18]
Ruh adalah sesuatu yang tidak
menempati ruang, sehingga tak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indera.
Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama dengan jiwa, sukma,
nyawa, semangat dan sebagainya. Fichte berkata sebagaimana yang dikutip oleh
Sidi Gazalba bahwa segala segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang
rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perupaan, perubahan atau penjelmaan
dari pada ruh.[19]
Dari paparan diatas penulis
memahami serta penjelasan Zuhairini, dkk yang ada dalam bukunya bahwa dasar
pikiran dari aliran ini ialah ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya
daripada materi. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya seorang wanita atau pria yang kita cintai, kita tidak mau
pisah dengannya. Tetapi kalau ruh dari wanita atau pria yang kita cintai tidak
ada pada badannya, berarti dia meninggal dunia, maka mau tidak mau kita harus
melepaskannya untuk dikubur. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, kebagusan yang
dimiliki oleh wanita atau pria tadi tidak aka nada artinya tanpa ruh. Meskipun
badannya masih utuh, lengkap anggota badannya tetapi kita mengatakan “dia sudah
tidak ada, dia sudah pergi, dia sudah mengahadap Tuhannya. Dengan demikian
aliran ini menganggap bahwa ruh itu ialah hakikat sedang badan adalah
penjelmaan atau bayangan saja.
3.
Aliran dualisme
Aliran dualisme mencoba untuk
mengawinkan kedua aliran diatas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada
hakikatnya terdiri dari dua subtansi yaitu jasmani dan ruhani. Kedua subtansi
ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama
lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari
badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang
keduanya berintegrasi membentuk yang disebut Manusia. Antara badan dan ruh
terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya
saling berpengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi disatu pihak akan
mempengaruhi di pihak yang lain. Sebagai contoh, orang cacat jasmaninya akan
berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya orang yang jiwanya cacat atau
kacau akan berpengaruh pada pisiknya.[20]
4.
Aliran eksistensialisme
Aliran eksistensialisme adalah
aliran filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakikat
manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia
itu. Mereka mencari inti hakikat manusia yaitu apa yang menguasai manusia secara
menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia tidak dari sudut serba
zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari
segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri
di dunia ini.[21]
D.
Hakikat Manusia
Dalam Konsep Islam
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah
manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh
masing-masing merupakan subtansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung
adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua-duanya adalah
subtansi alam.[22]
Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh
Allah Swt. Berikut penulis akan menguraikan ayat dan hadis yang membicarakan
tentang proses kejadian manusia. Firman Allah dalam al-Quran yang berbunyi:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
Artinya: (12) Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (13) kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). (14). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian
Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik.[23]
Kemudian
Nabi Muhammad Saw., mengulas ayat suci diatas dengan sabdanya:
3036 - حدثنا الحسن بن الربيع حدثنا أبو
الأحوص عن الأعمش عن زيد بن وهب قال عبد الله
: حدثنا رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو الصادق المصدوق قال ( إن أحدكم
يجمع في بطن أمه أربعين يوما ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يبعث
الله ملكا فيؤمر بأربع كلمات ويقال له اكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أم سعيد ثم ينفخ
فيه الروح.[24]
Artinya:
Bahwasanya seseorang kamu dihimpunkan kejadiannya di dalam perut ibu selama 40
hari, kemudian merupakan alaqah (segumpal darah) seumpama demikian (selama 40
hari), kemudian merupakan segumpal daging seumpama demikian 40 hari. Kemudian
Allah mengutus Malaikat, maka diperintahkan kepadanya empat perkataan dan
dikatakan kepada engkau tuliskanlah amalannya, dan rezkinya dan ajalnya, dan
celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkanlah kapada makhluk itu ruh.
Dari al-Quran dan Hadis diatas, jelaslah bahwa
proses perkembangan dan pertumbuhan fisik manusia, tidak ada bedanya dengan
proses perkembangan dan pertumbuhan pada hewan. Semuanya berproses pada hukum-hukum
alam yang material. Hanya pada kejadian manusia, sebelum makhluk yang disebut
manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya, Allah Swt meniupkan ruh ciptaan-Nya
kedalam tubuh manusia.[25]
Ruh yang berasal dari Allah itulah yang menjadi hakikat manusia. Inilah yang
membedakan manusia dengan hewan, karena Allah tidak meniupkan ruh pada hewan.
Dapat dipahami bahwa dalam diri manusia, pada hakikatnya terdapat
sifat dan unsur-unsur ketuhanan, karena dalam proses kejadiannya kepada manusia
telah ditiupkan ruh dari Allah Swt. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri
manusia tersebut, berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses
kehidupannya, manusia merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan
perbuatan nyata. Di samping itu, manusia sebagai khalifah Allah, juga
merealisir fungsi ketuhanan, sehingga manusia adalah berfungsi kreatif,
mengembangkan diri dan memelihara diri dari kehancuran. Dengan demikian hidup
dan kehidupan manusia itu berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan.
Secara terminologi, ungkapan
al-Quran untuk menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: al-insan,
al-basyar, dan bani adam /anak
adam/keturunan adam Menurut M. Dawam Raharjo istilah manusia yang diungkapkan
dalam al -Qur’an seperti “basyar, insan” semuanya mengandung petunjuk
sebagai manusia dalam hakikatnya.[26]
1.
Kosep al-Basyar
Secara etimologi al-Basyar
juga diartikan mulamasah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang
memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks,
keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan
Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para
rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada
manusia umumnya tidak diberikan.[27]
Firman Allah Swt. dalam Surat al-Kahfi sebagai
berikut:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Artinya:“Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya."[28]
Dalam buku Al Rasyidin, Kata al-Basyar
dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 36 kali dan 25 diantaranya menjelaskan
kemanusiaan para nabi dan rasul. Manusia disebut al-Basyar karena memang
kulitnya tampak jelas dilihat dan tidak ditutupi bulu tebal seperti hewan.
Karenaya, kata al-Basyar selalu dihadirkan al-Quran dalam arti fisik
biologis manusia yang tampak jelas.[29]
Hal tersebut dapat dilihat dari dari berbagai ungkapan al-Quran mengenai al
Basyar yang konteksnya selalu merujuk pada manusia sebagai makhluk
biologis.
Dapat dipahami bahwa manusia
memiliki ketergantungan yang sama dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan terhadap
alam, seperti makan, minum dan lain sebagainya. Dengan demikian penggunaan
kata al Basyar pada manusia hanya
menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah Swt lainnya pada aspk material atau
dimensi alamiyahnya saja.
Selanjutnya al-Ghazali sebagaimana
yang dikutip oleh Ramayulis bahwa manusia merupakan ciptaan Allah Swt yang
terdiri atas dan unsur jasmani dan rohani. Namun jika manusia ingin hidup
sesuai dengan fitrahnya, sehingga akan membedakan dirinya dengan makhluk Allah
lainnya, maka hendaklah ia mempergunakan unsur pisikisnya secara dominan. Jika
tidak, manusia akan kehilangan esensinya sebagai manusia.[30]
Selanjutnya, Muhmidayeli menjelaskan
bahwa manusia dalam bentuk fisik memiliki proses perkembangan yang sama dengan
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menurut ketentuan hukum natural bersifat
terbatas pada ruang dan waktu. Berarti manusia dalam konteks ini adalah makhluk
yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang tergantung pada proses alamiah
yang sesuai dengan peredaran waktunya.[31]
Dapat disimpulkan dari penjelasan
diatas bahwa hakikat manusia dalam konsep al-Basyar adalah seluruh
manusiaakan mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk
memenuhi semua kebutuhan biologisnya memerlukan ruang waktu serta tunduk terhadap
hukum alamiyahnya. Untuk itu Allah Swt. Memberikan kebebasan dan kekuatan
kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untu
mengelila dan memanfaatkan alam semesta sebagai salah satu tugas
kekhalifahannya di muka bumi.
2.
Konsep al-Nas,
Uns dan Insan
Menurut Aisyah Abdurrahman, dalam Al
Quran al-Nas, Ins dan al-Insan tidak pernah diungkapkan untuk
arti manusia secara fisik. Kata al-Nas yang disebutkan sebanyak 240 kali
adalah sebagai nama jenis untuk keturunan Adam, yaitu satu spesies di alam
semesta. Contoh untuk hal ini firman Allah Swt:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: Hai
manusia (al-Nas), Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[32]
Kata al-nas menunjukkan pada
eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat
status keimanan dan kekafirannya.[33] Hal ini
dapat dipahami bahwa manusia memiliki potensi dalam beradaptasi dan menyesuikan
dengan lingkungannya atau dapat dikatakan bahwa manusia ingin berkelompok dan
bermasyrakat dengan manusia lainnya.
Adapun kata al-Ins dan al-Insan,
keduanya memiliki intensi makna yang serumpun karena berasal dari akar kata
yang sama, yakni anasa yang menunjukkan arti lawan dari kebuasan. Kata al-Insan,
nilai kemanusiaanya tidak hanya terbatas
pada kenyataan spesifik manusia untuk tumbuh menjadi al-Ins, tetapi juga
sampai pada tingkat yang membuatnya pantas untuk menjadi khalifah di bumi,
menerima beban aktif dan amanah kemanusiaan. Karena al-Ins dibekali
dengan al-Ilm, al-Bayan al-Aql dan al-Tamyiz, maka dia harus
berhadapan dengan ujian kebaikan dan kejahatan, ilusi tentang kekuatan dan
kemampuannya, serta optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling
tinggi spesies lain yang ada di alam ini.[34]
Menurut Muhmidayeli, kata Insan,
al-Uns, al-Ins dan Anisa, yang berasal dari kata Anasa berarti
melihat, mengetahui dan minta izin. Kata Insan kalau dikaitkan dengan
aspek utama kemanusiaan yaitu kemampuan penalaran yang dengannya manusia mampu
mengamati, mencermati, menangkap, mengidentifikasi, mengelompokkan dan
menganalisis berbagai kasus dan kondisi dalam berbagai realitas yang
dihadapinya dengan cara membuat hubungan antara fakta dan infomasi dalam
berbagai realitas yang ada menuju pengambilan suatu kesimpulan dan atau
keputusan yang akan menjadi pelajaran atau hikmah yang berguna bagi kehidupannya.[35]
Sebagai makhluk yang memiliki daya
nalar, menjadikam manusia mampu melihat dan membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, apa-apa yang benar dan apa-apa yang salah dan dengannya dapat
membuat keputusan-keputusan yang berharga untuk dirinya dalam rangka
pengembangan kemanusiaannya. Karakteristek pokok manusia dalam hal ini tidak
lain adalaj kemampuannya dalam membaca, mendeskripsikan, mempelajari,
memetakan, menelaah, memilah-milah dan menganalisis berbagai realitas yang ada
sehingga ia pun dapat menemukan berbagai pengetahuan yang akan berguna bagi
dirinya dalam menjalankan kehidupannya di dunia dan di akhirat.
Pendapat lain tentang Insan mengandung
makna kesempurnaan – sesuai dengan tujuan penciptaan – dan keunikan manusia
sebagai makhluk Allah yang telah ditinggi-Nya beberapa derajat dari
makhluk-makhluk lain. Hal ini disebabkan karena disamping memiliki kelebihan
dan keistimewaan, manusia juga memiliki sifat keterbatasan, tergesa-gesa, resah
dan gelisah, serta lain sebagainya.[36] Oleh
karena itu, agar manusia hidup sesuai dengan nilai dan tuntunan Ilahi, maka
manusia dituntut untuk menggunakan akal dan potensi pisik serta psikis yang
secara optimal dengan tetap berpedoman pada ajaran-Nya.[37]
Dari pemaknaan hakikat manusia dalam
konsep kata Insan, terlihat sesungguhnya manusia merupakan makhluk Allah
yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan negatif. Agar
manusia bisa selamat memfungsikan tugas dan kedudukannya di muka bumi dengan
baik, maka manusia harus senantiasa mengarahkan seluruh aktivitasnya, baik
fisik maupun, terutama psikis sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
3.
Konsep Bani Adam
Secara terminologi, kata bani
Adam bermakna generasi keturunan Adam. Kata Bani Adam yang dalam bentuk
masdarnya adalah al-bina yang berarti bangunan. Sedangkan kata Adam merujuk
pada nabi Adam yang merupakan manusia pertama yang diciptakan Allah Swt. Karena
itu secara umum terma bani Adam bisa dimaknai secara generasi yang
dibangun, diturunkan atau dikembangbiakkan dari Adam dan sama-sama memiliki
harkat dan martabat kemanusiaan yang universal.[38]
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub
di tujuh tempat dalam Al-Quran. Menurut a- Gharib al- Ishfahany, bani berarti
keturunan dari darah daging yang dilahirkan.[39]
Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo,[40]
bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah Swt jutaan tahun sebelum Nabi
Adam AS diturunkan dibumi , 7000 tahun yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT
sudah menciptakan “manusia”, jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan. Dalam surat al
Ankabuut ayat 19 dijelaskan sebagai berikut:
öNs9urr& (#÷rtt y#ø2 äÏö7ã ª!$# t,ù=yø9$# ¢OèO ÿ¼çnßÏèã 4 ¨bÎ) Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇÊÒÈ
Artinya;
“dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia)
dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.”
Ayat ini memperlihatkan bahwa kita
seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan
kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan
kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan
setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk dimengerti oleh
yang tidak percaya .
Dan jika dicermati dan dipahami,
banyak ayat-ayat al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran
ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah Swt untuk
menjadi khalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa
manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya
mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah Swt. kepada mereka. Tentunya karena
memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum
Adam AS diciptakan. Oleh sebab itu Allah Swt. selalu menyatakan bahwa: “Manusia
(anak-cucu Adam AS) diciptakan dalam kesempurnaan-nya”.[41]
Menurut al-Thabathaba’I,
penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam
hal ini, setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, sebagai berikut:[42]
a.
Anjuran untuk berbudaya
sesuai dengan ketentuan Allah Swt, seperti berpakaian guna menutup auratnya.
b.
Mengingatkan pada keturunan
Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu syaitan yang mengajak pada
keingkaran.
c.
Memanfatkan semua yang ada
di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya. Semua itu merupakan
anjuran sekaligus peringatan Allah Swt., dalam rangka memuliakan keturunan Adam
di banding makhluk-Nya yang lain.
Dapat dipahami
bahwa pemaknaan kata hakikat manusia dalam konteks bani Adam, lebih
ditekankan pada aspek amaliah manusia, sekaligus pemberi arah kemana dan dalam
bentuk apa aktivitas itu dilakukan. Pada dirinya diberikan kebebasan untuk
melakukan serangkaian kegiatan dalam kehidupannya untuk memanfaatkan semua fasilitas
yang ada di ala mini secara maksimal. Allah Swt memberikan garis pembatas
kepada manusia dengan dua alternatif, kemuliaan atau kesesatan. Disini terlihat
demikian kasih dan demokratisnya Allah Swt. terhadap makhluknya (manusia).
Hukum kausalitas tersebut memungkinkan Allah Swt. untuk meminta pertanggung
jawaban pada manusia atas semua aktivitas yang dilakukan.
Dari penjelasan ketiga konsep diatas, banyak para
ahli mendefenisikan makna hakikat manusia seperti: pandangan Hamka tentang manusia adalah
terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani. Sebagaimana ia katakan “tubuh
kasarnya ditempa daripada tanah liat. Dan demi setelah selesai penempaan tubuh,
dihembuskanlah kepadanya nyawa, sehinggapun ia pun hidup”. Tubuh manusia
diciptakan oleh Allah dari tanah, dapat diperhalus kejadian manusia itu dari
api, angin, air dan tanah (dari pertemuan hydrogen, oksigen dan nitrogen atau
bergabungnya 92 anasir atau dapat dikatakan kejadian manusia itu dari atom,
pertemuan netron, electron, proton dan lain-lain). Hamka menegaskan, meski
manusia tersusun dari jasmani dan ruhani, tetapi yang esensial adalah ruhani,
sebab ia berasal dari alam ketuhanan, sebagai percikan cahaya ilahi.[43]
Raghib al-Isfahani mengemukakan, sebagaimana yang
dikutip oleh Muhmidayeli bahwa manusia
itu tersusun dari:
1.
Unsur bahimah
Unsur bahimah merupakan syahwat badani yang
biasanya terlihat dari akivitas-aktivitas seperti makan, minum dan sebagainya.
Manusia dalam kondisi inilah akan seperti binatang apabila eksistensinya
benar-benar telah menguasai diri manusia. Dalam kondisi ini manusia akan sanggup
berbuat segala sesuatu yang tidak berguna dan bahkan kejahatan-kejahatan yang
akan merusak dirinya, orang lain, dan alam jagad raya.
2.
Unsur malakiyan
Unsur malakiyan adalah potensi ruhaniyah
seperti hikma ‘adala, juud, hilm. ‘ilm, naatiq dan fahm. Dengan
mengembangkan potensi ini secara maksimal dapat menjadikan dirinya baik, bahkan
memungkinkan dirinya berjiwa seperti malaikat yang senantiasa tunduk dan
menjalankan nilai-nilai kebaikan secara penuh tanpa ada lagi pemikiran yang
panjang. Potensi-potensi inilah yang menggerakkan manusia untuk selalu berbuat
baik untuk dirinya, masyarakat dan alam semesta.[44]
Ibnu
Miskawaih menjelaskan bahwa manusia merupakan kombinasi dua subtansi yang
secara diametrik bertentangan baik esensi, kualitas maupun di segi fungsinya,
yakni jiwa dan raga. Jiwa adalah subtansi spiritual, murni simpel, tidak dapat
dilihat dan bersifat abadi, sedangkan raga adalah subtansi material yang
bersifat sementara. Ibn Miskawaih menegaskan bahwa hakikat manusia yang
sesungguhnya berada dalam jiwa, namun tubuh dalam hal ini dapat mempengaruhi
jiwa dalam meraih kesempurnaanya. Eksistensi tubuh juga diperlukan manusia
dalam meraih kemanusiaan, karena fungsinya yang dapat mempermudah kerja jiwa
menuju penyempurnaanya.
Dari
uraian pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia yang
sesungguhnya tampaknya adalah ruh, sebab ruh sifatnya abadi, sementara jasad
sifatnya sementara. Jiwa atau ruh manusia tidak akan hilang dengan matinya
manusia dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang tugas kewajiban hidup
yang telah dilakukan.
Manusia
berbeda dengan makhluk lainnya degan akalnya. Dengan akalnya menjadikan manusia
sebagai manusia. Dengan akal pulalah manusia dapat menentukan segala sesuatu
dengan dirinya, termasuk untuk menyempurnakan dirinya sampai pada tingkat yang
paling mulia.[45]
Akal
pemberian tuhan itu yang kemudian menjadikan manusia mempunyai kecerdasan dan
kemampuan untuk menilai dan mempertimbangkan dalam pelaksanaan perbuatan
manusia sehari-hari.
Akal
menurut Hamka dapat mengetahui hakikat sesuatu, sebagaimana ia katakana bahwa
akal membawa orang kepada hakikat, menjauhkan diri dari yang bathil, tunduk
kepada hokum, menerima perintah dan menjauhi larangan. Tampak olehnya yang baik
lalu ia ikuti, jika ia melihat yang buruk maka ia jauhi.[46]
Sementara hati dalam hal ini adalah unsur jiwa manusia yang berfungsi untuk
memberikan pengukuhan dan istiqamah terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebaikan
dan kebajikan yang telah ditemukan oleh akal.[47]
Dari
penjelasan diatas dapat dipahami bahwa diri manusia terdiri dari jasmani dan
ruh. Ruh ini memiliki dimensi yakni dimensi akal dan hati. Kedua dimensi ini
selalu mengajak manusia melaksanakan kebaikan dan kebajikan dan mempertimbangkan
keinginan-keinginan hawa nafsu. Serta dapat menjalankan fungsi dan tugas
manusia di dunia ini, seperti manusia sebagai hamba Allah Swt.,[48]
manusia sebagai khalifah di bumi,[49]
dan Immarah fi al-ardhi.[50]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hakikat Manusia
dalam Persepektif Psikologi
a.
Psikoanalisa
b.
Behaviorisme
c.
Humanistik
d.
Transpersonal
2.
Hakikat Manusia
dalam Persfektif Pendidikan
a.
Emprisme
b.
Nativisme
c.
Naturalisme
d.
Konvergensi
3.
Hakikat Manusia
Pandangan Aliran Filsafat Barat
a.
Aliran serba zat
b.
Aliran serba ruh
c.
Aliran dualisme
d.
Aliran eksistensialisme
4.
Hakikat Manusia
Dalam Konsep Islam
Diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan
unsur-unsur ketuhanan, karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah
ditiupkan ruh dari Allah Swt. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut,
berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya, manusia
merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata. Di
samping itu, manusia sebagai khalifah Allah, juga merealisir fungsi ketuhanan,
sehingga manusia adalah berfungsi kreatif, mengembangkan diri dan memelihara
diri dari kehancuran. Dengan demikian hidup dan kehidupan manusia itu
berkembang dan mengarah kepada kesempurnaan. Secara terminologi, ungkapan al-Quran untuk
menunjukkan konsep manusia terdiri atas tiga kategori, yaitu: al-insan,
al-basyar, dan bani adam /anak
adam/keturunan adam.
B.
Saran Penulis
Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi
paling tidak hasil dari makalah ini dapat menggambarkan tentang sekilas Hakikat
Manusia. Oleh karena itu, jika ada kesalahan dalam isi
makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan masukan, kritikan,
saran atau yang lainnya untuk menyempurnakan isi makalah ini.
[1] Muhmidayeli, Filsafat
Pendidikan ( Bandung : Refika Aditama, 2013), hal. 43
[2] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 50
[3] Ibid.,
[4] Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 174
[5] Djamaluddin Ancok dan Fuad
Nashori, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 66
[6] Hanna Djumhana Bastaman, Op.Cit.,
hal. 51-52
[7] Abdul Latif, Pendidikan
Berbasis Nilai Kemasyarakatan (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 41
[8] Hanna Djumhana Bastaman, Op.Cit.,
hal. 53-54
[9] Moh. Suardi, Pengantar
Pendidikan ; Teori dan Aplikasi (Jakarta: Indeks, 2012), hal. 12
[10] Umar Tirtarahardja dan La
Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 194
[11] Ngalim Purwanto, Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Rosdakarya, 2003), hal. 59
[12] Abdul Latif, Op.Cit., hal. 38
[13] Ngalim Purwanto, Op.Cit.,
hal. 60
[14] Usman Abu Bakar dan
Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Yogyakarta: Safinia
Insania Press, 2005), hal. 32
[15] Umar Tirtahardja, Op.Cit.,
hal. 198
[16] Zuhairini, dkk, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 71
[17] Sidi Gazalba, Sistimatika
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 393
[18] Zuhairini, Op.Cit., hal.
72
[19] Sidi Gazalba, Op.Cit.,
hal. 288
[20] Zuhairini, dkk, Op.Cit.,
hal. 73
[21] Ibid., hal. 74
[22] Substansi yang dimaksud
adalah unsur asal sesuatu yang ada. Lihat Zuhairini, dkk, Ibid., hal. 75
[23] Q.S. Al-Mukminun : 12-14
[24] HR Bukhari
[25] Ayat yang menjelaskan
tentang ruh:
¢OèO çm1§qy
yxÿtRur
ÏmÏù
`ÏB
¾ÏmÏmr
( @yèy_ur
ãNä3s9
yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur
noyÏ«øùF{$#ur
4 WxÎ=s%
$¨B
crãà6ô±n@
ÇÒÈ
Artinya: kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur. (as-Sajadah : 9)
[26] Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut
al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5
[27] Ramayulis, Op.Cit., hal.
5
[28] Q.S, al-Kahfi : 110
[29] Al Rasyidin, falsafah
Pendidikan Islam ( Bandung : Cita Pustaka Media Printis, 2012), hal. 15
[30] Ramayulis, Op.Cit., hal.
5
[31] Muhmidayeli, Op.Cit., hal.
50
[32] Q.S, Al-Hujurat: 13
[33] Ramayulis dan Samsul
Nizar, Op.Cit., hal. 54
[34] Al Rasyidin, Op.Cit., hal.
14
[35] Muhmidayeli, Op.Cit., hal 46
[36] Lihat penjelasan dalam
Q.S. Al-Israa’: 11, Al-Ahzab:37 dan 72, Al-Kahfi: 54, Yasin:77, Al-Ma’arij:
19-21
[37] Ramayulis dan Samsul
Nizar, Op.Cit., hal.53
[38] Al Rasyidin, Op.Cit., hal.
15
[41] Lihat Q.S, Al-Baqarah [2]
ayat 30-34
[42] Ramayulis dan Samsul
Nizar, Op.Cit., hal. 55
[43] Abd. Haris, Etika
Hamka; Kontruksi Etik Berbsis Rasional Religius (Yogyakarta: LKiS, 2012),
hal. 74
[44] Muhmidayeli, Op.Cit., hal.
52
[45] Ibid., hal. 55
[46] Abd. Haris, Op.Cit., hal.
80
[47] Muhmidayeli, Op.Cit., hal.
58
[48] Penegasan ayat tentang
tujuan manusia sebagai hamba Allah.
$tBur àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
Artinya: Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Lihat Q.S,
Al-Dzariyat:56.
[49] Penegasan ayat tentang
tujuan manusia sebagai hamba Allah.
uqèd
Ï%©!$#
ö/ä3n=yèy_
y#Í´¯»n=yz
Îû
ÇÚöF{$#
4 `yJsù
txÿx.
Ïmøn=yèsù
¼çnãøÿä.
( wur
ßÌt
tûïÍÏÿ»s3ø9$#
öNèdãøÿä.
yZÏã
öNÍkÍh5u
wÎ)
$\Fø)tB
( wur
ßÌt
tûïÍÏÿ»s3ø9$#
óOèdãøÿä.
wÎ)
#Y$|¡yz
ÇÌÒÈ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan
kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka. Lihat Q.S, Fathir: 39.
[50] Immarah
fi al-ardhi lebih
berkonotasi pada pengemabangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan
manusia, tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat. Lebih Lanjut lihat
penjelasan Muhmidayeli, Op.Cit., hal. 62. Dan dapat dlihat pula
penjelasan Amril Mansur, Etika Islam;Telaah Pemikiran Filsafat Moral
Ragib Al-Isfahani (Pekanbaru: LSFK2P, 2002), hal. 87